Harry Potter seri ke 3 Karya : J.K ROWLING HARRY POTTER DAN TAWANAN AZKABAN Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Untuk Jill Prewett dan Aine Kiely, Pencinta Ayunan Daftar Isi . Pos Burung Hantu . Kesalahan Besar Bibi Marge . Bus Ksatria . Leaky Cauldron . Dementor . Cakar dan Daun Teh . Boggart di Dalam Lemari Pakaian . Kaburnya si Nyonya Gemuk . Kekalahan yang Menyedihkan . Peta Perampok . Firebolt . Patronus . Gryffindor Versus Ravenclaw . Dendam Snape . Final Quidditch . Ramalan Profesor Trelawney . Kucing, Tikus, dan Anjing . Moony Wormtail, Padfoot, dan Prongs . Abdi Lord Voldemort . Kecupan Dementor . Rahasia Hermione . Pos Burung Hantu Lagi 1 Pos Burung Hantu HARRY POTTER adalah anak yang sangat istimewa dalam banyak hal. Misalnya saja, dia paling benci liburan musim panas dibanding waktu-waktu lainnya. Contoh lain lagi, dia ingin sekali mengerjakan PR-nya, tetapi dia terpaksa mengerjakannya pada larut malam secara sembunyi-sembunyi. Dan dia kebetulan juga penyihir. Saat itu sudah hampir tengah malam, dan dia sedang berbaring telungkup di tempat tidurnya, selimutnya ditarik sampai menutupi kepalanya seperti tenda, satu tangannya memega ng senter dan sebuah buku besar bersampul kulit (Sejarah Sihir, oleh Bathilda Bagshot) bersandar terbuka pada bantal. Harry menggerakkan ujung pena bulu-elangnya menyusuri halaman, me-ngernyit sementara dia mencari sesuatu yang bisa membantunya dalam menulis karangannya, "Pembakar-an Para Penyihir di Abad Keempat Belas Sama Sekali Tak Ada Artinya-jelaskan". Pena bulunya berhenti di atas paragraf yang ke-lihatannya cocok. Harry mendorong kacamatanya yang bundar ke atas hidungnya, menggerakkan senternya lebih dekat ke buku dan membaca: Orang-orang non-sihir (lebih dikenal sebagai Muggle) terutama takut akan sihir pada abad pertengahan, tetapi tidak begitu menyadarinya. Pada kesempatan yang jarang terjadi, ketika me-reka menangkap penyihir wanita atau pria, pembakaran penyihir sama sekali tak ada efeknya. Si penyihir yang bersangkutan akan mengucapkan Mantra Pembeku-Lidah-Api dan kemudian ber-pura-pura berteriak-teriak kesakitan, sementara me-reka sebetulnya menikmati perasaan nyaman se-perti digelitik. Wendelin si Aneh malah sangat menikmati dibakar, sehingga dia membiarkan diri-nya ditangkap tak kurang dari empat puluh tujuh kali dalam berbagai penyamaran. Harry menggigit pena bulunya dan tangannya me-nyusup ke bawah bantal mengambil botol tintanya dan segulung perkamen. Pelan-pelan dan sangat hati-hati dia membuka botol tinta, mencelupkan penanya ke dalamnya dan mulai menulis, berhenti sekali-sekali untuk mendengarkan, karena kalau salah satu anggota keluarga Dursley mendengar gesekan penanya saat mereka sedang berjalan ke kamar mandi, Harry mung-kin akan dikurung di lemari bawah tangga selama sisa musim panas ini. Keluarga Dursley yang tinggal di Privet Drive nomor empat-lah penyeb ab Harry tidak pernah bisa menikmati liburan musim panasnya. Hanya Paman Vernon, Bibi Petunia, dan anak mereka, Dudley-lah keluarga Harry yang masih hidup. Mereka Muggle dan sikap mereka terhadap penyihir sarha seperti sikap orang-orang di abad pertengahan. Orangtua Harry yang sudah meninggal, keduanya penyihir, tak pernah disebut di bawah atap keluarga Dursley Selama bertahun-tahun, Bibi Petunia dan Paman Vernon berharap bahwa jika mereka menindas Harry sekeras mungkin, mereka akan bisa melenyapkan kekuatan sihir Harry. Betapa marahnya mereka karena mereka gagal, dan sekarang hidup dalam ketakutan kalau-kalau sampai ada yang tahu bahwa Harry telah melewatkan dua tahun terakhir ini di Sekolah Sihir Hogwarts. Yang bisa dilakukan keluarga Dursley paling-paling hanyalah mengunci kitab mantra, tongkat, panci, dan sapu Harry dalam lemari pada awal musim panas, dan melarangnya bicara dengan tetangga. Perpisahan dengan kitab mantranya jadi persoalan besar untuk Harry, karena guru-gurunya di Hogwarts memberi banyak tugas untuk diselesaikan selama liburan. Salah satu tugasnya adalah membuat karangan yang sangat tidak menyenangkan mengenai Ramuan Pengerut, untuk guru yang paling tidak di-sukai Harry, yakni Profesor Snape, yang akan senang sekali punya alasan untuk memberi Harry detensi selama sebulan. Itulah sebabnya Harry menggunakan kesempatannya dalam minggu pertama liburannya. Sementara Paman Vernon, Bibi Petunia, dan Dudley berada di halaman depan untuk mengagumi mobil kantor Paman Vernon yang baru (mereka memuji keras-keras supaya semua orang dijalan itu bisa mendengarnya), Harry merayap turun, membuka gembok lemari di bawah tangga, menyambar bebe-rapa bukunya, dan menyembunyikannya di dalam kamarnya. Asal dia tidak meninggalkan bercak tinta di seprai, keluarga Dursley tak perlu tahu bahwa dia mempelajari sihir di malam hari. Harry menjaga benar agar tidak timbul masalah dengan bibi dan pa mannya saat ini, karena mereka sudah marah kepadanya, gara-gara dia menerima te-lepon dari teman sesama penyihir seminggu setelah liburan dimulai. Ron Weasley, salah satu sahabat Harry di Hogwarts, berasal dari keluarga sihir murni-seluruh keluarganya penyihir. Ini berarti dia tahu banyak hal yang tidak diketahui Harry tetapi belum pernah menggunakan telepon. Celakanya, Paman Vernon-lah yang menerima teleponnya. "Vernon Dursley di sini." Harry yang kebetulan berada di ruangan saat itu, ngeri mendengar suara Ron menjawab. "HALO? HALO? BISAKAH ANDA MENDENGAR SAYA? SAYA-INGIN-BICARA-DENGAN- HARRY-POTTER!" Ron berteriak keras sekali sampai Paman Vernon terlonjak dan memegang gagang telepon seperempat meter dari telinganya, memandangnya dengan cam-puran berang dan kaget. "SIAPA INI?" Paman Vernon menggerung ke arah corong bicara. "SIAPA KAU?" "RON-WEASLEY!" Ron balas berteriak, seakan dia dan Paman Vernon bicara dari ujung-ujung lapangan sepak bola yang berlawanan. "SAYA-TEMAN- HARRY-DARI- SEKOLAH-" Mata kecil Paman Vernon memandang Harry yang terpaku di tempat. "TIDAK ADA YANG NAMANYA HARRY POTTER DI SINI!" teriaknya, sekarang memegang gagang tele-pon jauh-jauh sejangkauan lengan, seakan takut tele-pon itu bisa meledak. "AKU TAK TAHU SEKOLAH APA YANG KAUMAKSUD! JANGAN MENG-HUBUNGIKU LAGI! JANGAN BERANI-BERANI MENDATANGI KELUARGAKU!" Lalu dilemparkannya gagang telepon itu kembali ke pesawatnya, seakan menjatuhkan labah-labah beracun. Kemarahan yang menyusul merupakan salah satu yang terburuk ya ng dialami Harry. "BERANI-BERANINYA KAU MEMBERIKAN NOMOR INI KE ORANG-ORANG... ORANG-ORANG SEPERTI KAU!" Paman Vernon meraung, menyembur Harry dengan ludahnya. Ron rupanya menyadari bahwa dia telah menyulit-kan Harry, karena dia tidak menelepon lagi. Sahabat Harry yang satu lagi, sama-sama dari Hogwarts, Hermione Granger, juga tidak menghubunginya. Harry menduga Ron telah memperingatkan Hermione agar tidak menelepon. Sayang sekali, karena Hermione, murid terpandai di kelas Harry, yang orangtuanya Muggle, tahu betul bagaimana menggunakan telepon, dan mungkin akan berhati-hati dengan tidak mengata-kan bahwa dia bersekolah di Hogwarts. Maka Harry tidak menerima kabar dari kawan-kawan penyihirnya selama lima minggu, dan musim panas ini berlangsung hampir sama buruknya dengan tahun lalu. Hanya ada satu perbaikan sangat kecil: setelah bersumpah dia tidak akan menggunakannya untuk mengirim surat kepada teman-temannya, Harry diizinkan melepas burung hantunya, Hedwig, di malam hari. Paman Vernon akhirnya menyerah karena kebisingan yang dibuat Hedwig jika dia dikurung di sangkarnya sepanjang waktu. Harry selesai menulis tentang Wendelin si Aneh dan berhenti untuk mendengarkan lagi. Keheningan dalam rumah yang gelap itu hanya dipecahkan oleh dengkur sepupunya yang supergendut, Dudley di kejauhan. Hari pastilah sudah amat larut. Mata Harry sudah berat kelelahan. Mungkin dia akan menyelesai-kan karangannya besok malam.... Dia menutup kembali botol tintanya, menarik sa-rung bantal tua dari bawah tempat tidurnya, me-masukkan senter, Sejarah Sihir, karangannya, pena, dan botol tinta ke dalamnya dan menyembunyikan semuanya itu di balik papan lepas di bawah tempat tidurnya. Kemudian dia bangkit, menggeliat, dan me-lihat jarum beker menyala-dalam-gelap yang ada di meja di sebelah tempat tidurnya. Sudah pukul satu pagi. Harry tersentak. Tanpa disadarinya, dia telah berusia tiga belas tahun, selama satu jam penuh. Satu hal istimewa lain tentang Harry adalah, dia tak pernah menunggu-nunggu datangnya hari ulang tahunnya. Dia belum pernah menerima kartu ulang tahun seumur hidupnya. Keluarga Dursley mengabai-kan dua ulang tahunnya yang terakhir dan dia tak punya alasan menduga mereka akan ingat kali ini. Harry menyeberangi kamarnya yang gelap, me-lewati sangkar Hedwig yang besar dan kosong, menuju jendela yang terbuka. Dia bersandar di ambang jendela, udara malam yang dingin terasa nyaman di wajahnya setelah begitu lama mendekam di bawah selimut. Hedwig sudah dua malam tidak pulang. Harry tidak mencemaskannya-dia sudah pernah pergi selama ini-tetapi dia berharap Hedwig segera kembali. Hedwig-lah satu-satunya makhluk hidup di rumah ini yang tidak berjengit melihatnya. Harry, meskipun masih termasuk agak kecil dan kurus untuk anak seumurnya, telah bertambah tinggi beberapa senti sejak tahun lalu. Meskipun demikian, rambutnya yang hitam legam masih sama saja seperti dulu: bandel, selalu berantakan lagi, apa pun yang Harry lakukan terhadapnya. Mata di balik kacamata-nya hijau cemerlang, dan di dahinya, tampak jelas di antara rambutnya, terlihat bekas luka berbentuk sambaran kilat. Dari semua hal luar biasa tentang Harry, bekas luka inilah yang paling istimewa. Bekas luka ini bukan kenang-kenangan dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan orangtua Harry, seperti yang selama ini dikatakan keluarga Dursley, karena Lily dan James Potter tidak meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Me reka dibunuh, dibunuh oleh penyihir hitam yang paling ditakuti selama seratus tahun bela-kangan ini, Lord Voldemort. Harry berhasil selamat dari serangan yang sama, dengan hanya meninggalkan bekas luka di dahinya, ketika kutukan Voldemort, alih-alih membunuhnya, malah berbalik menyerang si pengutuk sendiri. Nyaris binasa, Voldemort melarikan diri.... Tetapi Harry telah dua kali berhadapan dengannya sejak dia bersekolah di Hogwarts. Mengenang per-temuannya yang terakhir dengan Voldemort, Harry harus mengakui dia beruntung bisa mencapai ulang tahunnya yang ketiga belas. Dia menatap langit berbintang mencari-cari Hedwig, yang mungkin meluncur kembali kepadanya dengan bangkai tikus menjuntai dari paruhnya, mengharap pujian. Pandangannya menerawang memandang atap-atap, baru beberapa detik kemudian Harry menyadari apa yang dilihatnya. Seperti siluet dilatarbelakangi bulan keemasan, dan semakin lama semakin besar, ada makhluk besar yang miring aneh, dan dia mengepakkan sayapnya menuju Harry. Harry berdiri bergeming, memandang makhluk itu menukik makin lama makin rendah. Sejenak Harry ragu-ragu, tangannya sudah me-megang gerendel jendela, berpikir-pikir apakah se-baiknya menutupnya saja, tetapi kemudian makhluk ganjil itu melayang melewati salah satu lampu jalan di Privet Drive, dan Harry, menyadari apa itu, lang-sung melompat minggir. Tiga burung hantu terbang melayang masuk melalui jendela, dua di antaranya memegangi burung hantu ketiga, yang kelihatannya pingsan. Mereka mendarat dengan bunyi pluk pelan di atas tempat tidur Harry, dan burung hantu ketiga, yang besar dan berbulu abu-abu, terguling lalu tergeletak tak bergerak. Ada bungkusan besar terikat di kakinya. Harry langsung mengenali burung hantu yang ping-san itu-namanya Errol, dan dia milik keluarga Weasley. Buru-buru Harry berlari ke tempat tidur, membuka ikatan tali di kaki Errol, mengambil bung-kusannya, dan kemudian membawa Errol ke sangkar Hedwig. Errol membuka sebelah mata yang muram, mengucapkan uhu lemah satu kali sebagai ucapan terima kasih, dan mulai meneguk air. Harry berbalik menghadapi dua burung hantu lain-nya. Salah satunya, burung hantu betina besar berbulu seputih salju, adalah Hedwig-nya. Dia juga membawa bungkusan dan kelihatan puas sekali dengan dirinya sendiri. Dia mematuk Harry dengan sayang ketika Harry melepas bebannya, kemudian terbang menyebe-rang ruangan, bergabung dengan Errol. Harry tidak mengenali burung hantu ketiga, yang tampan berbulu kecokelatan, tetapi dia langsung tahu dari mana datangnya burung ini, karena selain mem-bawa bungkusan ketiga, burung ini juga membawa surat yang ada lambang Hogwarts-nya. Ketika Harry sudah mengambil kiriman yang dibawanya, si burung hantu menyisiri bulunya dengan lagak sok penting, merentangkan sayap, dan terbang keluar lewat jendela menembus kegelapan malam. Harry duduk di tempat tidurnya, meraih bungkusan yang dibawa Errol, merobek kertas cokelat pembung-kusnya, dan menemukan hadiah terbungkus kertas emas, serta kartu ulang tahun pertama yang diterima-nya seumur hidupnya. Dua helai kertas terjatuh- sepucuk surat dan guntingan surat kabar. Guntingan surat kabar itu jelas berasal dari koran sihir, Daily Prophet, karena orang-orang dalam foto hitam-putih itu bergerak-gerak. Harry memungut gun-tingan surat kabar itu, meratakannya, dan membaca: KARYAWAN KEMENTERIAN SIHIR MEREBUT HADIAH UTAMA Arthur Weasley, Kepala Kantor Penyalahgunaan Barang-barang Muggle di Kementerian Sihir, berhasil memenangkan Hadiah Utama Undian Tahunan Gal-leon Daily Prophet. Mr Weasley yang gembira memberitahu Daily Prophet, "Kami akan menggunakan uang emas ini untuk melewatkan liburan musim panas di Mesir. Putra sulung kami, Bill, bekerja di sana sebagai penangkal kutukan di Bank Sihir Gringotts." Keluarga Weasley akan melewatkan sebulan di Mesir, kembali pada awal tahun ajaran baru di Hogwarts. Lima anak keluarga Weasley masih bersekolah di sana. Harry meneliti foto yang bergerak-gerak itu, dan seringai lebar menghiasi wajahnya ketika dia melihat kesembilan anggota keluarga Weasley melambai-lambai kepadanya dengan penuh semangat, berdiri di depan piramida. Mrs Weasley yang gemuk pendek, Mr Weasley yang jangkung dan agak botak, enam anak laki-laki, dan satu anak perempuan, semua (meskipun tidak kelihatan di foto hitam-putih) berambut merah manyala. Ron berada tepat di tengah, jangkung kurus, dengan tikus piaraannya, Scabbers, bertengger di bahunya dan tangannya merangkul adik perempuannya, Ginny Harry berpendapat, tak ada orang lain yang lebih layak memenangkan setumpuk besar uang emas dari-pada keluarga Weasley, yang sangat baik hati dan luar biasa miskin. Dia memungut surat Ron dan membuka lipatannya. Dear Harry, Selamat ulang tahun! Aku minta maaf soal telepon itu. Kuharap si Muggle tidak memarahimu. Aku tanya Dad, dan dia bilang mungkin seharusnya aku tidak ber-teriak. Asyik sekali di Mesir. Bill membawa kami ber-keliling makam-makam dan kau tak akan percaya kutukan-kutukan yang dilontarkan penyihir-penyihir Mesir kuno kepada mereka. Mum tidak mengizinkan Ginny masuk ke makam terakhir. Banyak ker angka Muggle bertebaran di situ. Muggle-muggle ini rupanya menerobos masuk, lalu kena kutuk, sehingga tumbuh kepala-kepala tambahan dan macam-macam lagi. Aku tak bisa percaya waktu Dad memenangkan Undian Daily Prophet. Tujuh ratus Galleon! Sebagian besar uang itu sudah habis untuk liburan ini, tetapi sisanya masih bisa untuk membeli tongkat baru untukku untuk tahun ajaran baru. Harry ingat betul peristiwa yang membuat tongkat lama Ron patah. Terjadinya ketika mobil yang diterbangkan mereka berdua ke Hogwarts menabrak pohon di halaman sekolah. Kami akan pulang kira-kira seminggu sebelum masuk sekolah dan kami akan ke London untuk membeli tongkatku dan buku-buku baru kami. Ada kemungkinan bertemu kau di sana? Jangan biarkan Muggle melarangmu! Cobalah datang ke London, NB: Percy Ketua Murid. Dia menerima surat pemberitahuannya minggu lalu. Harry memandang foto itu lagi. Percy, yang naik ke kelas tujuh, kelas terakhir di Hogwarts, kelihatan puas sekali. Lencana Ketua Murid-nya disematkan di topi fez yang bertengger gaya di atas rambutnya yang rapi, kacamatanya yang bergagang tanduk berkilau tertimpa sinar matahari Mesir. Harry sekarang ganti memungut hadiahnya dan membukanya. Di dalamnya ada teropong miniatur yang puncaknya bisa berputar. Ada surat lain dari Ron di bawah hadiah itu. Harry-ini Teropong-Curiga Saku. Kalau ada orang yang tak bisa dipercaya di dekat-dekat kita, Teropong-Curiga ini akan menyala dan berputar. Kata Bill ini cuma alat tipuan yang dijual sebagai suvenir untuk turis-turis penyihir dan tak bisa diandalkan, soalnya Teropong-Curiga ini menyala terus waktu kami makan malam kemarin. Tapi Bill tidak tahu sih, Fred dan George memasukkan beberapa ekor kumbang ke dalam supnya. Sampai nanti- Harry meletakkan Teropong-Curiga Saku di atas meja di sebelah tempat tidurnya. Teropong itu berdiri diam, memantulkan jarum beker Harry yang menyala. Selama beberapa saat Harry memandangnya dengan senang, kemudian mengambil bungkusan yang dibawa Hedwig. Di dalam bungkusan ini juga ada hadiah terbungkus kertas kado, kartu, dan surat, dari Hermione. Dear Harry, Ron menulis kepadaku dan bercerita tentang teleponnya yang diterima Paman Vernon. Aku benar-benar berharap kau tak apa-apa. Aku sedang berlibur di Prancis saat ini dan aku tak tahu bagaimana aku akan mengirimkan ini kepadamu- bagaimana kalau mereka membuka-nya di pabean?-topi kemudian Hedwig muncul! Kurasa dia ingin memastikan kau mendapat se-suatu untuk ulang tahunmu kali ini. Aku mem-belikanmu hadiah dengan pesanan lewat-burung-hantu. Ada iklannya di Daily Prophet (aku langganan, senang sekali bisa tahu apa yang terjadi di dunia sihir). Kau sudah lihat foto Ron dan keluarganya seminggu yang lalu? Pasti ba-nyak sekali yang dipelajarinya, aku benar-benar iri-para penyihir Mesir kuno benar-benar me-nakjubkan. Di sini ada juga sejarah lokal tentang dunia sihir. Aku sudah menulis ulang seluruh karangan-ku untuk Sejarah Sihir dengan memasukkan bebe-rapa hal yang kudapat di sini. Kuharap karangan-ku tidak kepanjangan, sudah dua gulung perka-men lebih panjang daripada yang diminta Profesor Binns. Ron bilang dia akan berada di London pada minggu terakhir liburan. Kau bisa ke sana? Apa-kah bibi dan pamanmu akan mengizinkanmu? Kalau tidak, kita ketemu di Hogwarts Express tanggal 1 September nanti, ya. Salam sayang, NB: Ron bilang Percy sekarang Ketua Murid. Pasti Percy senang sekali. Ron kelihatannya tidak begitu senang. Harry tertawa lagi saat dia menaruh surat Hermione dan memungut hadiahnya. Berat sekali. Karena kenal betul Hermione, Harry yakin isinya buku besar penuh mantra-mantra sulit-tapi ternyata bukan. Jantungnya berdegup kencang ketika dia merobek kertas kadonya dan melihat kotak kulit hitam mengilap dengan huruf-huruf perak tercetak di atasnya: Peralatan Perawatan Sapu. "Wow, Hermione!" bisik Harry, membuka kancing tarik kotak itu untuk melihat isinya. Ada sebotol besar Cairan Penggosok Pegangan merek Fleetwood, Gunting Perapi Ranting-Sapu dari perak, kompas kuningan kecil untuk dipasang pada sapu jika akan bepergian jauh, dan Buku Panduan untuk Merawat Sendiri Sapumu. Selain saha bat-sahabatnya, yang paling dirindukan Harry adalah Quidditch, olahraga paling populer di dunia sihir- sangat berbahaya, sangat menarik, dan dimainkan di atas sapu terbang. Harry kebetulan pemain Quidditch yang sangat andal. Dia anak pa-ling muda seabad ini yang terpilih untuk memperkuat tim Quidditch asrama Hogwarts. Salah satu harta Harry yang paling berharga baginya adalah sapu balapnya, Nimbus Dua Ribu. Harry meletakkan kembali kotak kulit itu dan mengambil bungkusan terakhir. Dia langsung me-ngenali tulisan berantakan di atas kertas cokelat itu: ini kiriman dari Hagrid, pengawas binatang liar di Hogwarts. Dirobeknya lapisan kertas yang paling atas dan tampak sekilas sesuatu seperti kulit hijau, tetapi sebelum dia bisa membuka seluruhnya, bungkusan itu bergetar aneh, dan entah apa yang ada di dalamnya, mengatup dengan bunyi keras-seakan punya rahang. Harry ketakutan. Dia tahu Hagrid tidak akan mengi-riminya sesuatu yang berbahaya dengan sengaja, tetapi pandangan Hagrid tentang hal-hal yang berbahaya tak sama dengan pandangan orang normal. Hagrid pernah bersahabat dengan labah-labah raksasa, mem-beli anjing galak berkepala-tiga dari orang-orang yang ditemuinya di rumah minum, dan menyelundupkan telur naga ilegal ke dalam pondoknya. Harry menyodok-nyodok bungkusan itu dengan gugup. Isinya mengatup dengan bunyi keras lagi. Harry meraih lampu di meja di sebelah tempat tidur-nya, memegangnya erat-erat dengan satu tangannya, dan mengangkatnya ke atas kepala, siap memukul. Kemudian dia menyentakkan sisa kertas bungkus de-ngan tangan satunya dan menariknya. Dan jatuhlah-sebuah buku. Harry masih sempat melihat sampulnya yang keren berwarna hijau, dihiasi judul emas besar: Buku Monster tentang Monster, se-belum buku ini berguling berdiri dengan sisinya di bagian bawah, lalu meraya p menyamping sepanjang tempat tidur seperti kepiting ajaib. "Uh, oh," Harry bergumam. Si buku terjatuh dari tempat tidur dengan bunyi berdebam dan bergerak cepat menyeberangi ruangan. Harry diam-diam mengikutinya. Buku itu bersembunyi di tempat gelap di bawah mejanya. Seraya berdoa semoga keluarga Dursley masih tidur nyenyak, Harry berlutut dan mengulurkan tangan ke bawah meja. "Ouch!" Si buku mengatup keras menjepit tangannya, dan kemudian bergerak melewatinya, masih merayap dengan sampulnya. Harry berbalik panik, melempar tubuhnya ke depan dan berhasil menindih buku itu. Paman Vernon mendengkur keras di kamar sebelah. Hedwig dan Errol .menonton dengan penuh minat ketika Harry memiting buku yang memberontak da-lam dekapannya, bergegas ke lemari berlacinya, me-narik keluar ikat pinggang, yang dipasangnya erat-erat di sekeliling buku. Si Buku Monster bergetar marah, tetapi dia tak bisa lagi melangkah dan me-ngatup, maka Harry melemparkannya ke tempat tidur dan meraih kartu Hagrid. Harry merasa aneh sekali bahwa Hagrid menganggap buku yang bisa menggigit akan berguna untuknya, tetapi dia meletakkan kartu Hagrid di sebelah kartu-kartu Ron dan Hermione, nyengir lebih lebar lagi dari sebelumnya. Sekarang tinggal surat dari Hogwarts yang belum dibuka. Harry melihat surat itu lebih tebal dari biasanya, ia membuka amplopnya, menarik keluar lembar perkamen yang pertama dari dalamnya dan membaca: Mr Potter yang terhormat, Kami beritahukan bahwa tahun ajaran baru akan dimulai pada tanggal satu September. Hogwarts Express akan berangkat dari Stasiun King's Cross, peron sembilan tiga perempat, pada pukul sebelas. Murid-murid kelas tiga diizinkan mengunjungi Desa Hogsmeade pada akhir-akhir pekan tertentu. Mohon formulir perizinan terlampir ini diserahkan kepada orangtua atau walimu untuk ditanda-tangani. Daftar buku untuk kelas tiga terlampir. Hormat saya, Wakil Kepala Sekolah Harry menarik keluar formulir perizinan ke Hogsmeade dan menatapnya, tak lagi nyengir. Akan menyenangkan sekali mengunjungi Hogsmeade pada akhir pekan. Harry tahu Hogsmeade adalah desa yang sepenuhnya desa sihir dan dia belum pernah sekali pun ke sana. Tetapi bagaimana cara membujuk Paman Vernon dan Bibi Petunia agar mau menandatangani formulir itu? Harry memandang bekernya. Sudah pukul dua dini hari. Harry memutuskan nanti saja dirinya mencemaskan formulir Hogsmeade, sewaktu bangun tidur, ia kem-bali ke tempat tidurnya dan mencoret satu lagi hari di daftar yang dibuatnya sendiri, menghitung hari yang tersisa sebelum dia kembali ke Hogwarts. Kemudian dia melepas kacamatanya dan berbaring, matanya terbuka, menatap tiga kartu ulang tahunnya. Walaupun dia sangat istimewa, pada saat itu perasaan Harry Potter sama seperti orang-orang lain: senang, untuk pertama kali dalam hidupnya, bahwa hari ini hari ulang tahunnya. 2 Kesalahan Besar Bibi Marge HARRY turun untuk sarapan keesokan harinya dan mendapati ketiga Dursley sudah duduk mengelilingi meja dapur. Mereka menonton televisi baru, hadiah selamat-datang-berliburan-musim-panas untuk Dudley, yang belakangan ini selalu mengeluhkan keras-keras jarak jauh yang harus ditempuhnya antara lemari es dan televisi di ruang keluarga. Dudley telah melewat-kan sebagian besar musim panas di dapur, mata babinya yang kecil terpaku ke layar dan kelima dagu-nya berguncang-guncang sementara dia makan tiada hentinya. Harry duduk di antara Dudley dan Paman Vernon, seorang pria besar-gemuk, dengan leher sangat pendek dan kumis sangat tebal. Jangankan mengucapkan se-lamat ulang tahun kepada Harry, tak seorang pun dari mereka bertiga menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka menyadari Harry masuk ke dapur. Tetapi Harry sudah sangat terbiasa dengan hal ini, sehingga dia tidak peduli. Dia mengambil roti panggang dan menengadah menatap pembaca berita di televisi, yang sudah separo jalan membacakan laporan tentang nara-pidana yang kabur. "...masyarakat diperingatkan bahwa Black mem-bawa senjata dan sangat berbahaya. Telah disediakan saluran telepon khusus, dan siapa yang melihat Black, harus segera melaporkannya." "Tak perlu menjelaskan kepada kita dia orang tak berguna," dengus Paman Vernon, memandang si nara-pidana dari atas korannya. "Lihat saja keadaannya, kotor sekali! Lihat rambutnya!" Dia melirik sinis pada Harry. Rambut Harry yang berantakan selama ini selalu sangat menjengkelkan Paman Vernon. Dibandingkan dengan laki-laki di layar televisi, dengan wajahnya yang kurus kering dan cekung dikelilingi rambut kusut-masai sepanjang siku, Harry merasa amat sangat rapi. Si pembaca berita muncul lagi. "Kementerian Pertanian dan Perikanan hari ini akan mengumumkan..." "Tunggu!" teriak Paman Vernon, mendelik marah pada si pembaca berita. "Kau tidak memberitahu kami si maniak itu kabur dari mana! Apa gunanya? Orang gila itu bisa muncul dari jalanan saat ini juga!" Bibi Petunia, yang kurus dan berwajah-kuda, lang-sung memutar tubuh dan memandang tajam ke luar jendela dapur. Harry tahu Bibi Petunia akan senang sekali kalau bisa jadi orang yang menelepon nomor saluran khusus yang disediakan. Dia perempuan pa-ling ingin tahu sedunia dan melewatkan sebagian besar waktunya untuk memata-matai tetangga-tetangganya yang membosankan dan patuh-hukum. "Kapan mereka akan belajar," kata Paman Vernon, menggebrak meja dengan kepalan tangannya yang ungu besar, "bahwa satu-satunya cara menangani orang-orang semacam itu adalah dengan meng-gantungnya?" "Betul sekali," timpal Bibi Petunia, yang masih menyipitkan mata, memandang menembus sulur buncis tetangga sebelah. Paman Vernon menyeruput habis tehnya, meman-dang arlojinya, lalu menambahkan, "Lebih baik aku segera berangkat, Petunia. Kereta Marge tiba pukul sepuluh." Harry, yang pikirannya sedang di loteng bersama Peralatan Perawatan Sapu-nya, kembali jatuh ke bumi dengan perasaan tak enak. "Bibi Marge?" celetuknya. "D-dia tidak ke sini, kan?" Bibi Marge adalah kakak Paman Vernon. Meskipun dia tak punya hubungan darah dengan Harry (yang ibunya adalah adik Bibi Petunia), Harry dipaksa memanggilnya "Bibi" seumur hidupnya. Bibi Marge tinggal di daerah pedesaan, dalam rumah dengan halaman luas, tempat dia membiakkan bulldog. Dia jarang menginap di Privet Drive, karena tak tega me-ninggalkan anjing-anjingnya yang berharga, tetapi masing-masing kunjungannya masih terpeta jelas di benak Harry. Dalam pesta ulang tahun Dudley yang kelima, Bibi Marge memukul tulang kering Harry dengan tongkat-nya supaya Harry tidak mengalahkan Dudley dalam permainan adu-diam. Beberapa bulan kemudian, Bibi Marge muncul di Hari Natal dengan hadiah robot yang diprogram komputer untuk Dudley dan sekaleng biskuit anjing untuk Harry. Dalam kunjungannya yang terakhir, setahun sebelum Harry masuk Hogwarts, Harry tak sengaja menginjak kaki anjing kesayang-annya. Ripper mengejar Harry ke halaman, sampai Harry memanjat pohon dan Bibi Marge menolak me-manggil anjingnya sampai lewat tengah malam. Kalau mengingat kejadian ini, Dudley masih tertawa sampai keluar air mata. "Marge akan menginap di sini seminggu," gertak Paman Vernon, "dan sementara kita membicarakan hal ini," dia mengacungkan jarinya yang gemuk dengan nada mengancam ke arah Harry, "kita harus meluruskan beberapa hal sebelum aku pergi menjemputnya." Dudley mencibir dan mengalihkan pandang dari televisi. Menonton Harry diancam dan dimarahi Paman Vernon adalah jenis hiburan favorit Dudley. "Pertama," gerung Paman Vernon, "jaga lidahmu kalau kau bicara dengan Marge." "Baiklah," kata Harry getir, "asal dia juga menjaga lidahnya kalau bicara kepadaku." "Kedua," kata Paman Vernon, seakan dia tidak mendengar jawaban Harry, "karena Marge sama sekali tak tahu tentang keabnormalanmu, aku tak ingin ada kejadian aneh-apa pun selama dia di sini. Jaga ting-kahmu, mengerti?" "Baik, asal dia juga menjaga tingkahnya," kata Harry dengan gigi mengertak. "Dan ketiga," kata Paman Vernon, mata kecilnya yang kejam sekarang cuma berupa garis di wajahnya yang ungu, "kami telah memberitahu Marge kau dikirim ke Pusat Penampungan Anak-Anak Kriminal yang Tak Bisa Disembuhkan St Brutus." "Apa?" pekik Harry. "Dan kau harus mendukung cerita itu, Nak, kalau tidak... awas," ancam Paman Vernon. Harry duduk diam, wajahnya pucat, berang sekali, memandang Paman Vernon, nyaris tak percaya. Bi bi Marge akan datang berkunjung selama seminggu- ini hadiah ulang tahun terburuk yang pernah diberi-kan keluarga Dursley kepadanya, bahkan lebih buruk daripada sepasang kaus kaki butut Paman Vernon yang dulu itu. "Nah, Petunia," kata Paman Vernon, dengan berat bangkit berdiri, "aku berangkat ke stasiun sekarang. Mau ikut, Dudders?" "Tidak," jawab Dudley, yang perhatiannya kembali ke televisi, setelah Paman Vernon selesai mengancam Harry. "Duddy harus keren untuk menyambut bibinya," kata Bibi Petunia, merapikan rambut Dudley yang tebal pirang. "Mummy sudah membelikannya dasi kupu-kupu baru." Paman Vernon menepuk bahu gemuk Dudley. "Sampai nanti, kalau begitu," katanya, lalu mening-galkan dapur. Harry, yang selama itu duduk seperti sedang hilang kesadaran, mendadak mendapat ide. Meninggalkan roti panggangnya, dia cepat-cepat bangkit dan meng-ikuti Paman Vernon ke pintu depan. Paman Vernon sedang memakai mantel bepergian-nya. "Aku tidak mengajakmu," gertaknya, ketika dia me-noleh dan melihat Harry memandangnya. "Aku juga tak mau ikut," kata Harry dingin. "Aku ingin tanya sesuatu pada Paman." Paman Vernon memandangnya dengan curiga. "Murid-murid kelas tiga di Hog-di sekolahku, di-izinkan mengunjungi desa dari waktu ke waktu," kata Harry. "Jadi?" tukas Paman Vernon, mengambil kunci mo-bilnya dari kaitan di dekat pinru. "Formulirnya perlu ditandatangani Paman," kata Harry buru-buru. "Kenapa aku harus tanda tangan?" cibir Paman Vernon. "Yah," kata Harry, hati-hati memilih kata-katanya, "susah kan, berpura-pura pada Bibi Marge aku dititip-kan di St... apa tadi..." "Pusat Penampungan Anak-Anak Kriminal yang Tak Bisa Disembuhkan St Brutus!" gerung Paman Vernon, dan Harry senang mendengar ada kepanikan dalam suara Paman Vernon. "Betul," kata Harry, dengan kalem mendongak me-mandang wajah lebar dan ungu Paman Vernon. "Namanya panjang dan susah diingat. Aku harus meyakinkan, kan? Bagaimana kalau aku keceplosan?" "Kau ini rupanya mau dihajar, ya?" raung Paman Vernon, mendekati Harry dengan tinju teracung. Tetapi Harry tetap bertahan. "Menghajarku tidak membuat Bibi Marge melupa-kan apa yang bisa kuceritakan kepadanya," katanya tegas. Paman Vernon berhenti, tinjunya masih teracung, wajahnya ungu-kecokelatan, tampak mengerikan sekali. "Tetapi kalau Paman menandatangani formulir per-izinanku," Harry cepat-cepat meneruskan, "aku ber-sumpah aku akan berpura-pura bersekolah di tempat itu, dan aku akan bertingkah sepergi Mug-seperti anak normal." Harry bisa melihat Paman Vernon mempertim-bangkannya, meskipun giginya menyeringai dan ada nadi yang berdenyut di pelipisnya. "Baik," geramnya akhirnya. "Aku akan memonitor tingkahmu selama kunjungan Marge. Kalau sampai akhir waktu kunjungannya kau bersikap sopan dan bertahan dengan cerita itu, aku akan menandatangani formulir keparatmu." Paman Vernon berputar, menarik terbuka pintu depan, dan membantingnya keras-keras sampai salah satu kaca kecil di bagian atasnya terjatuh. Harry tidak kembali ke dapur. Dia kembali ke atas, ke kamarnya. Kalau dia harus bersikap seperti Muggle yang sesungguhnya, lebih baik mulai dari sekarang. Perlahan dan dengan sedih, dikumpulkannya semua hadiah dan kartu ulang tahunnya dan disembunyikan-nya di bawah papan lepas bersama PR-nya. Kemudian dia mendatangi sangkar Hedwig. Errol kelihatannya sudah pulih. Dia dan Hedwig sedang tidur, kepala mereka tersembunyi di bawah sayap. Harry menghela napas, kemudian menjawil membangunkan keduanya. "Hedwig," katanya murung, "kau harus jauh-jauh dari sini selama seminggu. Pergilah bersama Errol, Ron akan merawatmu. Aku akan menulis surat padanya, menjelaskan. Dan jangan memandangku begitu"-mata besar Hedwig yang kekuningan menatap Harry dengan pandangan mencela, "ini bukan salahku. Ini satu-satunya cara agar aku bisa diizinkan mengunjungi Hogsmeade bersama Ron dan Hermione." Sepuluh menit kemudian, Errol dan Hedwig (de-ngan surat Ron terikat di kakinya) terbang keluar jendela dan lenyap dari pandangan. Harry, sekarang merasa merana sekali, menyingkirkan sangkar kosong ke dalam lemari pakaiannya. Tetapi Harry tak bisa murung berlama-lama. Sekejap kemudian Bibi Petunia sudah berteriak menyuruh Harry turun dan bersiap-siap untuk menyambut tamu mereka. "Lakukan sesuatu dengan rambutmu!" bentak Bibi Petunia ketika Harry sudah tiba di bawah. Harry tak merasa perlu mengusahakan agar rambut-nya rata menempel ke kepalanya. Bibi Marge senang mengkritiknya, sehingga semakin berantakan dia, se-makin senang Bibi Marge. Segera saja terdengar derak kerikil di luar ketika mobil Paman Vernon masuk kembali ke halaman, kemudian bantingan pintu mobil, dan langkah-langkah dijalan setapak menuju rumah. "Buka pintunya!" desis Bibi Petunia kepada Harry. Dengan muram dan enggan, Harry membuka pintu. Bibi Marge berdiri di beranda. Dia mirip sekali dengan Paman Vernon: besar, gemuk, dan berwajah ungu, dia bahkan berkumis, walaupun tidak selebat kumis Paman Vernon. Satu tangannya memegang koper besar, dan tangan yang lain memegang bull-dog tua yang galak. "Di mana Dudders-ku?" raung Bibi Marge. "Di mana keponakan tersayangku?" Dudley berjalan lambat-lambat, karena keberatan badan, menyeberangi ruang depan, rambutnya yang pirang menempel rata ke kepalanya yang besar, dasi kupu-kupu mengintip dari bawah dagunya yang berlapis-lapis. Bibi Marge menyodokkan kopernya yang besar ke perut Harry, membuatnya nyaris terjengkang, menyambar Dudley dalam satu pelukan erat dengan satu tangan dan mengecup pipinya keras-keras. Harry tahu betul Dudley mau dipeluk-peluk Bibi Marge hanya karena dibayar mahal, dan betul saja, ketika pelukan dilepas, tangan gemuk Dudley meng-genggam selembar uang dua puluh pound yang masih baru. "Petunia!" teriak Bibi Marge, berjalan melewati Harry seakan Harry cuma tiang kaitan topi. Bibi Marge dan Bibi Petunia saling kecup, atau tepatnya, Bibi Marge membenturkan rahangnya yang besar ke pipi kurus Bibi Petunia. Paman Vernon sekarang masuk, tersenyum senang sambil menutup pintu. "Teh, Marge?" dia menawari. "Dan untuk Ripper apa?" "Ripper boleh minum teh dari tatakan cangkirku," kata Bibi Marge, sambil mereka semua berjalan ke dapur, meninggalkan Harry sendirian di ruang depan dengan koper Bibi Marge. Tetapi Harry tidak me-ngeluh. Alasan apa pun agar bisa tidak bersama Bibi Marge baik untuknya. Maka dia dengan susah payah mulai membawa koper itu ke atas ke kamar tamu, sengaja berlama-lama. Ketika dia kembali ke dapur, Bibi Marge sudah disuguhi teh dan kue buah, dan Ripper sedang men-jilat-jilat minumannya dengan bising di sudut. Harry melihat Bibi Petunia berjengit sedikit ketika cipratan teh dan liur anjing itu menodai lantainya yang bersih. Bibi Petunia membenci binatang. "Siapa yang merawat anjing-anjing yang lain, Marge?" tanya Paman Vernon. "Oh, aku minta Kolonel Fubster mengurus mereka," suara keras Bibi Marge membahana. "Dia sudah pen-siun sekarang, baik baginya kalau ada yang dilakukan. Tapi aku tak tega meninggalkan si Ripper. Kasihan. Dia merana kalau kutinggalkan." Ripper mulai menggeram lagi ketika Harry duduk. Ini mengarahkan perhatian Bibi Marge kepada Harry untuk pertama kalinya. "Jadi," katanya, "kau masih di sini, ya?" "Ya," kata Harry. "Jangan ngomong 'ya' dengan nada tak tahu terima kasih begitu," Bibi Marge menggeram. "Vernon dan Petunia baik sekali mau membesarkanmu. Aku mana mau. Kau pasti langsung kukirim ke panti asuhan, kalau ditinggalkan di depan pintuku." Harry sudah ingin sekali bilang dia lebih suka tinggal di panti asuh an daripada dengan keluarga Dursley, tetapi teringat formulir Hogsmeade, dia me-nahan diri. Dia memaksa diri tersenyum. "Jangan menyeringai padaku!" bentak Bibi Marge. "Rupanya kau belum berubah sejak terakhir kali aku melihatmu. Kukira sekolah akan membuat kelakuan-mu sedikit lebih baik." Dia meneguk tehnya banyak-banyak, menyeka kumisnya dan berkata, "Kaumasuk-kan ke mana dia, Vernon?" "St Brutus," jawab Paman Vernon segera. "Institusi paling baik untuk kasus-kasus yang sudah tak ada harapan." "Begitu," kata Bibi Marge. "Apakah mereka meng-gunakan tongkat di St Brutus?" tanyanya keras ke seberang meja. "Eh..." Paman Vernon mengangguk singkat di belakang punggung Bibi Marge. "Ya," kata Harry. Kemudian, untuk lebih meyakin-kan, dia menambahkan, "Sepanjang waktu." "Bagus sekali," kata Bibi Marge. "Aku tak setuju dengan pendapat yang melarang memukul anak yang pantas dipukul. Hajar sampai kapok, itulah yang diperlukan dalam sembilan puluh sembilan dari se-ratus kasus. Apa kau sering dipukul?" "Oh, yeah," kata Harry, "sering sekali." Bibi Marge menyipitkan mata. "Aku masih tetap tak suka cara ngomongmu," kata-nya. "Kalau kau bisa ngomong begitu santai soal kau dipukuli, jelas mereka tidak cukup keras memukuli-mu. Petunia, aku akan menulis surat kalau jadi kau. Bikin jelas bahwa kau menyetujui penggunaan ke-kerasan dalam kasus anak ini." Mungkin Paman Vernon khawatir Harry akan me-lupakan kesepakatan mereka, karena mendadak dia membelokkan pembicaraan. "Dengar berita pagi ini, Marge? Bagaimana dengan tawanan yang lepas itu, eh?" Sementara Bibi Marge mulai merasa tinggal di rumah sendiri, Harry merindukan hidup di rumah nomor empat tanpa Bibi Marge. Paman Vernon dan Bibi Petunia biasanya mendorong Harry untuk jauh-jauh dari mereka, yang dilakukan Harry dengan senang hati. Bibi Marge, sebaliknya, menginginkan Harry di bawah pengawasannya sepanjang waktu, supaya dia bisa meneriakkan saran-saran untuk perbaikannya. Dia suka membandingkan Harry dengan Dudley, dan senang sekali membelikan Dudley hadiah mahal-mahal seraya mendelik memandang Harry, seakan menan-tangnya untuk bertanya kenapa dia tidak mendapat hadiah juga. Bibi Marge juga tak henti-hentinya melontarkan pendapat-pendapat negatif tentang apa yang membuat Harry menjadi anak yang begitu tidak memuaskan. "Jangan menyalahkan dirimu kenapa anak ini jadi begini, Vernon," katanya sewaktu makan siang pada hari ketiga. "Kalau ada yang busuk di dalam, tak ada yang bisa kita lakukan." Harry berusaha berkonsentrasi pada makanannya, tetapi tangannya gemetar dan wajahnya mulai membara saking marahnya. Ingat formulir, dia mengingat-kan dirinya. Pikirkan tentang Hogsmeade. Jangan bilang apa-apa. Jangan bangun... Bibi Marge meraih gelas anggurnya. "Itu salah satu prinsip dasar soal keturunan," kata-nya. "Kau bisa melihatnya setiap kali pada anjing. Kalau ada yang tidak beres dengan induknya, anaknya juga tidak beres..." Saat itu, gelas anggur yang dipegang Bibi Marge meledak pecah. Serpihan-serpihan gelas beterbangan ke segala arah dan Bibi Marge merepet dan mengejap, wajahnya yang besar kemerahan basah kuyup. "Marge!" jerit Bibi Petunia. "Marge, kau tak apa-apa?" "Jangan khawatir," ujar Bibi Marge, menyeka wajah-nya dengan serbet. "Pasti aku terlalu keras memegang-nya. Beberapa hari yang lalu di rumah Kolonel Fubster juga begitu. Tak perlu ribut, Petunia, peganganku memang kuat sekali...." Tetapi baik Bibi Petunia maupun Paman Vernon memandang Harry dengan curiga, maka Harry me-mutuskan lebih baik dia tidak usah makan puding dan kabur dari meja secepat dia bisa. Di luar dapur, Harry bersandar ke dinding, menarik napas dalam-dalam. Sudah lama sekali dia tidak ke-hilangan kendali dan membuat sesuatu meledak. Ja-ngan sampai hal seperti itu terjadi lagi. Formulir Hogsmeade bukan satu-satunya yang jadi taruhan- kalau terjadi lagi, Harry akan berurusan dengan Ke-menterian Sihir. Harry masih di bawah umur dan menurut undang-undang sihir, dia dilarang menggunakan sihir di luar sekolah. Riwayat masa lalunya juga tidak bisa dibilang bersih. Baru musim panas lalu dia mendapat peringat-an resmi yang jelas-jelas mengatakan bahwa jika Ke-menterian mendengar ada sihir lagi di Privet Drive, Harry akan dikeluarkan dari Hogwarts. Didengarnya keluarga Dursley meninggalkan meja dan Harry buru-buru menyingkir ke atas. Harry melewatkan tiga hari berikutnya dengan me-maksa diri memikirkan Buku Panduan untuk Merawat Sendiri Sapumu setiap kali Bibi Marge mengomelinya. Ini berhasil, meskipun rupanya pandangannya jadi kosong menerawang, karena Bibi Marge mulai me-nyuarakan pendapat bahwa Harry menderita lemah mental. Akhirnya, setelah lama ditunggu, tibalah malam terakhir Bibi Marge di rumah itu. Bibi Petunia me-masak makan malam yang "wah" dan Paman Vernon membuka beberapa botol anggur. Mereka menikmati sup dan ikan salem tanpa satu kali pun menyebut kesalahan Harry. Saat makan pai lemon, Paman Vernon membuat mereka semua bosan dengan ber-cerita panjang-lebar tentang Grunnings, perusahaan bornya. Kemudian Bibi Petunia membuat kopi dan Paman Vernon mengeluarkan sebotol brandy. "Kau tergoda, Marge?" Bibi Marge sudah minum agak terlalu banyak anggur. Mukanya yang besar sudah sangat merah. "Sedikit saja kalau begitu," katanya terkekeh. "Se-dikit lagi... tambah lagi sedikit... nah, begitu." Dudley sedang makan potongan painya yang ke-empat. Bibi Petunia menyeruput kopi dengan ke-lingking mencuat. Harry sebetulnya ingin menghilang ke dalam kamarnya, tetapi mata kecil Paman Vernon menatapnya marah dan dia tahu dia harus ikut duduk di situ sampai acara makan malam berakhir. "Aah," kata Bibi Marge, mendecakkan bibir dan meletakkan gelas brandy-nya yang sudah kosong. "Makan malamnya enak sekali, Petunia. Biasanya aku cuma menggoreng sesuatu untuk makan malam, dengan dua belas anjing yang harus diurus..." Dia bersendawa keras dan membelai perutnya yang besar. "Maaf saja, tapi aku suka melihat anak yang berukuran sehat," dia meneruskan, mengedip kepada Dudley. "Kau akan jadi laki-laki berukuran-layak, Dudders, seperti ayahmu. Ya, aku mau brandy sedikit lagi, Vernon.... "Kalau anak yang satu ini..." Dia mengedikkan kepala ke arah Harry, yang lang-sung merasa perutnya kencang. Buku Panduan, pikir-nya cepat-cepat. "Yang ini mukanya kejam dan kerdil. Anjing juga ada yang begitu. Tahun lalu Kolonel Fubster kusuruh menenggelamkan satu anjing macam itu. Anjing jembel. Lemah. Turunan kelas rendah." Harry berusaha mengingat halaman dua belas buku-nya: Mantra untuk Menyembuhkan Sapu yang Malas Berbalik. "Asalnya dari darah, seperti yang kukatakan ke-marin dulu. Darah buruk pasti kelihatan. Bukannya aku menjelek-jelekkan keluargamu, Petunia,"-dia mengelus tangan kurus Bibi Petunia dengan tangan-nya sendiri yang seperti sekop, "tapi adikmu telur yang busuk. Mereka selalu ada dalam keluarga-ke-luarga terbaik. Kemudian dia kabur dengan orang kelas rendah tak berguna, dan ini hasilnya di depan kita." Harry menatap piringnya, dering aneh memenuhi telinganya. Pegang sapumu erat-erat pada ujungnya, pikir-nya. Tetapi dia tak bisa ingat apa kelanjutannya. Suara Bibi Marge seakan menusuk masuk ke dalam dirinya seperti bor Paman Vernon. "Si Potter ini," kata Bibi Marge keras-keras, me-nyambar botol brandy dan menuang lagi ke dalam gelasnya, dan ke atas taplak meja, "kalian tidak per-nah cerita padaku apa kerjanya?" Paman Vernon dan Bibi Petunia tampak tegang sekali. Dudley bahkan mendongak dari painya, me-longo menatap orangtuanya. "Dia-tidak bekerja," kata Paman Vernon, setengah melirik Harry. "Tak punya pekerjaan." "Seperti yang kuduga!" kata Bibi Marge, meneguk brandy-nya banyak-banyak dan menyeka dagu dengan lengan bajunya. "Pemalas, pengangguran, yang tak bisa apa-apa..." "Bukan," kata Harry tiba-tiba. Meja langsung sunyi senyap. Sekujur tubuh Harry gemetar. Belum pernah dia semarah itu. "TAMBAH BRANDY-NYA!" teriak Paman Vernon, yang sudah pucat pasi. Dia mengosongkan botol brandy ke gelas Bibi Marge. "Kau," dia menggertak Harry. "Pergi tidur sana..." "Jangan, Vernon," Bibi Marge cegukan, mengacung-kan tangan mencegah, matanya yang kecil merah menatap Harry. "Ayo, terus, Nak, terus. Bangga akan orangtuamu, ya? Mereka mati dalam kecelakaan mo-bil. Mabuk kukira..." "Mereka tid ak meninggal dalam kecelakaan mobil!" kata Harry, yang sudah berdiri. "Mereka meninggal dalam kecelakaan mobil, pem-bohong kecil, dan meninggalkanmu untuk jadi beban saudara mereka yang terhormat dan rajin bekerja!" teriak Bibi Marge, menggelembung saking marahnya. "Kau anak kurang ajar tak tahu terima kasih, yang..." Tetapi mendadak Bibi Marge berhenti bicara. Sejenak dia seperti kehabisan kata-kata. Kelihatannya dia menggelembung karena kemarahan yang tak bisa di-keluarkan-tetapi dia menggelembung terus. Wajahnya yang besar merah menjadi semakin besar, mata kecil-nya yang merah menjadi menonjol, dan mulutnya tertarik begitu kencang sampai tak bisa bicara. Detik berikutnya, beberapa kancing terlempar lepas dari jaket tweed-nya dan melenting dari dinding-dia menggelembung seperti balon raksasa, perutnya mem-besar sampai ikat pinggangnya lepas, masing-masing jarinya melembung sampai sebesar sosis.... "MARGE!" teriak Paman Vernon dan Bibi Petunia bersamaan, ketika seluruh tubuh Bibi Marge mulai terangkat dari kursinya menuju langit-langit. Dia sudah bulat sekali sekarang, seperti pelampung besar dengan mata babi, dan tangan serta kakinya mencuat aneh sementara dia melayang ke atas, bersuara seperti orang ayan. Ripper berlari masuk, menggonggong liar ribut sekali. "TIDAAAAAAAK!" Paman Vernon menyambar salah satu kaki Bibi Marge dan mencoba menariknya ke bawah, tetapi dia sendiri malah nyaris ikut terangkat. Detik berikut-nya, Ripper sudah melompat menggigit kaki Paman Vernon. Harry kabur dari ruang makan sebelum ada yang bisa mencegahnya, menuju lemari di bawah tangga. Pintu lemari terbuka secara gaib ketika Harry tiba di depannya. Dalam sekejap saja dia sudah menarik kopernya ke pintu depan. Dia berlari ke atas dan melempar diri ke bawah tempat tidurnya, menarik papan yang lepas dan menyambar sarung bantal berisi buku-buku dan hadiah ulang tahunnya. Harry keluar dari kolong tempat tidur, menyambar sangkar kosong Hedwig, dan kembali berlari menuruni tangga menuju kopernya, tepat ketika Paman Vernon muncul dari ruang makan, kaki celananya robek dan berdarah. "KEMBALI KE SINI!" raungnya. "KEMBALI DAN SEMBUHKAN MARGE!" Tetapi kemarahan luar biasa menguasai Harry. Dia menendang kopernya sampai terbuka, menarik keluar tongkatnya, dan mengacungkannya kepada Paman Vernon. "Dia pantas menerimanya," kata Harry, napasnya tersengal. "Dia pantas begitu. Paman jangan dekat-dekat aku." Tangannya meraba ke belakang, mencari gerendel pintu. "Aku mau pergi," kata Harry. "Aku sudah tak ta-han." Dan saat berikutnya, dia sudah berada dijalan yang gelap dan sepi, menarik kopernya yang berat, menenteng sangkar Hedwig. 3 Bus Ksatria HARRY sudah melewati beberapa jalan sebelum akhirnya dia terpuruk di atas tembok rendah di Mag-nolia Crescent, terengah-engah kelelahan menyeret kopernya. Dia duduk diam, kemarahan masih meme-nuhi dirinya, mendengarkan jantungnya yang ber-degup kencang. Tetapi setelah sepuluh menit dijalan yang gelap, emosi baru menguasainya: panik. Dari sudut mana pun dia memandangnya, belum pernah dia dalam kesulitan sebesar ini. Dia terdampar, sendirian, di dunia Muggle yang gelap, tak tahu mau ke mana. Dan yang paling parah, dia baru saja menyihir, yang berarti sudah hampir pasti dia akan dikeluarkan dari Hogwarts. Dia jelas telah melanggar Dekrit Pembatas-an bagi Penyihir di Bawah Umur, dia heran petugas Kementerian Sihir belum muncul untuk menangkap-nya di situ. Harry bergidik dan memandang sepanjang jalan Magnolia Crescent. Apa yang akan terjadi padanya? Akankah dia ditangkap, atau hanya sekadar dicampak-kan dari dunia sihir? Dia teringat Ron dan Hermione, dan hatinya semakin berat. Harry yakin bahwa, kriminal atau bukan, Ron dan Hermione pasti bersedia mem-bantunya sekarang, tetapi mereka berdua ada di luar negeri, dan karena Hedwig tak ada, dia tak bisa menghubungi mereka. Harry juga tak punya uang Muggle. Ada sedikit emas sihir di dalam kantong uang di dasar kopernya, tetapi sisa harta peninggalan orangtuanya tersimpan di ruangan besi di Bank Sihir Gringotts di London. Dia tak akan sanggup menyeret kopernya sampai ke London. Kecuali... Dia menunduk menatap tongkatnya, yang masih dipeganginya. Kalau dia sudah dikeluarkan (jantungnya sekarang berdegup kencang menyakitkan), sedikit sihir lagi tak apa-apa. Dia punya Jubah Gaib yang diwarisi-nya dari ayahnya -bagaimana kalau dia menyihir kopernya, membuatnya seringan bulu, mengikatkannya ke sapunya, mengerudungi tubuhnya dengan Jubah Gaib, dan terbang ke London? Dengan begitu dia bisa mengambil sisa uangnya di ruangan besi dan... memulai hidupnya sebagai orang yang terbuang. Masa depan yang mengerikan, tetapi dia tidak bisa duduk di tembok ini berlama-lama, kalau tidak dia harus men-jelaskan kepada polisi Muggle kenapa dia berkeliaran di tengah malam buta membawa koper penuh buku sihir dan sapu. Harry membuka kopernya lagi dan mendorong isi-nya ke pinggir, mencari Jubah Gaib-nya-tetapi se-belum berhasil menemukannya, mendadak dia me-negakkan diri, sekali lagi melihat berkeliling. Tadi tengkuknya merinding aneh, membuatnya me-rasa sedang diawasi, tetapi jalan itu kosong, dan tak ada lampu yang menyala di salah satu rumah-rumah besar itu. Dia membungkuk di atas kopernya lagi, tetapi sekali lagi langsung bangun, tangannya mencengkeram tong-katnya. Dia merasakan, bukannya mendengar: ada orang atau sesuatu yang berdiri di celah sempit di ajitara garasi dan pagar di belakangnya. Harry me-nyipit memandang gang gelap itu. Kalau saja benda itu bergerak, dia akan tahu apakah itu cuma kucing atau-makhluk lain. "Lumos," gumam Harry dan ada cahaya muncul di ujung tongkatnya, membuatnya silau. Diangkatnya tongkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, dan dinding-kerikil rumah nomor dua mendadak bercahaya, pintu garasinya berkilau, dan di antaranya, Harry melihat, cukup jelas, garis bentuk makhluk yang besar sekali, dengan mata lebar berkilat-kilat. Harry melangkah mundur. Kakinya menabrak kopernya dan dia terhuyung. Tongkatnya melayang ketika dia menjulurkan tangan berusaha menahan jatuhnya, dan tubuhnya mendarat, keras, di selokan. Terdengar bunyi DUAR keras dan Harry meng-angkat tangan menutupi matanya dari cahaya me-nyilaukan yang mendadak muncul.... Sambil berteriak dia berguling naik lagi di trotoar, tepat pada waktunya. Sedetik kemudian, sepasang ban dan lampu luar biasa besar berdecit berhenti tepat di tempatnya tergeletak tadi. Ketika mendongak, Harry melihat ban dan lampu itu milik bus ungu cerah bertingkat tiga yang muncul begitu saja entah dari mana. Huruf-huruf emas di kaca depannya ber-bunyi The Knight Bus-Bus Ksatria. Sejenak Harry mengira jangan-jangan dia jadi sinting gara-gara jatuh tadi. Kemudian seorang kondektur memakai seragam ungu melompat turun dari bus dan mulai berteriak-teriak. "Selamat datang di Bus Ksatria, transportasi darurat untuk para penyihir yang tersesat. Julurkan saja tangan-pemegang-tongkatmu, naiklah ke atas, dan kami bisa membawamu ke mana saja kau ingin pergi. Namaku Stan Shunpike, dan akulah kondekturmu malam ini..." Si kondektur mendadak berhenti. Dia baru saja melihat Harry yang masih duduk di trotoar. Harry menyambar tongkatnya dan terhuyung bangkit. Se-telah dekat, dilihatnya Stan Shunpike hanya beberapa tahun lebih tua darinya, delapan atau sembilan belas tahun paling banyak, dengan telinga lebar mencuat dan beberapa jerawat. "Ngapain kau di bawah situ?" tanya Stan, mening-galkan gayanya yang profesional. "Jatuh," kata Harry. "Kenapa pakai jatuh segala?" Stan terkikik. "Memangnya aku sengaja?" kata Harry, jengkel. Salah satu lutut celana jinsnya robek, dan tangan yang dipakainya menahan jatuhnya berdarah. Dia mendadak ingat kenapa dia sampai jatuh, dan buru-buru berbalik memandang gang di antara garasi dan pagar. Lampu depan bus menyinarinya terang bende-rang, dan gang itu kosong. "Lihat apa sih?" tanya Stan. "Ada binatang besar dan hitam," jawab Harry, me-nunjuk tak jelas ke arah gang. "Seperti anjing... tapi besar sekali..." Dia berbalik memandang Stan, yang mulutnya se-dikit melongo. Dengan perasaan tak enak, Harry me-lihat mata Stan bergerak ke bekas luka di dahinya. "Apa itu di kepalamu?" tanya Stan tiba-tiba. "Tidak apa-apa," jawab Harry buru-buru, menutupi bekas lukanya dengan rambut. Kalau Kementerian Sihir sedang mencarinya, dia tak mau membuat me-reka begitu gampang menemukannya. "Siapa namamu?" Stan memaksa. "Neville Longbottom," kata Harry, menyebut nama pertama yang muncul dalam kepalanya. "Jadi-jadi bus ini," dia cepat-cepat meneruskan, berharap meng-alihkan perhatian Stan, "kauhilang tadi pergi ke mana saja?" "Yep," kata Stan bangga, "ke mana pun kau mau, asal di darat. Kalau bawah air sih, nyerah. Ayo," katanya, tampak curiga lagi, "kau memang memanggil kami, kan? Mengulurkan tangan-pemegang-tongkatmu, kan?" "Ya," kata Harry buru-buru. "Berapa sih ongkos ke London?" "Sebelas Sickle," kata Stan, "tapi kalau bayar empat belas kau dapat cokelat panas, dan kalau lima belas dapat botol-air-panas dan sikat gigi dengan warna pilihanmu sendiri." Harry mencari-cari lagi di dalam kopernya, me-ngeluarkan kantong uangnya dan menjejalkan beberapa perak ke tangan Stan. Dia dan Stan kemudi-an mengangkat kopernya, dengan sangkar Hedwig di atasnya, menaiki tangga bus. Tak ada tempat duduk. Alih-alih tempat duduk, setengah lusin tempat tidur kuningan berderet di sebelah jendela bertirai. Lilin-lilin menyala di atas rak di sebelah masing-masing tempat tidur, menyinari dinding bus yang berlapis papan. Seorang penyihir laki-laki tua memakai topi tidur di bagian belakang bus mengigau, "Jangan sekarang, terima kasih, aku sedang membuat acar siput," dan ia pun berguling dalam tidurnya. "Kau di sini," bisik Stan, mendorong koper Harry ke bawah tempat tidur persis di belakang sopir, yang duduk di kursi berlengan di depan kemudi. "Ini sopir kita, Ernie Prang. Ini Neville Longbottom, Ern." Ernie Prang, penyihir tua berkacamata sangat tebal, mengangguk kepada Harry. Dengan gugup Harry me-ratakan poninya lagi dan duduk di atas tempat tidurnya. "Cabut, Ern," kata Stan, sambil duduk di kursi berlengan di sebelah kursi Ernie. Terdengar bunyi DUAR keras sekali lagi, dan saat berikutnya Harry sudah tergeletak di atas tempat tidurnya, terlempar ke belakang saking cepatnya Bus Ksatria meluncur. Duduk lagi, Harry memandang ke luar jendela yang gelap dan melihat bahwa mereka sekarang meluncur dijalan yang sama sekali lain. Stan mengawasi wajah Harry yang keheranan dengan senang. "Tadi kami di sini sebelum kau memanggil kami," katanya. "Kita di mana, Ern? Suatu tempat di Wales?" "Ya," kata Ernie. "Kenapa Muggle tidak mendengar bus ini?" tanya Harry "Mereka!" kata Stan menghina. "Tidak mendengar-kan dengan benar, kan? Tidak melihat dengan benar juga. Tak pernah memperhatikan apa-apa." "Lebih baik bangunkan Madam Marsh, Stan," kata Ern. "Sebentar lagi kita sampai di Abergavenny." Stan melewati tempat tidur Harry dan menghilang menaiki tangga kayu sempit. Harry masih memandang ke luar jendela, merasa makin lama makin gugup. Ernie kelihatannya tidak menguasai kegunaan roda kemudi. Bus Ksatria berkali-kali naik ke trotoar, tetapi tidak menabrak apa-apa. Deretan lampu jalanan, boks surat, dan tempat sampah melompat menghindar ketika bus mendekat, dan kembali ke posisi masing-masing setelah bus lewat. Stan turun lagi, diikuti penyihir wanita pucat agak kehijauan yang terbungkus mantel bepergian. "Nah, sudah sampai, Madam Marsh," kata Stan riang, ketika Ern menginjak rem dan tempat-tempat tidur meluncur tiga puluh senti ke depan. Madam Marsh menempelkan saputangan ke mulutnya dan terhuyung menuruni tangga bus. Stan melemparkan tasnya ke bawah, lalu menyentakkan pintu bus hingga menutup. Terdengar bunyi DUAR keras lagi, dan bus meluncur menuruni jalan sempit di desa, pohon-pohon berlompatan menghindarinya. Harry tak akan bisa tidur, bahkan seandainya dia sedang naik bus yang tidak terus meletus DUAR DUAR dan melompat seratus lima puluh kilo setiap kali bergerak sekalipun. Perutnya melilit ketika dia kembali memikirkan apa yang akan terjadi padanya, dan apakah keluarga Dursley sudah berhasil me-nurunkan Bibi Marge dari langit-langit. Stan telah membuka Daily Prophet dan sekarang sedang membaca dengan lidah di antara giginya. Foto besar laki-laki berwajah cekung dengan rambut panjang kusut-masai mengedip pelan kepada Harry dari halaman depan. Harry rasanya pernah melihatnya. "Orang itu!" celetuk Harry sejenak melupakan kesulitannya. "Dia muncul di berita Muggle!" Stan membalik halaman depan lagi dan terkekeh. "Sirius Black," katanya, mengangguk. "Tentu saja dia muncul di berita Muggle, Neville. Ke mana saja kau?" Stan tertawa sok tahu melihat wajah bengong Harry, mengambil halaman depan koran, dan menyerahkan-nya kepadanya. "Kau harus lebih sering baca koran, Neville." Harry mendekatkan koran ke lilin dan membaca: BLACK MASIH BERKELIARAN Sirius Black, mungkin narapidana paling terkenal yang pernah ditahan di benteng Azkaban, masih belum berhasil ditangkap, Kementerian Sihir meng-konfirmasikan hari ini. "Kami melakukan apa saja yang kami bisa untuk menangkap kembali Black," kata Menteri Sihir, Cornelius Fudge, pagi ini, "dan kami minta masya-rakat penyihir retap tenang." Fudge dikritik oleh beberapa anggota Federasi Penyihir Internasional karena telah memberitahu Perdana Menteri Muggle tentang krisis ini. "Saya terpaksa, kan," kata Fudge yang jengkel. "Black gila. Dia berbahaya bagi siapa saja yang bertemu dengannya, penyihir ataupun Muggle. Saya mendapat jaminan Perdana Menteri bahwa dia tidak akan mengungkap identitas Black yang sebenarnya kepada siapa pun. Dan kita hadapi saja kenyataan ini-siapa yang percaya seandainya dia mengungkap-nyar Sementara para Muggle diberitahu bahwa Black membawa senapan (semacam tongkat logam yang digunakan Muggle untuk saling bunuh), masya-rakat penyihir ketakutan akan terjadi pembunuhan besar-besaran seperti dua belas tahun lalu, ketika Black membunuh tiga belas orang dengan satu kutukan. Harry memandang mata Sirius Black yang dilingkari bayangan hitam, satu-satunya bagian di muka cekung itu yang kelihatan hidup. Harry belum pernah melihat vampir, tetapi sudah pernah melihat foto-fotonya da-lam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, dan Black, dengan kulitnya yang pucat seperti lilin, kelihat-an seperti vampir. "Tampangn ya mengerikan, ya?" kata Stan, yang mengawasi Harry membaca. "Dia membunuh tiga belas orang?" tanya Harry menyerahkan kembali halaman koran itu kepada Stan. "Dengan satu kutukan!" "Yep," kata Stan. "Di depan banyak orang. Siang hari bolong. Bikin heboh besar, iya kan, Ern?" "Ya," kata Ernie suram. Stan berputar di kursinya, tangannya memegang punggung kursi, agar bisa memandang Harry lebih jelas. "Black pendukung utama Kau-Tahu-Siapa," katanya. "Apa, Voldemort?" kata Harry tanpa berpikir. Bahkan jerawat Stan ikut pucat. Ern menyentak roda kemudi begitu kerasnya, sehingga seluruh rumah pertanian harus melompat minggir untuk menghindari bus itu. "Kau gila?" pekik Stan. "Ngapain sebut-sebut nama-nya?" "Sori," kata Harry buru-buru. "Sori, aku-aku lupa..." "Lupa!" kata Stan lemas. "Astaga, jantungku nyaris copot..." "Jadi-jadi Black pendukung Kau-Tahu-Siapa?" tanya Harry dengan nada minta maaf. "Yeah," kata Stan, masih mengusap-usap dadanya. "Yeah, betul. Dekat sekali dengan Kau-Tahu-Siapa, katanya... tapi, waktu si kecil Arry Potter mengalah-kan Kau-Tahu-Siapa"- Harry dengan gugup merata-kan poninya lagi-"semua pendukung Kau-Tahu-Si-apa dilacak, iya kan, Ern? Sebagian besar dari mereka tahu, semuanya sudah berakhir dengan lenyapnya Kau-Tahu-Siapa, dan mereka diam-diam menyerahkan diri. Tapi Sirius Black tidak. Kudengar dia ber-anggapan akan jadi orang kedua begitu Kau-Tahu-Siapa berkuasa. "Yang jelas, mereka menyudutkan Black di tengah jalan penuh Muggle dan Black mencabut keluar tong-katnya dan menghancurkan seluruh jalan. Satu pe-nyihir jadi korban, begitu juga selusin Muggle yang ada di situ. Mengerikan, eh? Dan kau tahu apa yang dilakukan Black sesudahnya?" Stan meneruskan dalam bisikan dramatis. "Apa?" tanya Harry. "Tertawa," kata Stan. "Berdiri saja di sana dan ter-tawa. Dan ketika bala bantuan dari Kementerian Sihir datang, dia patuh saja pergi bersama mereka, masih tertawa terbahak-bahak. Karena dia gila, iya kan, Ern? Dia gila, kan?" "Kalau dia belum gila waktu dibawa ke Azkaban, dia pasti sudah gila sekarang," kata Ern dengan gaya bicaranya yang lambat. "Aku lebih baik bunuh diri daripada ke tempat itu. Tapi, ganjaran yang pantas untuk Black... setelah apa yang dilakukannya..." "Mereka susah payah menutupi peristiwa itu, iya kan, Ern?" kata Stan. "Jalan diledakkan dan begitu banyak Muggle yang mati. Mereka bilang apa yang terjadi, Ern?" "Ledakan gas," gerutu Ern. "Dan sekarang dia kabur," kata Stan, mengamati foto wajah Black yang kurus kering dan cekung. "Belum pernah ada yang berhasil kabur dari Azkaban, iya kan, Ern? Heran sekali bagaimana dia bisa kabur. Mengerikan, ya? Tapi kurasa dia tak punya banyak kesempatan, para pengawal Azkaban akan segera me-nangkapnya lagi, eh, Ern?" Ernie tiba-tiba bergidik. "Bicara soal lain saja, Stan. Para pengawal Azkaban itu membuatku ngeri." Stan meletakkan korannya dengan enggan dan Harry bersandar ke jendela Bus Ksatria, merasa lebih terpukul dari sebelumnya. Di luar kemauannya, dia membayangkan apa yang m ungkin diceritakan Stan kepada para penumpang bus beberapa malam men-datang: "Sudah dengar tentang Arry Potter? Dia menggelembungkan bibinya. Dia naik Bus Ksatria ini, iya kan, Ern? Dia mencoba melarikan diri...." Harry telah melanggar undang-undang sihir seperti halnya Sirius Black. Apakah menggelembungkan Bibi Marge kesalahan yang cukup besar untuk mengirim-nya ke Azkaban? Harry tak tahu apa-apa tentang penjara sihir ini, meskipun semua orang yang pernah didengarnya bicara tentang Azkaban, membicarakan-nya dengan nada ngeri yang sama. Hagrid-si peng-awas binatang liar Hogwarts-melewatkan dua bulan di sana tahun lalu. Harry tak bisa melupakan kengerian di wajah Hagrid ketika dia diberitahu akan dikirim ke Azkaban, padahal Hagrid salah satu orang paling berani yang dikenal Harry. Bus Ksatria meluncur menembus kegelapan malam, membuat semak belukar, telepon umum, dan pepo-honan serabutan menyingkir. Dan Harry berbaring, gelisah dan merana, di tempat tidurnya yang berkasur isi-bulu. Setelah lewat beberapa saat, Stan ingat bahwa Harry telah membayar untuk cokelat panas, tetapi saat menuangnya, cokelat tumpah ke atas bantal Harry karena bus bergerak mendadak dari Anglesea ke Ab-erdeen. Satu demi satu, penyihir pria dan wanita dalam baju tidur dan sandal turun dari tingkat atas untuk meninggalkan bus. Mereka semua kelihatan senang sudah sampai. Akhirnya penumpang yang tersisa hanya Harry sendirian. "Nah, Neville," kata Stan, menepukkan tangannya, "Londonnya di mana?" "Diagon Alley," kata Harry. "Baik," kata Stan, "pegangan erat-erat..." DUAR! Mereka menderu sepanjang Charing Cross Road. Harry duduk dan melihat bangunan-bangunan dan bangku-bangku mengerut me nghindari Bus Ksatria. Langit sudah agak terang. Dia akan berbaring satu-dua jam, pergi ke Gringotts begitu bank ini buka, kemudian pergi-ke mana, dia tidak tahu. Ern menginjak rem dan Bus Ksatria berhenti men-decit di depan tempat minum kecil kumuh, Leaky Cauldron. Di belakang tempat minum itulah jalan masuk ajaib ke Diagon Alley. "Terima kasih," kata Harry kepada Ern. Dia melompat turun dan membantu Stan menurun-kan kopernya dan sangkar Hedwig ke trotoar. "Nah," kata Harry, "selamat tinggal!" Tetapi Stan tidak mengacuhkannya. Masih berdiri di pintu bus, dia terbelalak menatap pintu masuk Leaky Cauldron yang remang-remang. "Akhirnya kau datang, Harry," terdengar suara. Sebelum Harry bisa berbalik, dia merasa ada ta-ngan memegang bahunya. Pada saat bersamaan, Stan berteriak, "Astaga! Ern, sini! Sini!" Harry mendongak menatap si pemilik tangan di bahunya dan merasa seember air mengguyur perut-nya-rupanya dia mendatangi Cornelius Fudge, si Menteri Sihir sendiri. Stan melompat ke trotoar di sebelah mereka. "Anda memanggil Neville apa, Pak Menteri?" Fudge, laki-laki pendek gemuk memakai mantel bergaris-garis, tampak kedinginan dan kelelahan. "Neville?" dia mengulang, mengernyit. "Ini Harry Potter." "Aku tahu!" Stan berteriak girang. "Ern! Ern! Tebak siapa Neville, Ern! Dia Hrry Potter! Aku bisa lihat bekas lukanya!" "Ya," kata Fudge tak sabar. "Aku senang Bus Ksatria mengangkut Harry, tapi aku perlu masuk Leaky Caul-dron sekarang..." Fudge menambah tekanan di bahu Harry, dan Harry digiring masuk ke tempat minum itu. Sesosok tubuh bungkuk membawa lentera muncul di pintu di bela-kang bar. Dia Tom, si pemilik tempat minum yang sudah sangat tua dan ompong. "Anda berhasil menemukannya, Pak Menteri!" kata Tom. "Anda memerlukan sesuatu? Bir? Brandy?" "Mungkin sepoci teh," kata Fudge, yang masih belum melepaskan Harry. Terdengar bunyi berkeresak dan tersengal-sengal keras di belakang mereka. Stan dan Ern muncul, membawa koper Harry serta sangkar Hedwig, dan memandang berkeliling dengan bergairah. "Kenapa kau tidak bilang kau ini siapa, eh, Neville?" kata Stan, tersenyum kepada Harry, semen-tara wajah Ernie yang seperti burung hantu mengintip ingin tahu dari balik bahu Stan. "Dan ruang pribadi, tolong, Tom," kata Fudge tegas. "Bye," kata Harry muram kepada Stan dan Ern, ketika Tom memberi isyarat kepada Fudge ke arah lorong di belakang bar. "Bye, Neville!" seru Stan. Fudge membawa Harry menyusuri lorong sempit, mengikuti lentera Tom, dan kemudian masuk ke da-lam ruangan kecil. Tom menjentikkan jari-jarinya, api berkobar menyala di perapian, dan Tom membungkuk minta diri lalu meninggalkan ruangan. "Duduklah, Harry," kata Fudge menunjuk kursi di dekat perapian. Harry duduk, merasa lengannya merinding, walau-pun apinya hangat. Fudge membuka mantel bergaris-nya dan melemparkannya ke pinggir, kemudian me-narik ke atas celana hijau-botolnya dan duduk di hadapan Harry. "Aku Cornelius Fudge, Harry. Menteri Sihir." Harry sudah tahu, tentu. Dia pernah melihat Fudge sekali sebelum ini, tetapi karena waktu itu Harry memakai Jubah Gaib ayahnya, Fudge tidak boleh tahu. Tom si pemilik tempat minum muncul lagi, mema-kai celemek di atas baju tidurnya dan membawa senampan teh dan kue. Diletakkannya nampan itu di atas meja di antara Fudge dan Harry, lalu dia me-ninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya. "Nah, Harry," kata Fudge, menuang teh, "kau mem-buat kami semua kalang kabut, tak ada salahnya kuberitahu. Kabur dari rumah bibi dan pamanmu seperti itu! Aku sudah mengira... tapi kau selamat, itu yang penting." Fudge mengolesi kue dengan mentega dan men-dorong piringnya ke arah Harry. "Makan, Harry, kau kelihatan lelah sekali. Nah... Kau akan senang mendengar kami telah membereskan urusan penggelembungan Miss Marjorie Dursley. Dua anggota Departemen Pembalikan Sihir Tak-Sengaja dikirim ke Privet Drive beberapa jam yang lalu. Miss Dursley sudah dikempiskan dan ingatannya sudah dimodifikasi. Dia tak ingat sama sekali kejadian itu. Begitulah, jadi tak apa-apa." Fudge tersenyum kepada Harry dari atas tepi cang-kir tehnya, seperti paman yang memandang keponak-an kesayangannya. Harry, yang tidak bisa memper-cayai telinganya, membuka mulut untuk bicara, tapi tak bisa memikirkan apa yang mau dikatakan, jadi menutupnya lagi. "Ah, kau mencemaskan reaksi bibi dan pamanmu?" kata Fudge. "Yah, aku tidak menyangkal mereka ma-rah besar, Harry, tetapi mereka bersedia menerimamu lagi musim panas yang akan datang, asal kau tinggal di Hogwarts selama liburan Natal dan Paskah." Harry membuka sumbat lehernya. "Saya selalu tinggal di Hogwarts selama liburan Natal dan Paskah," katanya, "dan saya tak mau lagi kembali ke Privet Drive." "Tunggu, tunggu, aku yakin kau akan berpendapat lain kalau sudah tenang nanti," kata Fudge dengan nada cemas. "Bagaimanapun juga mereka keluargamu, dan aku yakin kalian saling menyayangi-er-jauh dalam lubuk hati." Tak terpikir oleh Harry untuk mengoreksi Fudge. Dia masih menunggu apa yang akan terjadi padanya sekarang. "Jadi yang tinggal dilakukan," kata Fudge, sekarang mengolesi kuenya yang kedua, "adalah memutuskan di mana kau akan melewatkan sisa dua minggu liburanmu. Kusarankan kau menginap di salah satu kamar di sini, di Leaky Cauldron dan..." "Tunggu," sela Harry, "bagaimana dengan hukuman saya?" Fudge mengejapkan mata. "Hukuman?" "Saya melanggar hukum!" kata Harry. "Dekrit Pem-batasan bagi Penyihir di Bawah Umur!" "Oh, Nak, kami tidak akan menghukummu untuk urusan kecil seperti itu!" seru Fudge, melambaikan kuenya dengan tak sabar. "Itu kan tak sengaja! Kami tidak mengirim orang ke Azkaban hanya karena menggelembungkan bibi mereka!" Tetapi ini sama sekali tidak cocok dengan yang sudah terjadi di masa lalu antara Harry dan Kemen-terian Sihir. "Tahun lalu, saya mendapat peringatan resmi hanya karena ada peri-rumah membanting puding di rumah paman saya!" kata Harry, mengernyitkan kening. "Kementerian Sihir mengatakan saya akan dikeluarkan dari Hogwarts kalau terjadi sihir lagi di sana!" Kecuali mata Harry mengelabuinya, Fudge men-dadak kelihatan salah tingkah. "Situasi berubah, Harry... kami harus memper-hitungkan... dalam keadaan sekarang... tentunya kau tidak ingin dikeluarkan?" "Tentu saja tidak," kata Harry. "Nah, kalau begitu, buat apa diributkan?" Fudge tertawa ringan. "Ayo, makan kuenya, Harry, sementara aku mengecek apakah Tom punya kamar untukmu." Fudge meninggalkan ruangan dan Harry meman-dang punggungnya. Ada sesuatu yang aneh sekali sedang berlangsung. Kenapa Fudge menunggunya di Leaky Cauldron, kalau bukan mau menghukumnya untuk apa yang telah dilakukannya? Dan sekarang setelah Harry pikir-pikir, tentunya tidak biasa bagi Menteri Sihir sendiri melibatkan diri dalam urusan penyihir di bawah umur? Fudge muncul lagi, ditemani Tom si pemilik rumah minum. "Kamar sebelas kosong, Harry," kata Fudge. "Kurasa kau akan sangat nyaman di sini. Hanya ada satu hal, dan aku yakin kau akan mengerti: aku tak ingin kau berkeliaran di London-nya Muggle, oke? Jalan-jalan di Diagon Alley saja. Dan kau harus sudah pulang sebelum gelap setiap malam. Tentu kau mengerti. Tom akan menjagamu untukku." "Oke," kata Harry lambat-lambat, "tetapi ke-napa...?" "Kami tak ingin kehilangan kau lagi, kan?" kata Fudge terbahak. "Tidak, tidak... lebih baik kami tahu kau di mana... maksudku..." Fudge berdeham keras dan memungut mantel ber-garisnya. "Nah, aku pulang dulu, masih banyak pekerjaan." "Apakah Anda sudah mendapat titik terang soal Black?" tanya Harry. Jari-jari Fudge tergelincir lepas dari kancing perak mantelnya. "Apa? Oh, kau sudah dengar-wah, belum, tapi cuma soal waktu saja. Para pengawal Azkaban belum pernah gagal... dan mereka belum pernah semarah ini." Fudge bergidik sedikit. "Jadi, aku minta diri dulu." Dia mengulurkan tangan dan Harry, saat menjabat-nya, mendadak mendapat ide. "Eh-Pak Menteri? Boleh saya tanya sesuatu?" "Tentu saja," Fudge tersenyum. "Murid-murid kelas tiga di Hogwarts diizinkan mengunjungi Hogsmeade dari waktu ke waktu, tetapi bibi dan paman saya tidak menandatangani formulir perizinannya. Apakah Anda bisa menandatangani-nya?" Fudge kelihatan salah tingkah. "Ah," katanya. "Tidak. Tidak, maaf sekali, Harry, tetapi karena aku bukan orangtua ataupun walimu..." "Tetapi Anda Menteri Sihir," kata Harry berse-mangat. "Jika Anda memberi saya izin..." "Tidak, maaf, Harry, tapi peraturan adalah per-aturan," kata Fudge tegas. "Mungkin kau akan bisa mengunjungi Hogsmeade tahun depan. Menurutku, malah lebih baik kalau kau tidak ke Hogsmeade... ya... nah, aku pergi sekarang. Nikmati sisa liburanmu di sini, Harry." Setelah tersenyum sekali lagi dan menjabat tangan Harry, Fudge meninggalkan ruangan. Tom sekarang bergerak maju, tersenyum kepada Harry. "Silakan ikut aku, Mr Potter," katanya. "Aku sudah membawa barang-barangmu ke atas...." Harry mengikuti Tom menaiki tangga kayu keren menuju pintu bertempel angka sebelas dari kuningan. Tom membuka pintu itu. Di dalam ada tempat tidur yang kelihatannya nya-man, perabot dari kayu ek yang dipelitur mengilap, perapian yang menyala cerah, dan bertengger di atas lemari pakaian... "Hedwig!" Harry terpekik. Burung hantu berbulu seputih salju itu membuat bunyi klik dengan paruhnya dan terbang turun ke lengan Harry. "Burung hantumu cerdik sekali," Tom terkekeh. "Muncul kira-kira lima menit sesudah kau datang. Kalau ada yang kaubutuhkan, Mr Potter, jangan ragu-ragu memintanya." Tom membungkuk sekali lagi dan pergi. Harry duduk di tempat tidurnya lama sekali, me-renung sambil membelai-belai Hedwig. Langit di luar jendela berubah cepat dari biru tua bagai beledu menjadi abu-abu dingin keperakan, dan kemudian, perlahan-lahan, kemerahan bersemburat emas. Harry nyaris tak percaya bahwa dia baru meninggalkan Privet Drive beberapa jam yang lalu, bahwa dia tidak dikeluarkan, dan bahwa dia sekarang akan menjalani dua minggu tanpa keluarga Dursley. "Malam yang aneh sekali, Hedwig," dia menguap. Lalu, bahkan tanpa melepas kacamatanya, dia merebahkan kepala di atas bantal dan langsung tertidur. 4 Leaky Cauldron PERLU beberapa hari bagi Harry untuk membiasakan diri dengan kebebasannya yang aneh. Belum pernah dia bisa bangun kapan saja dia suka atau makan apa pun yang diinginkannya. Dia bahkan bisa pergi ke mana pun dia mau, asal saja masih di Diagon Alley dan karena jalan panjang dari batu ini dipenuhi toko-toko sihir paling menakjubkan di seluruh dunia, Harry sama sekali tak punya keinginan untuk melanggar janjinya kepada Fudge dan memasuki dunia Muggle lagi. Harry sarapan setiap pagi di Leaky Cauldron. Dia senang mengawasi tamu-tamu lainnya: penyihir-penyihir wanita tua dari pedesaan, yang akan ber-belanja seharian; penyihir-penyihir bertampang-ter-hormat mendiskusikan artikel terakhir di Transfigura-tion Today-Transfigurasi Hari Ini; penyihir-penyihir ber-tampang-liar; kurcaci bersuara serak, dan sekali bah-kan nenek sihir mencurigakan yang memesan sepiring hati mentah dari balik balaclava-topi rajutan wol tebal yang menutupi kepala dan lehernya. Sesudah sarapan Harry ke halaman belakang, me-ngeluarkan tongkatnya, mengeruk batu bata ketiga dari kiri di atas tempat sampah, dan mundur saat gerbang lengkung menuju Diagon Alley membuka di tembok. Harry melewatkan hari-hari musim panas yang pan-jang dengan melihat-lihat toko dan makan di bawah payung warna-warni di luar kafe-kafe, tempat para pengunjung saling memamerkan belanjaannya ("ini lunaskop-tak perlu lagi susah payah mempelajari peta bulan, lihat?") atau mendiskusikan kasus Sirius Black ("aku tidak akan membiarkan anak-anakku ke-luar sendiri, sampai dia dikembalikan ke Azkaban."). Harry tak perlu lagi mengerjakan PR di bawah selimut dengan penerangan senter. Sekarang dia bisa duduk di bawah cahaya terang matahari di depan toko es krim Florean Fortescue, menyelesaikan semua tugas mengarangnya dengan kadang-kadang dibantu Florean Fortescue sendiri, yang selain tahu banyak tentang pembakaran penyihir di abad pertengahan, memberi Harry es krim gratis setengah jam sekali. Sesudah Harry mengisi kembali kantong uangnya dengan Galleon emas, Sickle perak, dan Knut pe-runggu dari lemari besinya di Gringotts, dia perlu menahan diri untuk tidak menghabiskan uangnya sekaligus. Berkali-kali dia mengingatkan diri bahwa dia masih harus lima tahun lagi di Hogwarts , dan bagaimana rasanya kalau harus minta uang dari ke-luarga Dursley untuk membeli buku-buku mantra. Itu dilakukannya untuk mencegah dirinya membeli satu set Gobstones emas yang bagus sekali (per-mainan sihir dengan batu-batu emas mirip kelereng, dan batu-batu itu menyemprotkan cairan bau ke wajah pemain lawan setiap kali dia kehilangan satu angka). Harry juga sangat tergoda oleh galaksi yang bisa bergerak dalam bola kaca besar, yang berarti dia tak perlu lagi ikut pelajaran Astronomi. Tetapi barang yang paling menggoda dan nyaris merontok-kan tekad Harry muncul di toko favoritnya, Peralatan Quidditch Berkualitas, seminggu setelah dia tiba di Leaky Cauldron. Penasaran apa yang sedang dikerubungi pengunjung di toko itu, Harry masuk dan menyelip di antara para penyihir yang bergairah sampai dia bisa melihat podium yang baru didirikan. Di atas podium itu dipajang sapu paling hebat yang pernah dilihatnya seumur hidupnya. "Baru keluar... masih contoh...," seorang penyihir berahang persegi memberitahu temannya. "Itu sapu paling cepat di dunia ya, Dad?" kata seorang anak laki-laki yang lebih kecil dari Harry, yang menggelayut di lengan ayahnya. "Regu Internasional Irlandia baru saja memesan tujuh sapu cantik ini," pemilik toko memberitahu kerumunan pengunjung. "Dan sapu ini favorit untuk Piala Dunia!" Seorang penyihir wanita tinggi besar di depan Harry bergeser dan Harry bisa membaca tulisan di sebelah sapu: Sapu balap yang dibuat berdasarkan teknologi paling canggih ini tangkainya terbuat dari kayu ash pilihan, dicat dengan bahan khusus yang sekeras intan, dan dinomori dengan nomor registrasi tersendiri yang ditulis tangan. Ranting-ranting birch untuk ekornya masing-masing diseleksi dan diruncingkan sampai tak lagi mempunyai hambatan udara, membuat keseimbangan dan presisi firebolf ini tak tertandingi. Firebolt ini bisa digas dari 0-225 kilometer per jam dalam waktu sepuluh detik dan memiliki sistem rem sihir yang tak bisa rusak. Harga diberitahukan kepada penanya. Harga diberitahukan kepada penanya... Harry tak ingin memikirkan berapa banyak emas harga sapu itu. Seumur hidupnya belum pernah dia mengingin-kan sesuatu sampai seperti itu-tetapi dia belum per-nah kalah dalam pertandingan Quidditch dengan naik Nimbus Dua Ribu-nya, dan apa gunanya mengosong-kan lemari besinya di Gringotts untuk membeli Firebolt, kalau dia sudah punya sapu yang bagus sekali? Harry tidak menanyakan harganya, tetapi dia kembali ke toko itu, hampir setiap hari, hanya untuk memandang Firebolt. Tapi ada barang-barang yang harus dibeli Harry. Dia pergi ke toko bahan ramuan untuk melengkapi bahan-bahan ramuannya, dan karena jubah-jubah seragamnya sudah kependekan, baik panjangnya maupun lengan-nya, dia mengunjungi toko Jubah untuk Segala Kesempatan Kreasi Madam Malkin, dan membeli beberapa jubah baru. Yang paling penting, dia harus membeli buku-buku baru, termasuk untuk dua mata pelajaran barunya, Pemeliharaan Satwa Gaib dan Ramalan. Harry mendapat kejutan ketika dia melongok ke etalase toko buku. Alih-alih mendisplai buku-buku mantra setebal batu bata dengan huruf-huruf emas, di balik kaca etalase ada kandang besi besar berisi kira-kira seratus eksemplar Buku Monster tentang Mon-ster. Halaman-halaman yang robek beterbangan selagi buku-buku itu saling berkelahi, bergulat saling me-ngunci, dan mengatup-ngatup dengan galak. Harry mengeluarkan daftar buku dari sakunya dan membac anya untuk pertama kali. Buku Monster tentang Monster terdaftar sebagai buku untuk pelajaran Peme-liharaan Satwa Gaib. Sekarang Harry mengerti kenapa Hagrid bilang buku itu akan berguna. Dia merasa lega. Selama ini dia bertanya-tanya dalam hati apakah Hagrid memerlukan bantuan untuk memelihara bina-tang mengerikan yang baru. Saat Harry memasuki Flourish and Blotts, manajer toko buku bergegas menyongsongnya. "Hogwarts?" tanyanya langsung. "Mau beli buku barumu?" "Ya," kata Harry. "Saya memerlukan..." "Minggir," kata si manajer tak sabar, mendorong Harry. Dia mengeluarkan sepasang sarung tangan sangat tebal, mengambil tongkat besar berbonggol, dan berjalan ke arah pintu kandang Buku Monster. "Tunggu," kata Harry buru-buru, "saya sudah pu-nya buku itu." "Sudah?" Kelegaan luar biasa meliputi wajah si manajer. "Syukurlah. Aku sudah digigit lima kali sepagian ini..." Bunyi robekan keras memenuhi udara. Dua Buku Monster menyambar buku ketiga dan menariknya sam-pai jebol. "Stop! Stop!" teriak si manajer, menyodok-nyodok-kan tongkatnya melalui jeruji kandang dan memisah-kan ketiga buku itu. "Aku tak akan mau menjualnya lagi, tak akan pernah! Heboh sekali! Kukira kami telah mengalami yang terburuk ketika kami membeli dua ratus eksemplar Buku Tak-Kasatmata tentang Ketak-kasatmataan-harganya mahal sekali dan sampai seka-rang kami tak bisa menemukannya... Nah, apa ada lagi yang bisa kubantu?" "Ya," kata Harry, membaca daftarnya. "Saya perlu Menyingkap Kabut Masa Depan karangan Cassandra Vablatsky." "Ah, mau mulai pelajaran Ramalan, ya?" kata si manajer seraya membuka sarung tangannya dan mem-bawa Harry ke bagian belakang toko. Di bagian bela-kang itu ada sudut khusus untuk buku-buku ramalan. Ada meja kecil dengan tumpukan buku dengan judul-judul seperti Meramalkan yang Tak Dapat Diramalkan: Mengisolasi Diri dari Kekagetan dan Bola Pecah: Ketika Nasib Baik Berubah Menjadi Nasib Buruk. "Ini dia," kata si manajer yang telah menaiki bangku bertangga dan menurunkan buku tebal bersampul hitam. "Menyingkap Kabut Masa Depan. Buku panduan yang bagus sekali untuk semua metode dasar ramalan- membaca garis tangan, bola kristal, isi perut burung..." Tetapi Harry tidak mendengarkan. Tak sengaja ter-pandang olehnya sebuah buku yang dipajang di antara buku-buku lain di atas meja kecil, Tanda-Tanda Kematian: Apa yang Harus Anda Lakukan Jika Tahu yang Terburuk akan Terjadi. "Oh, aku tak akan mau membaca itu kalau aku jadi kau," kata manajer toko yang melihat apa yang dipandang Harry. "Kau akan melihat tanda-tanda ke-matian di mana-mana, cukup membuat orang ke-takutan sampai mati." Tetapi Harry tetap menatap sampul depan buku itu. Sampul itu menampilkan gambar anjing hitam sebesar beruang, dengan mata berkilat. Aneh sekali, rasanya gambar itu tak asing.... Si manajer menyerahkan buku Menyingkap Kabut Masa Depan ke tangan Harry. "Ada lagi yang lain?" tanyanya. "Ya," kata Harry, mengalihkan pandangannya dari si anjing dan dengan bingung membaca daftarnya. "Eh-saya perlu Transfigurasi Tingkat Menengah dan Kitab Mantra Standar, Tingkat Tiga." Harry meninggalkan Flourish and Blotts sepuluh me-nit kemudian dengan mengepit buku-buku barunya, dan berjalan pulang ke Leaky Cauldron, nyaris tidak memperhatikan jalan dan menabrak beberapa orang. Dia menaiki tangga ke kamarnya, masuk, dan me-naruh buku-bukunya di atas tempat tidur. Sudah ada yang merapikan kamarnya. Jendela-jendelanya terbuka dan sinar matahari menyorot masuk. Harry bisa men-dengar bus-bus menderu lewat dijalan Muggle yang tak kelihatan di belakangnya, dan suara orang-orang yang lewat tak kelihatan di bawah di Diagon Alley. Dia melihat tampangnya sendiri di cermin di atas wastafel. "Tak mungkin itu pertanda kematian," katanya me-nantang kepada bayangannya. "Aku panik waktu me-lihatnya di Magnolia Crescent. Mungkin dia cuma anjing yang tersesat...." Secara otomatis dia mengangkat tangan dan men-coba meratakan rambutnya. "Percuma saja, pasti berantakan lagi," kata cermin-nya dengan suara berdesis. Hari demi hari berlalu. Setiap kali keluar, Harry mulai mencari-cari Ron dan Hermione. Banyak mu-rid Hogwarts yang sudah muncul di Diagon Alley sekarang, karena sebentar lagi sudah masuk sekolah. Harry bertemu Seamus Finnigan dan Dean Thomas, sesama teman asrama di Gryffindor, di toko Peralatan Quidditch Berkualitas. Mereka berdua juga mengagumi Firebolt. Harry juga bertemu Neville Longbottom yang asli, seorang anak laki-laki pelupa bermuka bundar, di depan Flourish and Blotts. Harry tidak menyapanya. Neville rupanya kehilangan daftar bukunya dan se-dang ditegur oleh neneknya yang kelihatan galak. Harry berharap nenek Neville tidak akan pernah tahu dia menyamar jadi Neville ketika sedang melarikan diri dari Kementerian Sihir. Harry terbangun pada hari terakhir liburan, berpikir bahwa paling tidak dia akan bertemu Ron dan Hermione besok pagi, di Hogwarts Express. Dia bangun, berpakaian, pergi melihat Firebolt untuk terakhir kali-nya, dan sedang berpikir-pikir enaknya makan siang di mana, ketika ada yang meneriakkan namanya dan dia berpaling. "Harry! HARRY!" Kedua sahabatnya. Mereka duduk di luar toko es krim Florean Fortescue. Bintik-bintik di wajah Ron tampak jelas sekali, sedang kulit Hermione sangat cokelat. Keduanya melambai-lambai penuh semangat ke arahnya. "Akhirnya!" kata Ron, nyengir kepada Harry ketika Harry ikut duduk. "Kami ke Leaky Cauldron, tapi mereka bilang kau sudah pergi, dan kami ke Flourish and Blotts, dan Madam Malkin, dan..." "Aku sudah beli semua keperluan sekolahku ming-gu lalu," Harry menjelaskan. "Dan bagaimana kau tahu aku tinggal di Leaky Cauldron?" "Dad," kata Ron singkat. Mr Weasley, yang bekerja di Kementerian Sihir, tentu saja telah mendengar seluruh kisah tentang apa yang terjadi pada Bibi Marge. "Apakah kau benar-benar telah menggelembungkan bibimu, Harry?" tanya Hermione sangat serius. "Aku tidak sengaja," kata Harry, sementara Ron terbahak-bahak. "Aku-kehilangan kendali." "Tidak lucu, Ron," kata Hermione tajam. "Terus terang saja, aku heran Harry tidak dikeluarkan." "Aku juga heran," Harry mengaku. "Lupakan soal dikeluarkan. Kukira aku akan ditangkap." Dia me-mandang Ron. "Ayahmu tidak tahu kenapa Fudge membebaskanku, kan?" "Mungkin karena kau adalah kau, kan?" jawab Ron, masih tertawa-taw a. "Harry Potter yang terkenal. Aku tak berani membayangkan apa yang akan di-lakukan Kementerian Sihir padaku kalau aku yang menggelembungkan bibiku, meskipun mereka harus menggaliku dulu, soalnya Mum akan membunuhku duluan. Tapi kau bisa tanya Dad sendiri nanti malam. Kami juga menginap di Leaky Cauldron malam ini! Jadi kau bisa berangkat ke King's Cross bersama kami besok. Hermione juga menginap di sana!" Hermione mengangguk, wajahnya berseri-seri. "Mum dan Dad mengantarku ke sana pagi ini dengan semua keperluan Hogwarts-ku." "Bagus sekali!" kata Harry senang. "Jadi, kalian sudah membeli semua buku dan keperluan lain?" "Lihat ini," kata Ron, menarik keluar kotak panjang tipis dari dalam tas dan membukanya. "Tongkat baru. Tiga puluh lima senti, dedalu, de-ngan sehelai bulu ekor unicorn. Dan kami sudah membeli semua buku..." Dia menunjuk tas besar di bawah kursinya. "Bagaimana dengan Buku Monster, eh? Pelayan toko nyaris menangis waktu kami bi-lang mau beli dua." "Apa itu, Hermione?" Harry bertanya, menunjuk tidak hanya satu, melainkan tiga tas besar mengge-lembung penuh isi di atas kursi di sebelah Hermione. "Aku kan mengambil lebih banyak pelajaran baru daripada kalian berdua," kata Hermione. "Itu buku-bukuku untuk Arithmancy, Pemeliharaan Satwa Gaib, Ramalan, Telaah Rune Kuno, Telaah Muggle..." "Buat apa kau ikut Telaah Muggle?" kata Ron, memutar-mutar bola mata kepada Harry. "Kau kan kelahiran-Muggle! Ayah dan ibumu Muggle! Kau sudah tahu segalanya tentang Muggle!" "Tapi kan akan menarik sekali mempelajarinya dari sudut pandang penyihir," kata Hermione bergairah. "Apa ka u berencana makan dan tidur tahun ini, Hermione?" tanya Harry, sementara Ron terkikik-kikik. Hermione tidak mengacuhkan mereka. "Aku masih punya sepuluh Galleon," katanya, me-meriksa dompetnya. "Ulang tahunku bulan Septem-ber, dan Mum dan Dad memberiku uang untuk mem-beli sendiri hadiah ulang tahunku lebih awal." "Bagaimana kalau buku yang bagus?" kata Ron tanpa dosa. "Tidak, kurasa tidak," kata Hermione tenang. "Aku kepingin sekali punya burung hantu. Maksudku, Harry punya Hedwig dan kau punya Errol..." "Tidak," kata Ron. "Errol itu burung hantu keluarga. Yang aku punya hanyalah Scabbers." Dia menarik keluar tikus peliharaannya dari dalam sakunya. "Dan aku akan memeriksakan dia," Ron menambahkan se-raya meletakkan Scabbers di atas meja di depan me-reka. "Kurasa Mesir tidak cocok untuknya." Scabbers tampak lebih kurus dari biasanya, dan kumisnya jelas menjuntai. "Ada toko satwa gaib di seberang situ," kata Harry, yang sekarang sudah hafal betul Diagon Alley. "Siapa tahu mereka punya obat untuk Scabbers, dan Hermione bisa membeli burung hantunya." Maka mereka membayar es krim dan menyeberang jalan ke Magical Menagerie. Sempit sekali di dalam. Setiap senti dinding tertutup sangkar. Toko itu bau dan bising sekali, karena semua penghuni kandang berkuak, mencicit, mengoceh, atau mendesis. Penyihir wanita penjaga toko di belakang meja pajang sedang menasihati seorang penyihir pria tentang bagaimana memelihara kadal air berkepala-dua, maka Harry, Ron, dan Hermione menunggu, sambil melihat-lihat sangkar-sangkar. Sepasang k odok besar ungu duduk, asyik melahap bangkai lalat. Seekor kura-kura raksasa dengan punggung bertatahkan permata duduk berkilau dekat jendela. Siput-siput jingga beracun merayap pelan di dinding tangki kaca mereka, dan seekor kelinci putih gemuk berkali-kali berubah menjadi topi sutra dan kembali ke sosok kelinci lagi dengan bunyi plop keras. Lalu ada juga kucing dengan segala warna, satu kandang penuh burung gagak cerewet, sekeranjang bola-bulu berwarna aneh yang bersenandung keras, dan di atas meja pajang ada kandang besar penuh tikus-tikus hitam berkilau yang beberapa di antaranya sedang bermain semacam lompat tali dengan meng-gunakan ekor mereka yang licin tak berbulu. Penyihir pembeli kadal air berkepala-dua pulang, dan Ron mendekati meja pajang. "Saya mau memeriksakan tikus saya," kata Ron kepada si penjaga toko. "Dia lesu terus sejak pulang dari Mesir." "Taruh di atas meja pajang ini," kata si penyihir wanita seraya mengeluarkan kacamata hitam berat dari dalam sakunya. Ron mengeluarkan Scabbers dari dalam sakunya dan menaruhnya di sebelah kandang yang berisi teman-temannya sesama tikus, yang berhenti bermain lompat-ekor dan berlarian ke jeruji kawat agar bisa melihat lebih jelas. Seperti segala hal lainnya yang dimiliki Ron, Scabbers si tikus juga diwarisinya (dulunya milik kakaknya, Percy) dan sudah agak kusam. Disanding-kan dengan tikus-tikus berkilau di dalam kandang, Scabbers kelihatan sangat menyedihkan. "Hm," kata si penyihir, mengangkat Scabbers. "Berapa umur tikus ini?" "Saya tak tahu," kata Ron. "Sudah tua. Dulunya dia milik kakak saya." "Apa kehebatannya?" tanya si penyihir, memeriksa Scab bers dengan teliti. "Eh...," kata Ron. Kenyataannya Scabbers tak pernah menunjukkan tanda-tanda kehebatan apa pun. Mata si penyihir berpindah dari telinga kiri Scabbers yang robek ke kaki depannya, yang satu jarinya hilang, dan dia berdecak keras-keras. "Tikus ini sudah mengalami kejadian hebat," komentarnya. "Dia sudah seperti ini ketika Percy memberikannya kepada saya," kata Ron membela diri. "Tikus biasa atau tikus kebun seperti ini tidak bisa diharapkan hidup lebih lama dari tiga tahunan," kata si penyihir. "Kalau kau mencari sesuatu yang lebih tahan lama, kau mungkin akan menyukai ini..." Dia menunjuk tikus-tikus hitam di kandang, yang langsung main lompat-ekor lagi. Ron bergumam, "Sok pamer." "Yah, kalau kau tidak mau pengganti, kau bisa mencoba Tonik Tikus ini," kata si penyihir, meraih ke bawah meja pajangan dan mengeluarkan botol kecil merah. "Oke," kata Ron. "Berapa-OUCH!" Ron membungkuk kesakitan ketika sesuatu yang besar berwarna j ingga meluncur dari atas kandang yang paling tinggi, mendarat di kepalanya, kemudian berputar dan mendesis-desis liar ke arah Scabbers. "JANGAN, CROOKSHANKS, JANGAN!" teriak si penyihir, tetapi Scabbers lolos dari tangannya seperti sabun yang licin, mendarat dengan keempat kakinya di lantai, dan kabur ke pintu. "Scabbers!" teriak Ron, berlari keluar toko untuk mengejarnya. Harry menyusul. Perlu sepuluh menit bagi mereka untuk menemukan Scabbers, yang menyembunyikan diri di bawah tempat sampah di depan toko Peralatan Quidditch Berkualitas. Ron memasukkan kembali tikus yang gemetar itu ke dalam sakunya, lalu bangkit, memijat-mijat kepalanya. "Makhluk apa tadi?" "Kalau bukan kucing yang besar sekali, ya harimau kecil," kata Harry. "Di mana Hermione?" "Mungkin sedang membeli burung hantunya!" Mereka melewati jalan yang penuh sesak, kembali ke Magical Menagerie. Setiba mereka di sana, Hermione keluar, tetapi tidak membawa burung hantu. Tangan-nya memeluk erat kucing Jingga itu. "Kau membeli monster itu?" tanya Ron, ternganga. "Dia keren, ya?" kata Hermione, berseri-seri. Itu soal selera, pikir Harry. Bulu si kucing yang berwarna j ingga memang tebal dan halus, tetapi kakinya agak bengkok -pantas saja namanya Crookshanks, si tulang kering bengkok-dan mukanya kelihatan galak dan gepeng aneh, seakan dia baru menabrak tembok. Sekarang, setelah Scabbers tidak kelihatan, kucing itu mendengkur puas dalam pelukan Hermione. "Hermione, binatang itu nyaris menguliti kepalaku!" kata Ron. "Dia kan tidak sengaja, iya kan, Crookshanks?" kata Hermione. "Lalu bagaimana Scabbers?" kata Ron, menunjuk tonjolan di saku dadanya. "Dia perlu istirahat dan santai! Bagaimana dia bisa istirahat dan santai kalau ada makhluk itu?" "Aku jadi ingat, Tonik Tikus-mu ketinggalan," kata Hermione, menjejalkan botol merah kecil itu ke tangan Ron. "Dan jangan khawatir, Crookshanks akan tidur di kamarku dan Scabbers di kamarmu. Apa masalahnya? Kasihan Crookshanks. Si penyihir t adi bilang dia sudah di toko lama sekali, tak ada yang mau mem-belinya." "Kenapa, ya?" kata Ron sinis sambil mereka berjalan ke Leaky Cauldron. Mereka menemukan Mr Weasley di dalam rumah minum itu, sedang membaca Daily Prophet. "Harry!" katanya, mendongak seraya tersenyum. "Apa kabar?" "Baik, terima kasih," kata Harry, ketika dia, Ron, dan Hermione mendatangi Mr Weasley dengan semua belanjaan mereka. Mr Weasley meletakkan korannya dan Harry me-lihat foto Sirius Black, yang sekarang sudah dikenal-nya, memandangnya. "Mereka belum berhasil menangkapnya?" tanyanya. "Belum," kata Mr Weasley tampak muram sekali. "Mereka menghentikan kami semua dari pekerjaan rutin di Kementerian untuk mencarinya, tapi sejauh ini belum berhasil." "Apakah kita akan mendapat hadiah kalau berhasil menangkapnya?" tanya Ron. "Asyik sekali kalau dapat uang lagi..." "Jangan konyol, Ron," kata Mr Weasley yang se-telah diawasi lebih teliti tampak sangat lelah. "Black tidak akan ditangkap oleh anak tiga belas tahun. Para pengawal Azkaban-lah yang akan menangkap-nya, lihat saja nanti." Saat itu Mrs Weasley masuk, dengan banyak sekali belanjaan dan diikuti si kembar Fred dan George, yang akan memasuki tahun kelima di Hogwarts, si Ketua Murid yang baru terpilih, Percy, serta anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di keluarga Weasley, Ginny. Ginny yang sejak dulu sangat terkesan akan Harry, tampak lebih malu dari biasanya ketika melihatnya. Mungkin karena Harry telah menyelamatkan nyawa-nya dalam semester terakhir mereka di Hogwarts tahun ajaran lalu. Wajahnya langsung merah padam dan dia menggumamkan "halo" tanpa memandang Harry. Percy, sebaliknya, mengulurkan tangan dengan resmi seakan dia dan Harry belum pernah bertemu dan berkata, "Harry. Senang sekali bertemu dengan-mu." "Halo, Percy," kata Harry, berusaha menahan tawa. "Kuharap kau baik-baik saja?" kata Percy sok, men-jabat tangan Harry. Rasanya seperti diperkenalkan kepada wali kota. "Baik, terima kasih..." "Harry!" kata Fred, menyikut Percy agar minggir dan membungkuk dalam-dalam. "Senang sekali ketemu kau, Bung..." "Luar biasa sekali," kata George, mendorong Fred dan ganti menyambar tangan Harry. "Benar-benar ke-hormatan." Percy mencibir. "Sudah cukup," kata Mrs Weasley. "Mum!" kata Fred, seakan dia baru saja melihat ibunya, dan menyambar tangannya juga. "Sungguh menggembirakan bertemu Ibu..." "Kubilang, cukup," kata Mrs Weasley, menaruh belanjaannya di kursi kosong. "Halo, Harry. Kurasa kau sudah mendengar kabar gembira kami?" Dia menunjuk lencana perak baru di dada Percy. "Ketua Murid kedua dalam keluarga!" katanya bangga. "Dan terakhir," gumam Fred dalam bisikan. "Itu tidak kuragukan," kata Mrs Weasley, mendadak mengernyit. "Kulihat kalian berdua tidak terpilih men-jadi Prefek." "Buat apa kami kepingin jadi Prefek?" kata George, kelihatan jijik. "Segala kegembiraan hidup akan hilang." Ginny terkikik. "Beri contoh yang baik pada adikmu!" gertak Mrs Weasley. "Ginny punya kakak-kakak lain yang bisa memberi-nya contoh, Bu," kata Percy angkuh. "Aku mau ganti pakaian untuk makan malam...." Dia menghilang dan George menghela napas. "Kami mencoba mengurungnya di dalam piramida," dia memberitahu Harry. "Tapi ketahuan Mum." Makan malam berlangsung sangat menyenangkan. Tom si pemilik penginapan menyatukan tiga meja di ruang tamu dan ketujuh Weasley, Harry serta Hermione menikmati makan malam yang menyenangkan yang disajikan dalam lima tahapan. "Bagaimana kita ke King's Cross besok, Dad?" tanya Fred, sementara mereka menikmati puding cokelat yang lezat. "Kementerian menyediakan dua mobil," kata Mrs Weasley. Semua mendongak memandangnya. "Kenapa?" tanya Percy ingin tahu. "Tentu karena kau, Perce," kata George serius. "Dan akan ada bendera-bendera kecil di atap mobil, dengan huruf-huruf KM..." "... singkatan Kepala Melembung," kata Fred. Semua, kecuali Percy dan Mrs Weasley, mendengus ke dalam puding masing-masing. "Kenapa Kementerian menyediakan mobil, Yah?" Percy bertanya lagi, dengan nada resmi. "Yah, kita kan tidak punya mobil lagi," kata Mr Weasley, "dan karena aku bekerja di sana, mereka membantuku..." Suaranya biasa saja, tetapi Harry melihat telinga Mr Weasley beru bah merah, persis seperti telinga Ron kalau dia sedang stres. "Untunglah," kata Mrs Weasley cepat. "Sadarkah kalian berapa banyak barang-barang kalian? Pasti me-narik perhatian kalau kita naik kereta bawah tanah Muggle... Kalian semua sudah berkemas, kan?" "Ron belum memasukkan barang-barangnya yang baru dibeli ke dalam kopernya," keluh Percy. "Semua-nya berantakan di tempat tidurku." "Lebih baik kau berkemas sekarang, Ron, karena kita tak punya banyak waktu besok pagi," kata Mrs Weasley dari ujung meja. Ron memandang Percy dengan jengkel. Setelah makan malam semua merasa kenyang dan mengantuk. Satu per satu mereka naik ke kamar masing-masing untuk memeriksa barang-barang yang akan dibawa esok pagi. Kamar Ron dan Percy ber-sebelahan dengan kamar Harry. Harry baru saja me-nutup dan mengunci kopernya ketika dia mendengar suara-suara marah menembus dinding, dan pergi ke sebelah untuk mengetahui apa yang terjadi. Pintu kamar nomor dua belas terbuka sedikit dan Percy sedang berteriak-teriak. "Tadi di sini, di meja di sebelah tempat tidur. Kulepas untuk digosok..." "Aku tidak menyentuhnya, tahu!" Ron balas membentak. "Ada apa?" tanya Harry. "Lencana Ketua Murid-ku hilang," kata Percy, berbalik menghadapi Harry. "Begitu juga Tonik Tikus Scabbers," kata Ron, melempar barang-barang dari dalam kopernya untuk mencari tonik itu. "Mungkin ketinggalan di bawah..." "Kau ta k boleh ke mana-mana sampai kautemukan lencanaku!" raung Percy. "Biar aku yang mengambilkan tonik Scabbers. Aku sudah selesai beres-beres," Harry berkata kepada Ron, dan dia turun. Harry sudah setengah jalan di lorong yang menuju ruang makan di bawah, yang sekarang sudah sangat gelap, ketika dia mendengar sepasang suara marah lain datang dari ruang tamu. Sesaat kemudian dia mengenalinya sebagai suara Mr dan Mrs Weasley. Harry ragu-ragu, dia tak ingin mereka tahu dia telah mendengar mereka bertengkar. Tetapi kemudian dia mendengar namanya disebut. Harry berhenti, kemudi-an bergerak mendekati pintu ruang tamu. "...tak masuk akal tidak boleh memberitahu dia," kata Mr Weasley panas. "Harry berhak tahu. Aku sudah memberitahu Fudge, tapi dia berkeras mau memperlakukan Harry seperti anak-anak. Dia sudah tiga belas tahun dan..." "Arthur, kalau tahu yang sebenarnya, Harry akan ketakutan!" kata Mrs Weasley nyaring. "Apa kau benar-benar ingin Harry kembali ke sekolah dengan dihantui ketakutan? Astaga, dia bahagia kalau tak tahu!" "Aku tak ingin membuatnya menderita, aku ingin dia waspada!" balas Mr Weasley. "Kau kan tahu se-perti apa Harry dan Ron, berkeliaran ke mana-mana berdua saja-mereka sudah masuk Hutan Terlarang dua kali! Tetapi Harry tak boleh begitu tahun ini! Kalau aku memikirkan apa yang bisa terjadi padanya pada malam dia melarikan diri dari rumah! Jika tidak diangkut Bus Ksatria, aku berani bertaruh dia pasti sudah mati sebelum Kementerian menemukan-nya." "Tetapi dia tidak mati, dia baik-baik saja, jadi apa gunanya..." "Molly mereka bilang Sirius Black gila, mungkin juga benar, tetapi dia cu kup pintar untuk bisa kabur dari Azkaban, padahal itu kan diandaikan tak mung-kin terjadi. Sudah tiga minggu, dan tak seorang pun pernah melihat batang hidungnya, dan aku tak peduli apa yang terus-menerus dikatakan Fudge kepada Daily Prophet. Kemungkinan menangkap Black masih sama jauhnya dengan menciptakan tongkat yang bisa me-nyihir sendiri. Satu-satunya yang kita tahu betul adalah siapa yang jadi sasaran Black..." "Tetapi Harry akan aman di Hogwarts." "Kita menganggap Azkaban aman sekali. Kalau Black bisa kabur dari Azkaban, dia bisa menerobos masuk Hogwarts." "Tapi tak ada yang benar-benar yakin sasaran Black adalah Harry..." Terdengar bunyi duk keras, dan Harry yakin Mr Weasley telah menggebrak meja dengan tinjunya. "Molly, berapa kali harus kukatakan kepadamu? Mereka tidak melaporkannya ke media karena Fudge ingin menutupinya. Tetapi Fudge ke Azkaban pada malam Black kabur. Para pengawal memberitahu Fudge bahwa Black sudah beberapa waktu bicara dalam tidurnya. Kata-katanya selalu sama: 'Dia di Hogwarts... dia di Hogwarts.' Black itu gila, Molly, dan dia menginginkan Harry mati. Kalau kau tanya pendapatku, Black mengira membunuh Harry akan membuat Kau-Tahu-Siapa kembali berkuasa. Black ke-hilangan segalanya pada malam Harry menghentikan Kau-Tahu-Siapa, dan dia punya waktu dua belas ta-hun sendirian di Azkaban untuk memikirkan ini..." Sunyi sesaat. Harry bersandar makin rapat ke pintu, ingin sekali mendengar lebih banyak lagi. "Yah, Arthur, kau harus melakukan yang menurut-mu benar. Tetapi kau melupakan Albus Dumbledore. Kurasa tak ada yang bisa mencelakakan Harry di Hogwarts kalau Dumbledore kepala sekolahnya. Dia tahu tentang semua ini, kan?" "Ten tu saja dia tahu. Kami harus menanyainya apakah dia keberatan para pengawal Azkaban berjaga di sekitar pintu masuk ke halaman sekolah. Dia tidak senang, tetapi dia setuju." "Tidak senang? Kenapa dia tidak senang, kalau mereka di sana untuk menangkap Black?" "Dumbledore tidak menyukai pengawal-pengawal Azkaban," kata Mr Weasley berat. "Aku juga tidak, sebetulnya... tapi kalau kita berurusan dengan pe-nyihir seperti Black, kadang-kadang kita harus meng-gabungkan kekuatan dengan pihak-pihak yang se-betulnya lebih suka kita hindari." "Kalau mereka menyelamatkan Harry..." "...kalau begitu aku tidak akan bicara buruk lagi tentang mereka," kata Mr Weasley lelah. "Sudah malam, Molly, sebaiknya kita naik..." Harry mendengar kursi-kursi digeser. Sepelan mungkin, dia bergegas ke ruang makan. Pintu ruang tamu terbuka dan beberapa saat kemudian langkah-langkah yang terdengar memberitahunya Mr dan Mrs Weasley sedang menaiki tangga. Botol Tonik Tikus itu tergeletak di bawah meja tempat mereka duduk tadi. Harry menunggu sampai didengarnya pintu kamar Mr dan Mrs Weasley ter-tutup, baru dia naik lagi membawa botol tonik. Fred dan George meringkuk dalam bayang-bayang kegelapan di bordes, berguncang menahan tawa sementara mereka mendengarkan Percy meng-obrak-abrik kamarnya dalam usahanya mencari len-cananya. "Kami yang ambil," Fred berbisik kepada Harry. "Kami perbaiki." Lencana itu sekarang berbunyi Kakatua Murid. Harry memaksa diri tertawa, pergi menyerahkan Tonik Tikus kepada Ron, kemudian masuk ke kamar-nya dan berbaring di tempat tidur. Jadi Sirius Black mengejarnya. Itu menjelaskan se-galanya. Fudge bersikap lunak terhadapnya karena amat lega melihatnya masih hidup. Dia menyuruh Harry berjanji tidak meninggalkan Diagon Alley, karena di Diagon Alley ada banyak penyihir yang menjaganya. Dan dia mengirim dua mobil Kementeri-an Sihir untuk membawa mereka semua ke stasiun besok, supaya keluarga Weasley bisa menjaga Harry sampai dia berada di dalam kereta api. Harry berbaring mendengarkan teriakan-teriakan teredam dari kamar sebelah dan heran sendiri ke-napa dia tidak menjadi lebih takut. Sirius Black telah membunuh tiga belas orang dengan sekali kutuk. Mr dan Mrs Weasley jelas mengira Harry akan panik kalau dia tahu kenyataan ini. Tetapi Harry setuju sepenuhnya dengan pendapat Mrs Weasley bahwa tempat teraman di dunia adalah tempat di mana Albus Dumbledore berada. Bukankah orang selalu berkata Dumbledore adalah satu-satunya or-ang yang ditakuti Lord Voldemort? Tentunya Black, sebagai tangan kanan Voldemort, sama takutnya kepada Dumbledore? Lagi pula masih ada para pengawal Azkaban yang dibicarakan semua orang. Mereka kelihatannya mem-buat banyak orang ketakutan, dan jika mereka di-tempatkan di sekeliling sekolah, kemungkinan Black bisa memasuki sekolah tampaknya kecil sekali. Tidak, setelah semuanya dipertimbangkan, hal yang paling mengganggu Harry adalah fakta bahwa ke-mungkinannya untuk mengunjungi Hogsmeade seka-rang tak ada sama sekali. Tak seorang pun ingin Harry meninggalkan kastil yang aman sampai Black tertangkap. Bahkan, Harry curiga segala gerak-gerik-nya akan dipantau dengan teliti sampai bahaya telah lewat. Dia mencibi r kepada langit-langit yang gelap. Apa mereka pikir dia tidak bisa menjaga diri? Dia sudah berhasil selamat dari Lord Voldemort tiga kali, dia toh tidak sama sekali tak berguna.... Tak terelakkan, sosok binatang dalam keremangan Magnolia Crescent melintas di benaknya. Apa yang harus kaulakukan jika tahu yang terburuk akan terjadi.... "Aku tak mau dibunuh," kata Harry keras-keras. "Semangat yang bagus, Nak," kata cerminnya mengantuk. 5 Dementor TOM membangunkan Harry keesokan paginya dengan senyum ompongnya yang biasa dan secangkir teh. Harry berganti pakaian dan sedang membujuk Hedwig yang tidak puas untuk masuk kembali ke sangkarnya, ketika Ron menerobos masuk sambil me-narik baju kaus tebal melewati kepalanya, ia kelihatan jengkel. , "Lebih cepat kita naik ke kereta api lebih baik," katanya. "Paling tidak aku bisa jauh-jauh dari Percy di Hogwarts. Sekarang dia menuduhku meneteskan teh ke foto Penelope Clearwater. Tahu kan," Ron menye-ringai, "pacarnya. Cewek itu menyembunyikan wajah-nya di bawah pigura foto karena hidungnya basah..." "Ada yang mau kuberitahukan padamu," Harry memulai, tetapi mereka disela oleh Fred dan George, yang datang untuk memberi selamat pada Ron karena berhasil membuat Percy marah lagi. Mereka turun untuk sarapan. Mr Weasley sedang membaca halaman depan koran Daily Prophet dengan dahi berkerut dan Mrs Weasley sedang bercerita kepada Ginny dan Hermione tentang Ramuan Cinta yang dibuatnya waktu dia masih gadis dulu. Ketiga-nya cekikikan. "Tadi kau mau bilang apa?" Ron menanyai Harry, ketika mereka sudah duduk. "Nanti saja," gumam Harry melihat Percy datang. Harry tak punya kesempatan bicara baik kepada Ron ataupun Hermione dalam hiruk-pikuk menjelang keberangkatan. Mereka terlalu sibuk menggotong koper-koper mereka menuruni tangga-tangga sempit Leaky Cauldron dan menumpuknya di dekat pintu, sementara Hedwig dan Hermes, burung hantu Percy yang berteriak-teriak, bertengger di atas koper-koper itu di dalam sangkar mereka. Sebuah keranjang anyaman kecil berdiri di sebelah tumpukan koper, mendesis-desis keras. "Tidak apa-apa, Crookshanks," bujuk Hermione dari lubang-lubang anyaman. "Nanti kau kukeluarkan kalau sudah di kereta." "Tidak boleh," gertak Ron. "Kasihan si Scabbers, kan?" Ron menunjuk dadanya. Gelembung besar di situ menunjukkan bahwa Scabbers bergulung di dalam sakunya. Mr Weasley yang berada di luar menunggu mobil Kementerian Sihir, menjulurkan kepalanya ke dalam. "Mobilnya sudah datang," katanya. "Harry, ayo." Mr Weasley mengantar Harry menyeberangi trotoar menuju mobil yang di depan. Ada dua mobil kuno hijau tua, masing-masing dikemudikan penyihir miste-rius berseragam hijau zamrud. "Masuk, Harry," kata Mr Weasley sambil me-mandang ke kanan-kiri jalan yang ramai. Harry masuk ke tempat duduk belakang dan tak lama kemudian disusul Hermione, Ron, dan... Percy! Ini jelas membuat Ron sebal sekali. Perjalanan ke King's Cross biasa-biasa saja di-banding dengan perjalanan Harry waktu naik Bus Ksatria. Mobil Kementerian Sihir ini kelihatannya se-perti mobil biasa, meskipun Harry memperhatikan kedua mobil ini bisa menyelip melewati celah-celah yang jelas tak akan bisa dilalui mobil kantor Paman Vernon. Mereka tiba di stasiun dua puluh menit sebelum kereta berangkat. Sopir-sopir Kementerian mengambil troli, menurunkan koper-koper mereka, menyentuh topi untuk memberi hormat kepada Mr Weasley, dan pergi. Secara ajaib mobil mereka berhasil melompat sampai ke paling depan antrean tak ber-gerak yang sedang menunggu lampu hijau. Mr Weasley menempel Harry terus sampai mereka memasuki stasiun. "Baiklah," katanya memandang berkeliling. "Kita masuk dua-dua, karena rombongan kita banyak. Aku masuk duluan dengan Harry." Mr Weasley berjalan ke arah palang rintangan antara peron sembilan dan sepuluh, mendorong troli Harry dan kelihatan tertarik sek ali pada InterCity 125 yang baru saja memasuki peron sembilan. Dengan pandang-an penuh arti kepada Harry, dia bersandar santai ke palang rintangan. Harry menirunya. Berikutnya, mereka sudah menemous logam kokoh itu dan tiba di peron sembilan tiga perempat, dan mendongak .melihat Hogwarts Express, kereta api uap merah-tua, mengepul-ngepulkan asap ke peron yang dipenuhi para penyihir yang mengantar anak-anak mereka. Percy dan Ginny tiba-tiba muncul di belakang Harry. Mereka tersengal-sengal, rupanya menembus palang dengan berlari. "Ah, itu Penelope!" kata Percy, merapikan rambut-nya dan wajahnya memerah lagi. Ginny bertatapan dengan Harry dan keduanya berpaling untuk me-nyembunyikan tawa mereka ketika Percy mendekati seorang gadis berambut ikal panjang. Percy berjalan seraya membusungkan dada, sehingga si gadis tak mungkin tidak melihat lencananya yang mengilap. Setelah sisa keluarga Weasley dan Hermione ber-gabung, Harry dan Mr Weasley berjalan di depan menuju ujung kereta, melewati gerbong-gerbong yang penuh sesak, sampai tiba di gerbong yang kelihatan-nya kosong. Mereka menaikkan koper-koper, menaruh Hedwig dan Crookshanks di atas rak barang, kemudi-an kembali ke luar untuk mengucapkan selamat ting-gal kepada Mr dan Mrs Weasley. Mrs Weasley mencium semua anaknya, kemudian Hermione, dan akhirnya Harry. Harry malu, tetapi sebetulnya senang, ketika Mrs Weasley menambahinya dengan pelukan. "Hati-hati ya, Harry," katanya ketika dia menegak-kan diri lagi, matanya berkaca-kaca. Kemudian dia membuka tasnya yang besar sekali dan berkata, "Aku sudah membuatkan sandwich untuk kalian semua. Ini, Ron... bukan, isinya bukan kornet daging... Fred? Di mana Fred? Ini, Nak..." "Harry" kata Mr Weasley pelan, "ke sini sebentar." Dia mengedikkan kepala ke arah pilar, dan Harry mengikutinya ke belakang pilar, meninggalkan yang lain yang sedang mengerumuni Mrs Weasley. "Ada yang harus kusampaikan kepadamu sebelum kau berangkat," kata Mr Weasley tegang. "Tak apa-apa, Mr Weasley," kata Harry. "Saya sudah tahu." "Kau tahu? Bagaimana kau bisa tahu?" "Saya-eh-saya mendengar Anda dan Mrs Weasley bicara tadi malam. Tak sengaja," Harry menambahkan cepat-cepat. "Maaf..." "Itu bukan cara yang akan kupilih untuk mem-buatmu tahu," kata Mr Weasley, kelihatan cemas. "Tidak apa-apa-betul, tidak apa-apa. Dengan begini, Anda tidak melanggar janji Anda kepada Fudge dan saya tahu apa yang sedang berlangsung." "Harry, kau pasti takut sekali..." "Tidak," kata Harry jujur. "Betul," dia menambah-kan, karena Mr Weasley kelihatan tidak percaya. "Saya bukannya mau sok jadi pahlawan, tetapi Sirius Black tak mungkin lebih mengerikan dari Voldemort, kan?" Mr Weasley berjengit mendengar nama itu, tetapi berusaha mengabaikannya. "Harry, aku tahu kau, yah, lebih kuat daripada yang dikira Fudge, dan aku senang sekali kau tidak takut, tapi..." "Arthur!" panggil Mrs Weasley, yang sekarang menggiring anak-anak yang lain ke kereta. "Arthur, sedang apa kau? Keretanya sudah mau berangkat!" "Kami datang, Molly!" kata Mr Weasley tetapi dia berpaling kembali pada Harry dan bicara lagi dengan suara yang lebih pelan dan mendesak, "Dengar, aku ingin kau berjanji..." "...bahwa saya akan jadi anak yang baik dan tinggal di dalam kastil?" tanya Harry muram. "Tidak hanya itu," kata Mr Weasley, yang kelihatan lebih serius daripada yang pernah dilihat Harry. "Harry, bersumpahlah padaku kau tidak akan mencari Black." Harry terbeliak. "Apa?" Terdengar peluit keras. Para petugas berjalan se-panjang kereta, menutup semua pintu. "Berjanjilah, Harry," kata Mr Weasley, bicara lebih cepat lagi, "bahwa apa pun yang terjadi..." "Untuk apa saya mencari orang yang saya tahu akan membunuh saya?" tanya Harry tak mengerti. "Bersumpahlah padaku bahwa apa pun yang mungkin kau dengar..." "Arthur, cepat!" teriak Mrs Weasley. Asap meliuk dari atas kereta. Kereta sudah mulai bergerak. Harry berlari ke pintu gerbong. Ron mem-bukanya dan mundur agar Harry bisa masuk. Mereka menjulurkan kepala dari jendela dan melambaikan tangan kepada Mr dan Mrs Weasley sampai kereta api berbelok di tikungan dan mereka tak kelihatan lagi. "Aku perlu bicara dengan kalian berdua," Harry bergumam kepada Ron dan Hermione sementara kereta meluncur semakin cepat. "Pergi jauh-jauh, Ginny," kata Ron. "Oh, sopan sekali," kata Ginny tersinggung, lalu pergi. Harry, Ron, dan Hermione menyusuri koridor, mencari kompartemen kosong, tetapi semuanya penuh, kecuali satu di ujung gerbong. Kompartemen ini hanya berisi satu orang, laki-iaki yang tidur nyenyak di sisi jendela. Harry, Ron, dan Hermione ragu-ragu di am bang pintu. Hogwarts Ex-press biasanya khusus untuk anak-anak dan mereka belum pernah melihat orang dewasa di kereta, kecuali penyihir yang mendorong troli makanan. Orang asing ini memakai jubah sihir yang sudah sangat usang dan ditisik di beberapa tempat. Tampak-nya dia sakit dan lelah. Meskipun masih muda, ram-butnya yang cokelat-muda sudah ditumbuhi uban di sana-sini. "Menurutmu siapa dia?" desis Ron, ketika mereka duduk dan menutup kembali pintu. Mereka memilih tempat duduk sejauh mungkin dari jendela. "Profesor R.J. Lupin," bisik Hermione segera. "Dari mana kau tahu?" "Ada di kopernya," jawab Hermione, menunjuk rak barang di atas kepala si laki-laki. Di rak itu ada koper kecil butut diikat dengan tali yang ikatannya rapi. Nama Profesor R.J. Lupin tertera di salah satu sudutnya dengan huruf-huruf yang sudah mulai me-ngelupas. "Ngajar apa, ya?" tanya Ron, mengernyit memandang profil Profesor Lupin yang pucat. "Jelas, kan," bisik Hermione. "Cuma ada satu lowongan. Pertahanan terhadap Ilmu Hitam." Harry, Ron, dan Hermione sudah pernah diajar oleh dua guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Ke-duanya hanya bertahan selama setahun. Ada desas-desus bahwa pekerjaan itu membawa sial. "Yah, mudah-mudahan saja dia memang sanggup," kata Ron ragu-ragu. "Kelihatannya satu kutukan saja bisa menghabisinya. Ngomong-ngomong...," dia ber-paling pada Harry, "apa sih yang mau kaubicarakan dengan kami?" Harry menjelaskan tentang pertengkaran Mr dan Mrs Weasley da n peringatan yang baru saja diberikan Mr Weasley kepadanya. Setelah Harry selesai bercerita, Ron termangu-mangu, sedangkan Hermione menekap mulut dengan kedua tangannya. Akhirnya Hermione menurunkan tangannya untuk berkata, "Sirius Black kabur dari penjara untuk menangkapmu? Oh, Harry... kau harus sangat, sangat hati-hati. Jangan cari masa-lah, Harry." "Aku tak pernah cari masalah," kata Harry sakit hati. "Masalah-lah yang biasanya menemukan aku." "Memangnya Harry begitu tolol, mencari orang gila yang mau membunuhnya?" kata Ron gemetar. Mereka menerima berita ini dengan lebih terpukul daripada dugaan Harry. Baik Ron maupun Hermione kelihatannya jauh lebih takut pada Black dibanding Harry sendiri. "Tak ada yang tahu bagaimana dia bisa lolos dari Azkaban," kata Ron gelisah. "Tak ada yang pernah kabur sebelumnya. Dan dia juga napi kelas top." "Tapi mereka akan bisa menangkapnya, kan?" kata Hermione penasaran. "Maksudku, mereka juga me-minta semua Muggle ikut mencarinya..." "Bunyi apa itu?" kata Ron tiba-tiba. Terdengar suitan samar entah dari mana. Mereka mencari-cari di seluruh kompartemen. "Datangnya dari dalam kopermu, Harry," kata Ron, berdiri dan menjulurkan tangan ke atas rak barang. Sesaat kemudian dia telah menarik Teropong-Curiga Saku dari antara jubah-jubah Harry Teropong-Curiga itu berputar sangat cepat di atas telapak tangan Ron, dan berpendar-pendar terang. "Apakah itu Teropong-Curiga?" tanya Hermione ingin tahu, berdiri agar bisa melihat lebih jelas. "Yeah... tapi, ini yang murah sekali," kata Ron. "Dia langsung berbunyi waktu aku mengikatkannya ke kaki Errol untuk dikiri mkan pada Harry. Mungkin rusak." "Apa waktu itu kau melakukan sesuatu yang men-curigakan?" tanya Hermione galak. "Tidak! Yah... aku sebetulnya tidak boleh meng-gunakan Errol. Kau tahu, kan, dia tidak kuat lagi menempuh perjalanan panjang... tapi bagaimana lagi aku bisa mengirimkan hadiah Harry kepadanya?" "Masukkan lagi ke koper," Harry menyarankan, ketika si Teropong-Curiga bersuit melengking. "Kalau tidak nanti dia bangun." Harry mengangguk ke arah Profesor Lupin. Ron menjejalkan Teropong-Curiga itu ke dalam sepasang kaus kaki jelek dan usang bekas Paman Vernon yang meredam bunyinya, lalu menutup koper. "Kita bisa memeriksakannya di Hogsmeade," kata Ron, seraya duduk lagi. "Toko Dervish and Banges menjual barang-barang seperti itu, peralatan-peralatan dan barang-barang gaib. Fred yang cerita padaku." "Apakah kau tahu banyak tentang Hogsmeade?" tanya Hermione penuh minat. "Menurut yang kubaca itu satu-satunya permukiman non-Muggle di seluruh Inggris..." "Iya sih, kelihatannya begitu," kata Ron sambil lalu. "Tetapi bukan itu yang membuatku ingin ke sana. Aku cuma ingin ke Honeydukes!" "Apa itu?" tanya Hermione. "Toko permen," jawab Ron, menerawang. "Segala macam permen ada... Pepper Imps-Merica Setan, yang membuat mulutmu berasap, dan bola cokelat besar berisi krim stroberi, dan loli pena bulu luar biasa yang bisa kauisap di kelas sementara kelihatannya kau sedang memikirkan apa yang akan kautulis ber-ikutnya..." "Tetapi Hogsmeade tempat yang sangat menarik, kan?" Hermione mendesak penasaran. "Dalam Situs-situs Sejarah Sihir disebutkan losmen di situ adalah markas besar untuk pemberontakan goblin tahun 1612, dan Shrieking Shack- Gubuk Menjerit-katanya ba-ngunan yang paling banyak hantunya di Inggris..." "...dan permen besar-besar yang akan membuatmu terangkat beberapa senti dari tanah saat kau meng-isapnya," kata Ron, yang jelas tak mendengarkan sepatah kata pun yang diucapkan Hermione. Hermione berpaling pada Harry. "Asyik ya, kita boleh keluar dari sekolah dan jalan-jalan di Hogsmeade." "Mestinya," kata Harry muram. "Kau harus cerita padaku kalau sudah ke sana nanti." "Apa maksudmu?" kata Ron. "Aku tak bisa pergi. Paman dan bibiku tidak me-nandatangani formulir perizinanku dan Fudge juga tak mau." Ron tampak ngeri. "Kau tak boleh pergi? Tapi-no way-McGonagall atau entah siapa akan memberimu izin..." Harry tertawa hampa. Profesor McGonagall, kepala asrama Gryffindor, orangnya sangat berdisiplin, "...atau kita bisa tanya Fred dan George, mereka tahu semua lorong rahasia di kastil..." "Ron!" kata Hermione tajam. "Kurasa Harry tak boleh sembunyi-sembunyi meninggalkan kastil selama Black masih berkeliaran..." "Yeah, kurasa begitulah yang akan dikatakan McGonagall kalau aku minta izin," timpal Harry getir. "Tapi kalau kita bersamanya," kata Ron bersemangat kepada Herm ione, "Black tak akan berani..." "Oh, Ron, jangan bicara omong kosong," sela Hermione tajam. "Black sudah membunuh banyak orang di tengah jalan ramai, dan kaupikir dia akan ragu-ragu menyerang Harry hanya karena ada kita?" Sambil bicara Hermione membuka kait keranjang Crookshanks. "Jangan keluarkan dia!" kata Ron, tapi terlambat. Crookshanks melompat ringan dari dalam keranjang-nya, menggeliat, menguap, dan meloncat ke pangkuan Ron. Gundukan di saku Ron gemetar dan Ron men-dorong si kucing dengan jengkel. "Pergi!" "Ron, jangan!" kata Hermione marah. Ron baru mau membalas, ketika Profesor Lupin bergerak. Mereka mengawasinya dengan cemas, tetapi dia cuma menolehkan kepalanya ke arah lain, mulut-nya sedikit terbuka, dan tidur terus. Hogwarts Express meluncur mantap ke arah utara. Pemandangan di luar menjadi semakin liar dan gelap sementara awan-awan di atas menebal. Anak-anak berkejaran melewati pintu kompartemen mereka. Crookshanks sekarang mendekam di atas tempat duduk kosong, wajahnya yang gepeng menghadap Ron, matanya yang hijau mengawasi saku atas Ron. Pukul satu si penyihir wanita gemuk dengan troli makanan tiba di pintu kompartemen. "Kita bangunkan atau tidak?" Ron bertanya cang-gung, mengangguk ke arah Profesor Lupin. "Kelihat-annya dia perlu makan." Hermione hati-hati mendekati Profesor Lupin. "Eh-Profesor?" katanya. "Maaf-Profesor?" Dia tidak bergerak. "Jangan khawatir, Nak," kata si penyihir seraya menyerahkan setumpuk besar kue kepada Harry. "Kalau dia lapar waktu bangun nanti, aku ada di depan dengan masinis." "Dia tidur, kan?" kata Ron pelan, setelah si penyihir menutup pintu kompartemen mereka. "Maksudku- dia tidak mati, kan?" "Tidak, tidak, dia masih bernapas," bisik Hermione, mengambil kue yang ditawarkan Harry. Profesor Lupin mungkin bukan teman seperjalanan yang baik, tetapi kehadirannya di kompartemen me-reka ada gunanya. Lewat tengah hari, ketika hujan mulai turun, menyamarkan perbukitan yang ter-hampar di luar jendela, mereka mendengar langkah-langkah kaki di koridor lagi, dan tiga orang yang paling tidak mereka sukai muncul di pintu: Draco Malfoy diapit kroninya, Vincent Crabbe dan Gregory Goyle. Draco Malfoy dan Harry sudah bermusuhan sejak mereka bertemu dalam perjalanan kereta api pertama mereka ke Hogwarts. Malfoy yang berwajah pucat, runcing dan sinis, adalah penghuni asrama Slytherin. Dia bermain sebagai Seeker di tim Quiddtich Slytherin, posisi yang sama seperti yang dimainkan Harry di tim Gryffindor. Crabbe dan Goyle tampaknya hadir di dunia untuk melaksanakan segala perintah Malfoy. Mereka berdua besar berotot. Crabbe lebih tinggi, dengan rambut berpotongan batok dan leher sangat tebal. Goyle berambut pendek kaku dan lengannya panjang berbulu seperti lengan gorila. "Wah, lihat, siapa itu," kata Malfoy dengan suaranya yang seperti orang malas, membuka pintu kompar-temen mereka. "Potty and the Weasel." Itu ejekan tentu, sebab potty berarti pispot, sedangkan weasel adalah binatang sejenis musang. Crabbe dan Goyle terkekeh macam troli. "Kudengar ayahmu akhirnya berhasil dapat emas musim panas ini, Weasley," kata Malfoy. "Apa ibumu mati saking kagetnya?" Ron berdiri cepat sekali, menyenggol keranjang Crookshanks sampai jatuh ke lantai. Profesor Lupin mendengus. "Siapa itu?" tanya Malfoy, otomatis melangkah mundur begitu melihat Lupin. "Guru baru," kata Harry, yang sudah bangkit juga, siapa tahu dia perlu menahan Ron. "Apa katamu, Malfoy?" Mata pucat Malfoy menyipit. Dia tak begitu bodoh sehingga mau berkelahi di depan hidung guru. "Ayo," gumamnya kecewa kepada Crabbe dan Goyle, dan mereka menghilang. Harry dan Ron duduk lagi. Ron menggosok-gosok buku-buku jarinya. "Aku tak mau diam saja dikata-katai Malfoy tahun ini," katanya berang. "Betul. Kalau dia sekali lagi menghina keluargaku, akan kupegang kepalanya dan..." Ron memperagakan gerakan bengis di tengah udara. "Ron," desis Hermione, menunjuk Profesor Lupin, "hati-hati..." Tetapi Profesor Lupin masih tidur nyenyak. Hujan semakin lebat sementara kereta meluncur semakin ke utara. Jendela sekarang berwarna abu-abu berkilau dan perlahan berubah gelap sampai lampu-lampu menyala di sepanjang koridor dan di atas rak barang. Kereta berderit, hujan bergemuruh, angin menderu, tapi tetap saja Profesor Lupin tidur. "Kita pasti hampir sampai," kata Ron, mencondong-kan tubuhnya ke depan untuk melihat, melewati Pro-fesor Lupin, ke jendela yang sekarang sudah hitam pekat. Bibirnya belum lagi menutup ketika kereta mulai melambat. "Bagus," kata Ron, bangkit dan berjalan hati-hati melewati Profesor Lupin untuk mencoba melihat ke luar. "Aku sudah lapar, aku ingin ikut pesta..." "Tak mungkin kita sudah sampai," kata Hermione, memeriksa arlojinya. "Lalu kenapa berhenti?" Kereta api semakin lama semakin lambat. Setelah bunyi piston mereda, angin dan hujan terdengar se-makin keras menimpa j endela. Harry yang duduk paling dekat pintu, bangkit untuk melihat ke koridor. Di sepanjang gerbong, kepala-kepala bermunculan ingin tahu dari dalam kompartemen. Kereta api berhenti diiringi entakan dan suara ge-debuk dan kelontangan di kejauhan yang memberi-tahu mereka bahwa koper dan barang-barang bawaan berjatuhan dari raknya. Kemudian, tanpa peringatan, semua lampu padam dan mereka tenggelam dalam kegelapan total. "Ada apa sih?" terdengar suara Ron di belakang Harry. "Ouch!" pekik Hermione. "Ron, itu kakiku!" Harry meraba-raba kembali ke kursinya. "Apa keretanya rusak?" "Entah..." Terdengar bunyi decit, dan Harry melihat sosok gelap Ron melap sepetak kaca jendela dan mengintip ke luar. "Ada yang bergerak di luar," kata Ron. "Kayaknya ada orang-orang yang naik ke kereta..." Pintu kompartemen mendadak terbuka dan ada yang menjatuhi kaki Harry sampai sakit. "Sori! Apa kau tahu ada apa? Ouch! Sori..." "Halo, Neville," kata Harry, meraba-raba dalam gelap dan mengangkat Neville pada jubahnya. "Harry? Kaukah itu? Ada apa sih?" "Entahlah! Duduklah..." Terdengar desis keras dan jerit kesakitan. Neville rupanya menduduki Crookshanks. "Aku mau tanya masinis ada apa," terdengar suara Hermione. Harry merasa Hermione melewatinya, mendengar pintu menggeser terbuka lagi, kemudian bunyi gedebuk dan dua pekik kesakitan. "Siapa itu?" "Siapa itu?" "Ginny?" "Hermione?" "Ngapain kau?" "Aku mencari Ron..." "Masuk dan duduklah..." "Jangan di sini!" kata Harry buru-buru. "Aku di sini!" "Aduh!" seru Neville. "Diam!" mendadak terdengar suara serak. Profesor Lupin akhirnya terbangun. Harry bisa men-dengar gerakan-gerakan di sudutnya. Tak seorang pun bicara. Terdengar bunyi derik pelan dan ada cahaya ber-goyang yang memenuhi kompartemen. Profesor Lu-pin memegangi segenggam nyala api. Api itu me-nyinari wajahnya yang pucat lelah, tetapi matanya tampak siap dan waspada. "Tetap di tempat masing-masing," katanya dengan suara serak yang sama, dan perlahan dia bangkit dengan tangan yang menggenggam api terulur di depannya. Tetapi pintu menggeser terbuka sebelum Lupin mencapainya. Berdiri di ambang pintu, diterangi oleh nyala api yang bergoyang di tangan Lupin, ada sosok berjubah yang menjulang sampai ke langit-langit kereta. Wajah-nya sama sekali tersembunyi di bawah kerudung kepalanya. Mata Harry menyusur ke bawah dan yang dilihatnya membuat perutnya kejang. Ada tangan yang terjulur dari dalam jubah dan tangan itu mengilap, abu-abu, kelihatannya berlendir dan berkeropeng, seperti sesuatu yang mati dan telah membusuk dalam air.... Tangan itu cuma tampak sekejap. Seakan makhluk di bawah jubah itu merasakan pandangan Harry, tangan itu mendadak ditarik ke dalam lipatan kain hitam jubahnya. Dan kemudian, sosok di, bawah kerudung, entah apa itu, menarik napas pelan berkeretak, seakan dia mencoba mengisap lebih dari sekadar udara dari sekelilingnya. Rasa dingin menusuk menyapu mereka semua. Harry merasa napasnya sendiri tertahan di dadanya. Rasa dingin itu menembus kulitnya. Memasuki dada-nya, memasuki jantungnya... Mata Harry seolah membalik ke dalam kepalanya. Dia tak bisa melihat. Dia tenggelam dalam rasa dingin. Terdengar deru dalam telinganya, seperti deru air. Dia ditarik ke bawah, deru air semakin keras... Dan kemudian, dari kejauhan, dia mendengar jeritan. Jerit mengerikan, ketakutan, dan penuh per-mohonan. Harry ingin membantu orang itu, dia ber-usaha menggerakkan tangannya, tetapi tak bisa... kabut putih tebal melayang-layang menyelubunginya, di dalam tubuhnya... "Harry! Harry! Kau tak apa-apa?" Ada yang menampar-nampar pipinya. "A-apa?" Harry membuka matanya. Ada lentera-lentera di atasnya, dan lantai bergetar-Hogwarts Express sudah bergerak lagi dan lampu juga sudah menyala. Rupa-nya dia merosot dari kursinya ke lantai. Ron dan Hermione berlutut di sebelahnya, dan di atas mereka, dia bisa melihat Neville dan Profesor Lupin meng-awasi. Harry merasa sangat mual. Waktu dia meng-angkat tangan untuk memakai lagi kacamatanya, dia merasa wajahnya bersimbah keringat dingin. Ron dan Hermione mengangkatnya kembali ke tem-pat duduknya. "Kau tak apa-apa?" tanya Ron cemas. "Yeah," kata Harry, cepat-cepat memandang ke pintu. Makhluk berkerudung tadi sudah lenyap. "Apa yang terjadi? Di mana makhluk-makhluk itu? Siapa yang menjerit?" "Tak ada yang menjerit," kata Ron, semakin cemas. Harry memandang berkeliling kompartemen yang terang. Ginny dan Neville balas memandangnya. Ke-duanya pucat pasi. "Tetapi aku mendengar jeritan..." Bunyi keletak keras membuat mereka semua ter-lonjak. Profesor Lupin sedang mematah-matahkan sebatang cokelat besar. "Ini," katanya kepada Harry, mengulurkan potongan yang besar sekali. "Makanlah. Akan membantu." Harry mengambil cokelat itu tetapi tidak memakan-nya. "Tadi itu apa?" dia bertanya kepada Lupin. "Dementor," kata Lupin, yang sekarang membagi-kan cokelat kepada semua anak. "Salah satu Dementor Azkaban." Semua terbelalak menatapnya. Profesor Lupin me-remas bungkus cokelat dan memasukkannya ke dalam sakunya. "Makan," dia mengulang. "Akan membantu. Aku perlu bicara dengan masinis, maaf..." Dia berjalan melewati Harry dan lenyap ke koridor. "Kau yakin kau tak apa-apa, Harry?" tanya Hermione, menatap Harry dengan cemas. "Aku tak mengerti... apa yang terjadi?" kata Harry menyeka lebih banyak keringat dari wajahnya. "Si-si Dementor-berdiri di sana dan memandang berkeliling (maksudku, kupikir dia memandang ber-keliling, aku tak bisa melihat matanya)-dan kau- kau..." "Kukira kau tiba-tiba sakit ayan atau apa," kata Ron yang masih tampak ketakutan. "Kau mendadak kaku dan jatuh dari tempat dudukmu dan mulai kejang-kejang..." "Dan Profesor Lupin melangkahimu, berjalan men-dekati si Dementor, dan mencabut tongkatnya," kata Hermione. "Dan dia berkata, 'Tak seorang pun dari kami menyembunyikan Sirius Black di balik jubah kami. Pergi.' Tetapi si Dementor tidak bergerak, jadi Lupin menggumamkan sesuatu, dan sesuatu yang keperakan meluncur dari tongkatnya, mengenai si Dementor, lalu si Dementor berbalik dan seperti me-layang pergi..." "Mengerikan sekali," kata Neville, suaranya lebih melengking daripada biasanya. "Apakah kalian merasakan hawa jadi dingin sekali ketika dia datang?" "Aku merasa aneh," kata Ron, menggerakkan bahu-nya dengan tak nyaman. "Sepertinya aku tak akan pernah gembira lagi..." Ginny, yang meringkuk di sudut, kelihatan sama merananya seperti yang dirasakan Harry, terisak kecil. Hermione mendekatinya dan memeluknya. "Tetapi apakah kalian tidak ada yang-jatuh dari tempat duduk?" tanya Harry canggung. "Tidak," kata Ron, memandang Harry dengan cemas lagi. "Tapi Ginny gemetar hebat sekali..." Harry tidak mengerti. Dia merasa lemah dan geme-tar, seakan baru sembuh dari flu berat. Dia juga mulai merasa malu. Kenapa dia sampai pingsan be-gitu, padahal yang lain tidak? Profesor Lupin sudah kembali. Dia berhenti sebentar sebelum masuk, memandang berkeliling, dan berkata seraya tersenyum kecil, "Aku tidak meracuni cokelat-nya lho..." Harry menggigit cokelatnya dan heran sekali ketika merasakan kehangatan mendadak merayap sampai ke ujung-ujung jarinya. "Kita akan tiba di Hogwarts sepuluh menit lagi," kata Profesor Lupin. "Kau tak apa-apa, Harry?" Harry tidak bertanya bagaimana Profesor Lupin bisa tahu namanya. "Tidak," dia bergumam, malu. Mereka tidak banyak bicara selama sisa perjalanan. Akhirnya kereta berhenti di stasiun Hogsmeade, dan anak-anak berdesakan turun. Burung-burung hantu beruhu-uhu keras, kucing-kucing mengeong, dan katak piaraan Neville berkuak keras dari bawah topinya. Dingin sekali di peron kecil mungil itu. Hujan mengguyur seperti jarum-jarum es. "Anak-anak kelas satu ke sini!" terdengar suara yang sudah mereka kenal. Harry, Ron, dan Hermione menoleh dan melihat sosok raksasa Hagrid di ujung peron, menggapai memanggil anak-anak kelas satu yang ketakutan. Hagrid akan mengantar mereka da-lam perjalanan tradisional menyeberangi danau. "Baik-baik saja, kalian bertiga?" Hagrid berteriak di atas kepala anak-anak. Mereka melambai kepadanya, tetapi tidak punya kesempatan bicara dengannya, karena mereka terbawa kerumunan anak-anak di sekitar mereka menjauh dari peron. Harry, Ron, dan Hermione mengikuti murid-murid yang lain keluar ke jalan tanah yang kasar. Dijalan itu paling tidak seratus kereta menunggu anak-anak yang tersisa. Masing-masing di-tarik, menurut dugaan Harry, oleh kuda yang tak kelihatan, karena ketika mereka sudah naik dan me-nutup pintunya, keretanya langsung berjalan beriringan sendiri, saling bentur dan berguncang. Kereta itu samar-samar berbau jamur dan jerami. Harry sudah merasa lebih enak setelah makan cokelat, tetapi masih lemah. Ron dan Hermione tak henti-hentinya meliriknya, seakan ketakutan dia akan ping-san lagi. Ketika kereta mendekati sepasang gerbang besi yang kokoh, diapit oleh pilar batu yang di atasnya ada babi hutan bersayap, Harry melihat dua Dementor tinggi besar berkerudung, berdiri di kanan-kiri ger-bang. Gelombang rasa dingin tak nyaman siap meng-gulungnya lagi. Harry bersandar kembali ke tempat duduknya yang empuk dan memejamkan matanya sampai mereka sudah melewati gerbang. Kereta me-luncur semakin cepat ketika melewati jalan panjang landai menuju kastil. Hermione menjulurkan kepala dari jendela kecil mungil, memandang menara-menara yang semakin mendekat. Akhirnya kereta berguncang lalu berhenti, Hermione dan Ron turun. Ketika Harry turun, terdengar suara senang di telinganya. "Kau pingsan, Potter? Apakah yang dikatakan Longbottom benar? Kau betul-betul pingsan?" Malfoy menyodok melewati Hermione untuk mem-blokir Harry sehingga tidak bisa menaiki undakan kastil. Wajahnya berseri-seri dan matanya yang pucat berkilat jahat. "Minggir, Malfoy," kata Ron, yang rahangnya ter-katup rapat. "Apa kau pingsan juga, Weasley?" kata Malfoy keras-keras. "Apa Dementor yang mengerikan itu membuatmu ketakutan juga, Weasley?" "Ada masalah?" terdengar suara lunak. Profesor Lupin baru saja turun dari kereta berikutnya. Malfoy memandang Profesor Lupin dengan meng-hina. Dia sudah melihat tambalan di jubahnya dan kopernya yang butut. Dengan sedikit sinis dia men-jawab, "Oh, tidak-eh- Profesor," kemudian menye-ringai kepada Crabbe dan Goyle, dan mengajak me-reka menaiki undakan masuk ke dalam kastil. Hermione menyodok punggung Ron agar bergegas, dan mereka bertiga bergabung dengan kerumunan anak-anak yang memenuhi undakan, memasuki pintu ek besar, ke dalam Aula Depan yang besar, yang diterangi obor-obor menyala. Di dalam aula itu ada tangga pualam yang menuju lantai atas. Pintu menuju Aula Besar terbuka di sebelah kanan. Harry mengikuti anak-anak menuju pintu itu, tetapi baru saja sekilas melihat langit-langit sihirnya, yang malam ini gelap berawan, ada suara memanggil, "Pot-ter! Granger! Aku ingin bertemu kalian berdua!" Harry dan Hermione berbalik, keheranan. Profesor McGonagall, guru Transfigurasi dan kepala asrama Gryffindor, memanggil mereka dari atas kepala anak-anak. Dia guru wanita bertampang galak, dengan rambut digelung ketat, matanya yang tajam memakai kacamata persegi. Harry mendekatinya, menyeruak di antara anak-anak. Perasaannya tak enak. Pr ofesor McGonagall selalu membuat dia merasa telah melaku-kan sesuatu yang salah. "Tak perlu secemas itu. Aku cuma mau bicara sedikit di kantorku," katanya kepada mereka. "Kau terus saja, Weasley" Ron mengawasi Profesor McGonagall membawa Harry dan Hermione menjauh dari kerumunan anak-anak yang ramai berceloteh. Mereka menyeberangi Aula Depan, menaiki tangga pualam dan menyusur koridor. Begitu memasuki kantornya, ruangan kecil dengan api besar yang hangat dan nyaman, Profesor McGonagall memberi isyarat agar Harry dan Hermione duduk. Dia sendiri duduk di belakang mejanya dan tiba-tiba saja berkata, "Profesor Lupin mengirim burung hantu untuk memberitahukan bahwa kau sakit di kereta api, Potter." Sebelum Harry sempat menjawab, terdengar ketuk-an di pintu dan Madam Pomfrey, matron rumah sakit, masuk. Harry merasa wajahnya memerah. Bahwa dia tadi pingsan, atau entah apa, sudah memalukan. Apalagi ditambah semua orang jadi repot begini. "Saya tak apa-apa," katanya. "Saya tidak perlu apa-apa..." "Oh, kau rupanya?" kata Madam Pomfrey, mengabaikan ucapan Harry dan membungkuk untuk memeriksanya. "Apa kau baru saja melakukan sesuatu yang berbahaya lagi?" "Gara-gara Dementor, Poppy," kata Profesor McGonagall. Mereka bertukar pandang suram dan Madam Pomfrey berdecak mencela. "Memasang Dementor di sekitar sekolah," gumam-nya, mendorong rambut hitam Harry ke belakang dan meraba dahinya. "Dia bukan orang pertama yang pingsan. Ya, dia berkeringat. Sungguh mengerikan, Dementor, dan efeknya pada orang-orang yang rapuh..." "Saya tidak rapuh!" kata Harry jengkel. "Tentu saja tidak," sambil lalu Madam Pomfrey berkata, seraya memeriksa nadi Harry. "Apa yang diperlukannya?" tanya Profesor McGonagall ringkas. "Istirahat di tempat tidur? Apa perlu dia malam ini menginap di rumah sakit?" "Saya tidak apa-apa!" kata Harry melompat bangun. Membayangkan apa yang akan dikatakan Draco Malfoy kalau dia ke rumah sakit sungguh merupakan siksaan. "Dia harus makan cokelat, paling tidak," kata Madam Pomfrey, yang sekarang berusaha memeriksa mata Harry. "Saya sudah makan cokelat," kata Harry. "Diberi Profesor Lupin. Dia membagikannya kepada kami semua." "Oh ya?" kata Madam Pomfrey senang. "Jadi, akhir-nya kita mendapat guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam yang tahu obat-obatnya." "Kau yakin kau tidak apa-apa, Potter?" tanya Profesor McGonagall tajam. "Ya," kata Harry. "Baiklah, kalau begitu. Silakan tunggu di luar se-mentara aku bicara sebentar dengan Miss Granger soal jadwal pelajarannya, kemudian kita bisa pergi ke pesta bersama-sama." Harry keluar ke koridor bersama Madam Pomfrey, yang seraya bergumam sendiri langsung kembali ke rumah sakit di salah satu sayap kastil. Harry cuma menunggu beberapa menit. Hermione keluar dengan tampang gembira sekali, diikuti oleh Profesor McGonagall, dan mereka bertiga kembali menuruni tangga pualam menuju Aula Besar. Rasanya seakan memasuki lautan topi hitam. Masing-masing meja panjang asrama dipenuhi anak-anak, wajah mereka berkilau diterangi nyala seribu lilin, yang melayang-layang di atas meja di tengah udara. Profesor Flitwick, seorang penyihir pria kecil dengan rambut beruban, menenteng sebuah topi tua dan kursi berkaki-empat keluar aula. "Oh," kata Hermione pelan, "kita ketinggalan acara Seleksi!" Murid-murid baru Hogwarts diseleksi masuk asrama mana dengan cara memakai Topi Seleksi, yang meneriakkan asrama mana yang paling cocok untuk mereka (Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff, atau Slytherin). Profesor McGonagall berjalan ke tempat duduknya di meja guru, sedangkan Harry dan Hermione berjalan ke jurusan yang berlawanan, se-pelan mungkin, menuju meja Gryffindor. Anak-anak menengok memandang mereka, sementara mereka ber-jalan di bagian belakang aula, dan beberapa di antara mereka menunjuk-nunjuk Harry. Apakah kisah tentang dirinya yang pingsan di depan Dementor sudah ber-edar begitu cepatnya? Harry dan Hermione duduk mengapit Ron, yang sudah menyediakan tempat untuk mereka. "Kenapa sih kalian dipanggil?" gumam Ron kepada Harry. Harry mulai menjelaskan dengan berbisik, tetapi saat itu Kepala Sekolah berdiri untuk berpidato, maka Harry berhenti. Profesor Dumbledore, meskipun usianya sudah sa-ngat lanjut, kesannya sangat enerjik. Rambut dan jenggotnya yang keperakan panjangnya lebih dari satu meter. Dia memakai kacamata berbentuk bulan-separo dan hidungnya sangat bengkok. Dia sering dideskripsikan sebagai penyihir terbesar zaman ini, tetapi bukan karena itu Harry menghormatinya. Se-perti semua orang lain, Harry tak bisa tidak memper-cayai Albus Dumbledore, dan ketika Harry me-mandangnya tersenyum kepada murid-muridnya, dia merasa benar-benar tenang untuk pertama kalinya sejak Dementor memasuki kompartemen kereta api. "Selam at datang!" kata Dumbledore, nyala lilin me-mantul berkilau pada jenggotnya. "Selamat datang untuk tahun ajaran baru lagi di Hogwarts! Ada bebe-rapa hal yang akan kusampaikan kepada kalian se-mua, dan karena salah satunya sangat serius, kurasa lebih baik ini kusampaikan dulu sebelum kalian di-bingungkan oleh santapan pesta yang lezat-lezat..." Dumbledore berdeham dan melanjutkan, "Seperti sudah kalian semua ketahui setelah pemeriksaan di Hogwarts Express, sekolah kita sekarang ini sedang jadi tuan rumah untuk beberapa Dementor Azkaban, yang ada di sini untuk urusan Kementerian Sihir." Dia berhenti sejenak dan Harry teringat apa yang dikatakan Mr Weasley tentang Dumbledore yang tidak senang para Dementor berjaga di sekolah. "Mereka ditempatkan di semua pintu masuk ke halaman sekolah," Dumbledore melanjutkan, "dan se-mentara mereka bersama kita, harus kutekankan bahwa tak seorang pun diizinkan meninggalkan sekolah tanpa izin. Dementor tak bisa dibodohi dengan tipuan atau samaran-atau bahkan Jubah Gaib," dia menambahkan dengan lunak. Harry dan Ron saling lirik. "Dementor tidak bisa memahami permohonan atau permintaan maaf. Karena itu aku memperingatkan kalian semua, jangan memberi mereka alasan untuk mencelakai kalian. Aku mengandalkan para Prefek, dan Ketua Murid Laki-Laki dan Perempuan yang baru, untuk memastikan tak ada anak yang melanggar peraturan sehingga bisa jadi korban Dementor." Percy, yang duduk beberapa kursi dari Harry, mem-busungkan dada lagi dan memandang berkeliling dengan lagak penting. Dumbledore berhenti lagi. Dia memandang ke seluruh aula dengan serius, dan tak seorang pun bergerak ataupun membuat suara. "Sekarang berita yang menyenangkan," dia me-neruskan. "Aku gembira sekali menerima dua guru baru di sekolah kita tahun ini. "Yang pertama, Profesor Lupin, yang telah berbaik hati berkenan mengisi posisi guru Pertahanan ter-hadap Ilmu Hitam." Di sana-sini terdengar tepukan yang kurang antu-sias. Hanya mereka yang berada dalam satu kompar-temen bersama Profesor Lupin yang bertepuk keras, Harry di antaranya. Profesor Lupin tampak kumal di antara para guru yang memakai jubah mereka yang paling bagus. "Lihat si Snape!" Ron mendesis di telinga Harry. Profesor Snape, guru Ramuan, memandang ke se-berang meja ke arah Profesor Lupin. Sudah jadi rahasia umum bahwa Snape menginginkan posisi guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, tetapi bahkan Harry, yang membenci Snape, kaget melihat ekspresi di wajah Snape yang kurus dan pucat. Itu lebih dari sekadar marah, itu ekspresi jijik. Harry kenal betul ekspresi itu, karena begitulah ekspresi Snape setiap kali me-mandang Harry. "Sedangkan guru baru kedua," Dumbledore me-lanjutkan setelah sambutan yang biasa-biasa saja untuk Profesor Lupin mereda, "dengan berat hati kusampai-kan kepada kalian bahwa Profesor Kettleburn, guru Pemeliharaan Satwa Gaib, pensiun akhir tahun ajaran lalu agar bisa menikmati waktu lebih lama dengan kaki dan tangannya. Meskipun demikian, aku senang sekali mengumumkan bahwa kedudukannya akan di-gantikan oleh, tak lain dan tak bukan, Rubeus Hagrid kita, yang telah setuju menjadi pengajar sebagai tambahan tugas-tugasnya sebagai pengawas binatang liar." Harry, Ron, dan Hermione saling pandang, ter-perangah. Kemudian mereka ikut bertepuk. Tepukan gemuruh sekali, terutama di meja Gryffindor. Harry membungkuk ke depan untuk melihat Hagrid, yang wajahnya merah padam dan menunduk memandang tangannya yang besar, senyum lebarnya tersembunyi di balik berewok hitamnya yang awut-awutan. "Mestinya kita tahu!" teriak Ron, menggebrak meja. "Siapa lagi yang akan menyuruh kita memakai buku yang menggigit?" Harry, Ron, dan Hermione yang terakhir berhenti bertepuk, dan ketika Profesor Dumbledore bicara lagi, mereka melihat Hagrid menyeka matanya dengan taplak meja. "Nah, kurasa semua yang penting sudah kusampai-kan," kata Dumbledore. "Ayo, kita mulai pesta!" Piring-piring dan piala-piala emas di depan mereka mendadak dipenuhi makanan dan minuman. Harry, mendadak lapar sekali, mengambil segala yang bisa diraihnya dan mulai makan. Pestanya menyenangkan sekali. Aula dipenuhi obrolan, tawa, dan dentang-denting pisau dan garpu. Meskipun demikian, Harry, Ron, dan Hermione ingin pesta segera selesai, agar mereka bisa bicara dengan Hagrid. Mereka tahu, diangkat jadi guru sangat berarti bagi Hagrid. Hagrid penyihir yang belum lulus. Dia dikeluarkan dari Hogwarts dalam tahun ketiganya, gara-gara kejahatan yang tidak dilakukannya. Harry, Ron, dan Hermione-lah yang membersihkan nama Hagrid tahun ajaran lalu. Akhirnya, ketika serpih-serpih kue tar labu kuning sudah meleleh dari piring-piring emas, Dumbledore berkata bahwa sudah tiba saatnya bagi mereka semua untuk tidur, dan mereka mendapat kesempatan bicara dengan Hagrid. "Selamat, Hagrid!" seru Hermione, ketika mereka tiba di meja guru. "Berkat kalian bertiga," kata Hagrid, menyeka wajahnya yang berkilat dengan serbetnya sambil menatap mereka. "Tak bisa percaya itu... orang hebat, Dumbledore... langsung datang temui aku di pondok setelah Profesor Kettleburn bilang sudah cukup lelah mengajar... ini yang sudah lama kuinginkan..." Dikuasai emosinya, dia membenamkan wajah di serbetnya, dan Profesor McGonagall meminta mereka meninggalkannya. Harry, Ron, dan Hermione bergabung dengan anak-anak Gryffindor yang memenuhi tangga pualam, dan, sangat lelah sekarang, menyusuri koridor-koridor, me-naiki beberapa tangga lagi, sampai ke jalan masuk ke Menara Gryffindor yang tersembunyi. Lukisan besar seorang nyonya gemuk bergaun merah jambu me-nanyai mereka, "Kata kunci?" "Sebentar, sebentar!" Percy berteriak dari belakang kerumunan. "Kata kunci barunya adalah Fortuna Ma-jor!" "Oh, tidak," kata Neville Longbottom sedih. Dia selalu kesulitan mengingat kata kunci. Melewati lubang lukisan dan menyeberangi ruang rekreasi, anak-anak perempuan dan laki-laki berpisah menuju tangga ke kamar masing-masing. Harry me-naiki tangga spiral tanpa berpikir apa-apa, kecuali betapa senangnya dia kembali di Hogwarts. Mereka tiba di kamar asrama mereka yang bundar dengan lima tempat tidur besar dan Harry- memandang ber-keliling-merasa dia berada di rumah... akhirnya. 6 Cakar Dan Daun Teh WAKTU Harry, Ron, dan Hermione memasuki Aula Besar untuk sarapan keesokan paginya, yang pertama mereka lihat adalah Draco Malfoy, yang kelihatannya sedang menghibur segerombolan besar anak-anak Slytherin dengan cerita amat lucu. Saat mereka lewat, Malfoy berpura-pura pingsan dengan lagak konyol sekali dan terdengar ledakan tawa. "Jangan pedulikan dia," kata Hermione, yang berada tepat di belakang Harry. "Abaikan saja, tidak layak diladeni..." "Hei, Potter!" teriak Pansy Parkinson, cewek Slytherin dengan wajah seperti anjing pesek. "Potter! Dementor datang, Potter! Wuuuuuuuu!" Harry duduk di meja Gryffindor, di sebelah George Weasley "Daftar pelajaran anak-anak kelas tiga yang baru," kata George, membagikannya. "Kenapa kau, Harry?" "Malfoy," kata Ron, duduk di sisi lain George, dan mendelik ke meja Slytherin. George mendongak tepat ketika Malfoy sedang ber-pura-pura pingsan ketakutan lagi. "Si brengsek itu," katanya kalem. "Dia tidak segagah itu semalam ketika Dementor datang ke gerbong kereta kami. Dia kabur ke kompartemen kita, kan, Fred?" "Nyaris terkencing-kencing," kata Fred, mengerling meremehkan ke arah Malfoy "Aku sendiri tak begitu senang," kata George. "Me-ngerikan sekali, Dementor-dementor itu..." "Rasanya seperti membekukan bagian dalam tubuh kita, ya?" kata Fred. "Tapi kalian tidak pingsan, kan?" kata Harry pelan. "Lupakan saja, Harry," kata George membesarkan hati Harry. "Dad pernah harus ke Azkaban sekali, ingat, Fred? Dan dia bilang itu tempat paling mengeri-kan yang pernah dikunjunginya. Dia pulang dalam keadaan lemah dan gemetaran... Para Dementor itu mengisap kebahagiaan dari tempat-tempat di mana mereka berada. Sebagian besar napi di sana jadi gila." "Kita lihat saja nanti, sesenang apa Malfoy setelah pertandingan Quidditch pertama kita," kata Fred. "Gryffindor lawan Slytherin, pertandingan pertama tahun ajaran ini, ingat?" Sekali-kalinya Harry dan Malfoy berhadapan dalam pertandingan Quidditch, Malfoy kalah total. Merasa sedikit lebih gembira, Harry mengambil sosis dan tomat goreng. Hermione memeriksa daftar pelajaran barunya. "Oh, bagus, kita memulai beberapa pelajaran baru hari ini," katanya senang. "Hermione," kata Ron, mengernyit ketika dia me-natap melalui bahu Hermione, "mereka keliru menyu-sun daftar pelajaranmu. Lihat-mereka mendaftarmu ikut sepuluh pelajaran sehari. Mana cukup waktunya." "Bisa kuatur. Sudah kurundingkan dengan Profesor McGonagall." "Tapi coba lihat," kata Ron, tertawa, "lihat pagi ini? Pukul sembilan, Ramalan. Dan di bawahnya, pukul sembilan, Telaah Muggle. Dan..." Ron membungkuk mendekat, tidak percaya. "Lihat-di bawahnya lagi, Arithmancy, pukul sembilan. Maksudku, aku tahu kau pintar, Hermione, tapi mana ada sih orang yang sepintar itu. Bagaimana mungkin kau bisa berada di tiga kelas pada saat bersamaan?" "Jangan ngaco," kata Hermione pendek. "Tentu saja aku tak akan berada di tiga kelas pada saat bersama-an." "Nah, kalau begitu..." "Ambilkan selai," kata Hermione. "Tapi..." "Oh, Ron, apa sih urusannya denganmu kalau jadwalku sedikit padat?" tukas Hermione. "Kan sudah kubilang, aku sudah merundingkannya dengan Profesor McGonagall." Saat itu Hagrid memasuki Aula Besar. Dia memakai jubah tikus mondoknya yang panjang dan tak sadar mengayun-ayunkan bangkai kuskus di salah satu tangannya yang besar. "Baik semuanya?" katanya bersemangat, berhenti dalam perjalanannya ke meja guru. "Kalian ikut pelajaranku yang pertama! Habis makan siang! Sudah bangun sejak pukul lima siapkan segalanya... mudah-mudahan oke... aku, guru... wah..." Dia nyengir lebar kepada mereka dan berjalan menuju meja guru, masih mengayun-ayunkan kuskusnya. "Apa ya kira-kira yang disiapkannya?" tanya Ron, suaranya agak cemas. Aula mulai kosong ketika anak-anak pergi ke kelas pelajaran pertama mereka. Ron memeriksa daftar pelajarannya. "Sebaiknya kita berangkat sekarang, lihat, Ramalan di puncak Menara Utara. Perlu sepuluh menit untuk sampai ke sana." Mereka buru-buru menyelesaikan sarapan, meng-ucapkan selamat tinggal kepada Fred dan George, dan berjalan ke pintu aula. Ketika mereka melewati meja Slytherin, Malfoy sekali lagi pura-pura pingsan. Gelak tawa mengikuti Harry sampai ke Aula Depan. Perjalanan dalam kastil menuju Menara Utara adalah perjalanan panjang. Dua tahun di Hogwarts belum mengajarkan mereka segalanya tentang kastil, dan mereka belum pernah ke Menara Utara. "Pasti-ada-jalan-pintas," Ron tersengal, ketika mereka menaiki tangga panjang ketujuh dan keluar di bordes yang tak dikenal. Yang ada di tempat itu hanyalah lukisan besar hamparan rumput yang ter-gantung di dinding batu. "Kurasa ke sini," kata Hermione, memandang lo-rong kosong di sebelah kanannya. "Tak mungkin," kata Ron. "Itu selatan. Lihat, kau bisa melihat dan au sedikit dari jendela..." Harry mengamati lukisan itu. Seekor kuda poni gemuk abu-abu baru saja muncul dan merumput dengan acuh tak acuh. Harry sudah terbiasa melihat tokoh-tokoh dalam lukisan di Hogwarts bergerak dan meninggalkan pigura mereka untuk saling me-ngunjungi, tetapi dia selalu senang memandang lukisan-lukisan itu. Sesaat kemudian, seorang ksatria gemuk pendek memakai baju zirah datang berke-lontangan menyusul kudanya. Dari noda-noda rumput di lutut logamnya, rupanya dia baru saja jatuh. "Aha!" teriaknya ketika melihat Harry, Ron, dan Hermione. "Bandit-bandit macam apa ini yang masuk ke tanah pribadiku tanpa izin! Mau mencemoohku karena jatuh? Cabut pedangmu, brengsek!" Mereka mengawasi dengan tercengang ketika si ksatria mencabut pedang dari sarungnya dan meng-acung-acungkannya dengan garang, melonjak-lonjak gusar. Tetapi pedang itu terlalu panjang baginya. Satu ayunan liar membuatnya terjungkal dan jatuh mencium rumput. "Kau tak apa-apa?" tanya Harry, mendekat ke lukisan. "Mundur kau orang sombong sok tahu! Mundur kau bajingan!" Si ksatria meraih pedangnya lagi untuk bertumpu bangun. Tetapi mata pedangnya terbenam dalam di tanah, dan meskipun dia menarik sekuat tenaga; dia tak bisa mencabutnya. Akhirnya terpaksa dia meng-geletak lagi di rumput dan mendorong tudung ketopongnya ke atas untuk menyeka wajahnya yang berkeringat. "Dengar," kata Harry mengambil kesempatan selagi si ksatria sedang kelelahan. "Kami sedang mencari Menara Utara. Kau tidak tahu jalannya, kan?" "Pencarian!" Kemarahan si ksatria mendadak sirna. Dia bangkit dengan bunyi berkelontangan dan berseru, "Ayo ikut aku,sahabat-sahabat, dan kita akan men-capai sasaran kita, atau kalau tidak kita tewas dengan gagah berani dalam tugas!" Dia menarik pedangnya sekali lagi dengan sia-sia, mencoba dan gagal menaiki kuda poninya yang gemuk, dan berteriak, "Jalan kaki kalau begitu, Nyonya dan Tuan-tuan yang terhormat! Ayo! Ayo!" Dan dia berlari, berkelontangan bising, menuju ke arah kiri pigura, lalu lenyap. Mereka bergegas mengejarnya sepanjang koridor, mengikuti bunyi kelontangan baju zirahnya. Dari wak-tu ke waktu mereka melihatnya berlari melewati lukisan di depan. "Tabahkan hati kalian, yang terburuk akan terjadi!" pekik si ksatria, dan mereka melihatnya muncul kem-bali di depan serombongan wanita yang memakai gaun mengembang. Para wanita yang lukisannya ter-gantung di dinding tangga spiral sempit itu kaget. Tersengal-sengal keras, Harry, Ron, dan Hermione menaiki tangga spiral yang berputar-putar, makin lama makin pusing, sampai akhirnya mereka mendengar gumam suara-suara di atas mereka. Tahulah mereka bahwa mereka telah tiba di kelas yang dicari. "Selamat tinggal!" seru si ksatria, memunculkan kepalanya dari lukisan beberapa rahib bertampang seram. "Selamat tinggal, teman-teman seperjuangan! Jika suatu kali nanti kalian memerlukan hati yang baik dan otot kawat, panggillah Sir Cadogan!" "Yeah, kami akan memanggilmu," gumam Ron, saat si ksatria menghilang, "kalau kami perlu orang sinting." Mereka mendaki beberapa anak tangga terakhir dan muncul di bordes kecil. Sebagian besar anak-anak sudah berkumpul di situ. Tak ada pintu satu pun di bordes ini. Ron menyenggol Harry dan me-nunjuk langit-langit. Tampak pintu tingkap bundar bertempel plakat kuningan. "Sybill Trelawney, guru Ramalan," Harry membaca. "Bagaimana kita bisa naik ke situ?" Seakan menjawab pertanyaannya, pintu tingkap itu mendadak terbuka, dan sebuah tangga keperakan me-luncur turun tepat di depan kaki Harry. Semua lang-sung diam. "Silakan," kata Ron, nyengir. Maka Harry menaiki tangga itu paling dulu. Dia tiba di kelas paling aneh yang pernah dilihat-nya. Malah, ruang itu sama sekali tidak kelihatan seperti kelas. Lebih cocok dikatakan campuran antara loteng penyimpan barang dengan tempat minum teh kuno. Paling tidak dua puluh meja bundar kecil ber-desakan dalam ruangan itu, semuanya dikelilingi oleh kursi berlengan dan puf-kursi bundar empuk. Di atas masing-masing meja ada lampu dengan cahaya merah remang-remang. Gorden-gorden jendela semua tertutup, dan semua lampu dikerudungi syal merah tua. Ruangan itu panas dan pengap, dan perapiannya yang menyala di bawah rak pajangan yang penuh, menguarkan bau harum tajam yang membuat pusing, sementara apinya memanasi ceret tembaga besar. Rak-rak yang mengelilingi dinding melingkar dipenuhi bulu-bulu berdebu, puntung-puntung lilin, berpak-pak kartu kumal, bola-bola kristal keperakan yang tak terhitung banyaknya, dan berderet-deret cangkir teh. Ron muncul di sebelah Harry ketika anak-anak lain berkumpul di sekeliling mereka, semua bicara dengan berbisik. "Di mana dia?" kata Ron. Mendadak terdengar suara dari dalam keremangan, suara lembut sayup-sayup seakan terselubung kabut. "Selamat datang," katanya. "Senang sekali melihat kalian di dunia nyata akhirnya." Kesan pertama Harry adalah seperti melihat se-rangga besar berkilauan. Profesor Trelawney bergerak ke dalam lingkaran cahaya perapian, dan mereka melihat wanita yang sangat kurus, kacamatanya yang lebar memperbesar matanya sampai beberapa kali ukuran normal. Dia memakai selendang tipis berkelap-kelip. Rantai-rantai dan kalung-kalung yang banyak sekali bergantungan di lehernya yang panjang dan kurus, dan lengan serta tangannya dihiasi bermacam gelang dan cincin. "Duduklah, anak-anakku, duduklah," katanya, dan mereka semua duduk dengan canggung di atas kursi berlengan atau puf. Harry, Ron, dan Hermione duduk mengelilingi meja bundar yang sama. "Selamat datang di kelas Ramalan," kata Profesor Trelawney, yang duduk di kursi berlengan di depan perapian. "Namaku Profesor Trelawney. Kalian mung-kin belum pernah melihatku. Menurutku terlalu sering turun ke hiruk-pikuknya sekolah akan meredupkan Mata Batinku." Tak seorang pun berkomentar atas pernyataan yang luar biasa ini. Profesor Trelawney dengan halus merapikan selendangnya dan meneruskan, "Jadi kalian telah memilih mempelajari Ramalan, ilmu yang pa-ling sulit dari semua seni sihir. Aku hams memper-ingatkan kalian dari awal bahwa jika kalian tidak memiliki Penglihatan, hanya sedikit sekali yang bisa kuajarkan kepada kalian. Buku-buku hanya bisa meng-ajari kalian sedikit sekali di bidang ini..." Mendengar ucapannya ini, baik Harry maupun Ron melirik Hermione sambil nyengir. Hermione sendiri kelihatan tercengang mendengar bahwa buku tidak akan banyak membantu dalam pelajaran ini. "Banyak penyihir wanita dan pria, meskipun berbakat di area ledakan keras dan bau-bauan dan menghilang mendadak, tak sanggup menembus misteri masa depan yang terselub ung." Profesor Trelawney melanjutkan, matanya yang besar berkilauan berpindah-pindah dari wajah cemas yang satu ke wajah cemas yang lain. "Ini Bakat yang dianugerahkan hanya kepada sedikit orang. Kau, Nak," katanya mendadak kepada Neville, yang nyaris terjungkal dari kursi bundarnya, "apakah nenekmu baik-baik saja?" "Saya rasa begitu," kata Neville dengan suara ge-metar. "Aku tak akan seyakin itu kalau aku jadi kau, Nak," kata Pofesor Trelawney, cahaya perapian me-mantul dari anting-anting zamrudnya yang panjang. Neville menelan ludah. Profesor Trelawney melanjut-kan dengan tenang, "Kita akan mempelajari metode dasar Ramalan tahun ini. Semester pertama untuk mempelajari cara membaca daun teh. Semester be-rikutnya kita akan maju ke rajah tangan. Ngomong-ngomong, Nak," ujarnya mendadak ke Parvati Patil, "hati-hati terhadap laki-laki berambut merah." Parvati kaget memandang Ron, yang persis di bela-kangnya, dan menggeser kursinya menjauh. "Dalam semester musim panas," Profesor Trelawney melanjutkan, "kita maju lagi ke bola kristal-tapi itu kalau kita sudah menyelesaikan pertanda-api. Sayang-nya, kelas kita akan terganggu di bulan Februari oleh wabah flu berat. Aku sendiri akan kehilangan suara. Dan menjelang Paskah, salah satu dari kita akan meninggalkan kita selamanya." Keheningan yang sangat menegangkan menyusul pengumuman ini, tetapi Profesor Trelawney kelihatan-nya tidak menyadarinya. "Nak," katanya kepada Lavender Brown, yang duduk paling dekat dengannya dan mengerut di kursinya, "to-long ambilkan teko teh perak yang paling besar itu." Lavender, tampak lega, berdiri, mengambil teko besar sekali dari rak dan menaruhnya di atas meja di depan Profesor Trelawney. "Terima kasih, Nak. Ngomong-ngomong, hal yang sangat kautakutkan-akan terjadi pada hari Jumat, tanggal enam belas Oktober." Lavender gemetar. "Sekarang aku ingin kalian berpasangan. Ambil cangkir dari rak, datanglah kepadaku dan aku akan mengisinya. Kemudian duduk dan minumlah; minum sampai tinggal ampasnya yang tersisa. Putar ampas itu di dalam cangkir tiga kali dengan tangan kiri, kemudian balik cangkirnya di atas tatakannya, tunggu sampai tetes terakhir tehnya menitik, kemudian beri-kan cangkirnya pada pasanganmu untuk dibaca. Kalian akan menafsirkan pola yang tampak berdasar-kan halaman lima dan enam buku Menyingkap Kabut Masa Depan. Aku akan berkeliling di antara kalian dan memberi instruksi. Oh, dan kau, Nak...," dia menangkap lengan Neville ketika Neville bangun, "setelah memecahkan cangkir pertamamu, maukah kau memilih yang motifnya biru? Aku suka sekali yang merah jambu." Benar saja, baru saja Neville tiba di rak cangkir, terdengar denting porselen yang pecah. Profesor Trelawney bergerak gesit mendekatinya, membawa pengki dan sikat, dan berkata, "Yang biru saja, Nak, kalau kau tak keberatan... terima kasih...." Ketika cangkir Harry dan Ron sudah diisi, mereka kembali ke meja dan mencoba meminum teh panas itu cepat-cepat. Mereka memutar endapan daun teh-nya seperti yang diinstruksikan Profesor Trelawney, kemudian meniriskannya dan saling bertukar cangkir. "Nah," kata Ron ketika mereka berdua membuka buku mereka pada halaman lima dan enam. "Apa yang kaulihat di cangkirku?" "Daun basah cokelat," kata Harry. Asap tebal wangi di dalam ruangan itu membuatnya mengantuk dan merasa bodoh. "Lapangkan pikiran kalian, anak-anak, dan biarkan mata kalian melihat, melampaui hal-hal duniawi!" seru Profesor-Trelawney menembus keremangan. Harry berusaha menguasai diri. "Baik, yang ada di cangkirmu semacam salib go-yah...," katanya, sambil memeriksa Menyingkap Kabut Masa Depan. "Itu berarti kau akan mengalami 'cobaan dan penderitaan'- sori saja-tapi yang itu bisa di-anggap matahari. Tunggu... itu berarti 'kebahagiaan besar'... jadi kau akan menderita, tapi sangat baha-gia..." "Mata Batinmu perlu diperiksa, menurutku," kata Ron, dan mereka berdua harus menahan tawa ketika Profesor Trelawney memandang ke arah mereka. "Giliranku..." Ron menatap ke dalam cangkir Harry, dahinya mengernyit. "Ada yang seperti topi pemain boling," katanya. "Mungkin kau akan bekerja di Ke-menterian Sihir..." Ron memutar cangkir Harry. "Tapi kalau dari arah sini lebih mirip buah ek... apa artinya?" Dia membaca buku Menyingkap Kabut Masa Depannya. '"Rezeki nomplok, emas yang tak disangka-sangka.' Bagus sekali, kau bisa meminjamiku sebagian. Dan di sini," dia memutar cangkir itu lagi, "ada yang mirip binatang. Yeah, kalau itu kepalanya... kelihatannya seperti kuda nil... bukan, biri-biri..." Profesor Trelawney berputar ketika Harry men-dengus tertawa. "Coba kulihat, Nak," katanya dengan nada mencela kepada Ron, seraya bergegas mendekat dan merebut cangkir itu darinya. Semua anak langsung diam untuk menonton. Profesor Trelawney mengamati dasar cangkir, me-mutar-mutarnya berlawanan arah dengan jarum jam. "Elang... Nak, kau punya musuh mematikan." "Tapi semua orang tahu itu," kata Hermione dalam bisikan keras. Profesor Trelawney memandangnya. "Memang betul," kata Hermione. "Semua orang tahu tentang Harry dan Anda-Tahu-Siapa." Harry dan Ron menatap Hermione heran bercampur kagum. Mereka belum pernah mendengar Hermione bicara seperti itu kepada seorang guru. Profesor Trelawney memilih tidak menjawab. Dia kembali mengarahkan matanya yang besar ke dalam cangkir Harry dan memutarnya lagi. "Pentungan... serangan. Astaga, astaga, ini bukan cangkir yang menyenangkan..." "Saya kira itu topi pemain boling," kata Ron malu. "Tengkorak... bahaya menghadang, Nak..." Semua terpaku menatap Profesor Trelawney, yang memutar cangkir itu untuk terakhir kalinya, terpe-rangah, dan kemudian menjerit. Terdengar denting porselen pecah lagi. Neville me-mecahkan cangkirnya yang kedua. Profesor Trelawney terenyak di sebuah kursi berlengan, tangannya yang berkilauan memegangi dadanya, tepat di atas jantung-nya, matanya terpejam. "Anakku... kasihan betul kau-tidak-lebih baik tidak kukatakan-tidak-jangan tanya aku..." "Apa, Profesor?" tanya Dean Thomas segera. Semua anak sudah bangkit berdiri, dan perlahan mereka mengerumuni meja Harry dan Ron, mendekat ke kursi Profesor Trelawney supaya bisa melihat jelas cangkir Harry. "Nak," mata besar Profesor Trelawney membuka secara dramatis, "di cangkirmu ada Grim." "Ada apa?" tanya Harry heran, karena grim berarti suram atau seram. Harry bisa melihat dia bukan satu-satunya yang tidak mengerti. Dean Thomas mengangkat bahu ke-padanya dan Lavender Brown tampak bingung, tetapi hampir semua anak lainnya menekap mulut mereka dengan ngeri. "Grim, Nak, Grim!" seru Profesor Trelawney, yang kelihatannya shock melihat Harry tidak mengerti. "Anjing hantu raksasa yang menghantui kuburan di halaman gereja! Anakku, itu pertanda-pertanda pa-ling buruk-datangnya kematian!" Hati Harry mencelos. Anjing di sampul buku Tanda-tanda Kematian di Flourish and Blotts-anjing di ke-remangan Magnolia Crescent.... Lavender Brown me-nekap mulutnya juga. Semua anak memandang Harry; semuanya, kecuali Hermione, yang berdiri dan ber-jalan ke belakang kursi Profesor Trelawney. "Menurut saya itu tidak seperti Grim," katanya tegas. Profesor Trelawney menatap Hermione dengan ke-tidaksukaan yang semakin memuncak. "Maafkan kalau aku terus terang, Nak, tapi aku merasakan hanya ada sedikit sekali aura di sekelilingmu. Daya penerimaan yang kecil sekali terhadap resonansi masa depan." Seamus Finnigan memiringkan kepala dari kanan ke kiri. "Kelihatannya seperti Grim kalau kau melihatnya begini," katanya, dengan mata nyaris terpejam, "tapi lebih mirip keledai dari arah sini," katanya, miring ke kiri. "Apakah kalian semua sudah selesai memutuskan aku akan mati atau tidak?!" kata Harry, mengejutkan bahkan dirinya sendiri. Sekarang tak ada yang berani memandangnya. "Kurasa pelajaran kita hari ini cukup sekian saja," kata Profesor Trelawney dengan suara sangat sayup. "Ya... bereskan barang-barang kalian." Tanpa bica ra anak-anak mengembalikan cangkir-cangkir mereka kepada Profesor Trelawney, memasuk-kan kembali buku-buku mereka ke dalam tas, dan menutup tas. Bahkan Ron pun menghindari tatapan Harry. "Sampai bertemu lagi," kata Profesor Trelawney lemah, "mudah-mudahan kalian beruntung. Oh, dan kau, Nak..." dia menunjuk Neville, "kau akan terlambat pelajaran berikutnya, jadi belajar yang rajin supaya tidak ketinggalan." Harry, Ron, dan Hermione menuruni tangga Profesor Trelawney dan tangga menara yang berputar-putar tanpa bicara, kemudian berangkat ke pelajaran Trans-figurasi Profesor McGonagall. Lama sekali mereka baru berhasil menemukan kelasnya, sehingga meskipun me-ninggalkan kelas Ramalan lebih awal, mereka tiba di kelas Transfigurasi tepat pada waktunya. Harry memilih tempat duduk di deretan paling belakang. Dia merasa duduk diterangi lampu sorot terang benderang. Anak-anak yang lain tak henti-hentinya mencuri pandang ke arahnya, seakan dia bisa mati mendadak. Harry nyaris tidak mendengar penjelasan Profesor McGonagall kepada mereka ten-tang Animagi (para penyihir yang bisa berubah menjadi binatang kapan saja mereka mau), dan bah-kan tidak mengawasi ketika Profesor McGonagall mengubah diri di depan mata mereka semua menjadi seekor kucing betina dengan tanda seperti bentuk kacamata mengelilingi matanya. "Astaga, kenapa sih kalian hari ini?" tanya Profesor McGonagall, berubah menjadi dirinya lagi dengan bunyi plop pelan, dan memandang mereka semua. "Walaupun bagiku tak apa-apa, tapi ini pertama kali-nya transformasiku tidak mendapat aplaus." Kepala semua anak menoleh menghadap Harry lagi, tetapi tak ada yang bicara. Kemudian Hermione mengangkat tangan. "Maaf, Profesor, kami baru saja ikut pelajaran Ramalan untuk pertama kalinya, dan kami membaca daun-daun teh, dan..." "Ah, tentu saja," kata Profesor McGonagall, men-dadak mengernyit. "Tak perlu kaujelaskan lebih pan-jang lagi, Miss Granger. Beritahu aku, siapa di antara kalian yang akan mati tahun ini?" Semua ternganga memandangnya. "Saya," kata Harry akhirnya. "Ah, begitu," kata Profesor McGonagall, menatap tajam Harry dengan mata manik-maniknya. "Kalau begitu kau perlu tahu, Potter, bahwa Sybill Trelawney telah meramalkan- kematian satu murid setiap tahun sejak dia tiba di sekolah ini. Tak seorang pun dari mereka ada yang sudah mati. Melihat pertanda ke-matian adalah cara favoritnya untuk menyambut mu-rid-murid baru. Aku sebetulnya tak pernah menjelek-jelekkan kolegaku..." Profesor McGonagall berhenti, dan mereka melihat cuping hidungnya telah menjadi putih. Dia meneruskan, dengan lebih tenang, "Ramal-an adalah salah satu cabang sihir yang paling tidak tepat. Aku tak akan menyembunyikan kepada kalian bahwa aku kurang percaya pada Ramalan. Peramal sejati sangat jarang, dan Profesor Trelawney..." Dia berhenti lagi, kemudian berkata tanpa berbelit-belit, "Kau tampak sehat sekali bagiku,' Potter, jadi maaf saja kalau kau tidak kubebaskan dari PR hari ini. Jangan khawatir, kalau kau mati, kau tak perlu menyerahkan PR-mu." Hermione tertawa. Harry merasa sedikit lebih enak. Susah untuk takut pada sejumput daun teh saat dia berada jauh dari kelas Profesor Trelawney yang di-terangi lampu merah remang-remang dan dipenuhi bau wangi memusingkan. Meskipun demikian, tidak semua anak berhasil diyakinkan. Ron masih tampak cemas dan Lavender berbisik, "Tapi bagaimana dengan cangkir Neville?" Setelah pelajaran Transfigurasi usai, mereka ber-gabung dengan anak-anak yang berduyun-duyun ke Aula Besar untuk makan siang. "Ron, bergembiralah," kata Hermione, mendorong semangkuk kaldu ke arah Ron. "Kau sudah dengar apa yang dikatakan Profesor McGonagall." Ron menyendok kaldu ke dalam piringnya dan mengangkat garpunya, tetapi belum juga makan. "Harry," katanya dalam suara rendah dan serius, "kau tidak melihat anjing hitam di suatu tempat akhir-akhir ini, kan?" "Aku lihat," kata Harry. "Aku melihatnya pada malam meninggalkan rumah keluarga Dursley" Garpu Ron jatuh berdenting. "Mungkin anjing kesasar," kata Hermione kalem. Ron memandangnya seakan Hermione sudah gila. "Hermione, kalau Harry sudah melihat Grim, itu- itu buruk," katanya. "Pa-pamanku Bilius melihat Grim-dan dia meninggal dua puluh empat jam ke-mudian!" "Itu kebetulan," kata Hermione ringan, seraya me-nuang jus labu kuning. "Kau tidak mengerti apa yang kauomongkan!" kata Ron, mulai marah. "Grim membuat sebagian besar penyihir ketakutan setengah mati!" "Nah, itu dia," sambar Hermione dengan nada menang. "Mereka melihat Grim dan mati ketakutan. Grim itu bukan pertanda, melainkan penyebab kematian! Dan Harry masih bersama kita karena dia tidak cukup bodoh sehingga setelah melihat Grim lalu berpikir, Baik, lebih baik aku meninggalkan dunia fana ini sekarang." Ron membuka mulut lagi, tapi tak ada suara yang keluar. Hermione sendiri dengan tenang membuka tasnya, mengeluarkan buku Arithmancy-nya, lalu me-nyandarkannya terbuka pada teko jus. "Menurutku Ramalan sangat tidak jelas," katanya, mencari-cari halaman tertentu. "Terlalu banyak me-nebak-nebak." "Tak ada yang tak jelas soal Grim di cangkir itu!" kata Ron panas. "Kau tidak seyakin ini waktu memberitahu Harry itu biri-biri," kata Hermione dingin. "Profesor Trelawney bilang kau tidak memiliki aura yang tepat! Kau tak suka karena kau tidak nomor satu!" Ron telah membuat Hermione tersinggung. Hermione membanting buku Arithmancy-nya ke meja, keras sekali sehingga serpih-serpih daging dan wortel beter-bangan ke mana-mana. "Kalau supaya pintar di pelajaran Ramalan berarti aku harus berpura-pura melihat pertanda kematian di sejumput daun teh, aku tak yakin aku mau mem-pelajarinya lebih jauh lagi! Pelajaran itu sampah di-banding Arithmancy-ku!" Hermione menyambar tasnya dan pergi. Ron mengernyit memandangnya. "Dia ngomong apa sih?" katanya kepada Harry. "Dia kan belum ikut pelajaran Arithmancy." Harry senang bisa keluar kastil sesudah makan siang. Kemarin hujan, tetapi hari ini cerah. Langit bersih, abu-abu pucat, dan rumput segar dan basah ketika mereka berjalan untuk ikut pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib mereka yang pertama. Ron dan Hermione tidak saling tegur. Harry berjalan diam bersama mereka ketika mereka melewati padang rumput yang melandai menuju ke pondok Hagrid di tepi Hutan Terlarang. Baru ketika melihat tiga pung-gung-yang-amat-dikenal di depan mereka, Harry sadar bahwa mereka akan mengikuti pelajaran ini bersama anak-anak Slytherin. Malfoy bicara bersemangat kepada Crabbe-dan Goyle, yang terkekeh. Harry cukup yakin apa yang mereka bicarakan. Hagrid berdiri menunggu murid-muridnya di pintu pondoknya. Dia memakai mantel tikus mondoknya. Fang, anjing besar pemburu babi hutannya, di dekat-nya. Hagrid kelihatannya sudah tak sabar. "Ayo, ayo, kita mulai!" serunya ketika anak-anak sudah dekat. "Ada kejutan buat kalian hari ini! Pela-jaran istimewa! Semua sudah kumpul? Baik, ikuti aku!" Sesaat Harry ngeri, mengira Hagrid akan membawa mereka ke dalam Hutan Terlarang. Harry sudah cukup mendapat pengalaman mengerikan di hutan itu untuk seumur hidup. Tetapi ternyata Hagrid berjalan men-jauh dari tepi pepohonan, dan lima menit kemudian, mereka tiba di semacam tempat merumput. Tak ada apa-apa di situ. "Semua berkumpul dekat pagar di sini!" Hagrid memanggil. "Bagus-jangan sampai kalian tidak lihat. Nah, yang pertama harus kalian lakukan adalah buka buku kalian..." "Bagaimana caranya?" tanya Draco Malfoy dingin. "Eh?" kata Hagrid. "Bagaimana caranya kami membuka buku kami?" Malfoy mengulangi. Dia mengeluarkan Buku Monster tentang Monster miliknya, yang sudah diikat erat de-ngan seutas tali. Anak-anak yang lain juga mengeluar-kan buku masing-masing. Beberapa, seperti Harry, mengikatnya dengan ikat pinggang; ada yang men-jejalkannya ke dalam tas sempit atau menjepitnya dengan jepitan besar. "Apa-apa tak ada yang bisa buka buku kalian?" tanya Hagrid, tampak kecewa sekali. Anak-anak semua menggeleng. "Kalian ha rus belai dia," kata Hagrid, seakan hal ini sudah sangat jelas. "Lihat..." Dia mengambil buku Hermione dan mengoyak Spellotape yang membebatnya. Buku itu mencoba menggigitnya, tetapi Hagrid membelai punggungnya dengan satu jarinya yang besar. Si buku bergidik, kemudian membuka dan menggeletak diam di tangan-nya. "Oh, bodoh benar kita semua!" cemooh Malfoy. "Kita mestinya membelainya! Kenapa tak terpikir, ya!" "Ku...kupikir buku ini lucu," kata Hagrid bimbang kepada Hermione. "Oh, lucu sekali!" kata Malfoy. "Sungguh jenaka, memberi kami buku yang mencoba menggigit tangan kami sampai copot!" "Diam Malfoy," kata Harry tegas. Hagrid tampak terpukul dan Harry menginginkan pelajaran pertama Hagrid ini sukses. "Baiklah," kata Hagrid, yang kelihatannya kehilang-an pegangan, "jadi... jadi kalian sudah punya buku dan... dan... sekarang kalian butuh Satwa Gaib. Yeah, jadi aku akan ambil sekarang. Tunggu...." Hagrid meninggalkan mereka, menghilang ke dalam hutan. "Buset, tempat ini parah benar," kata Malfoy keras-keras. "Si tolol itu mengajar. Ayahku akan pingsan kalau kuberitahu..." "Diam, Malfoy," Harry mengulangi. "Hati-hati, Potter, ada Dementor di belakangmu..." "Ooooooooh!" pekik Lavender Brown, menunjuk ke depan. Selusin makhluk paling ajaib yang pernah dilihat Harry berjalan ke arah mereka. Tubuh bagian bela-kang, kaki belakang, dan ekor mereka adalah tubuh, kaki, dan ekor kuda. Tetapi bagian depannya memiliki sayap, kepala dan cakar seperti ela ng raksasa, dengan paruh tajam dan kejam berwarna baja dan mata ber-warna Jingga cerah. Cakar kaki depannya sepanjang lima belas senti dan tampak mematikan. Masing-masing binatang itu memakai kalung kulit tebal di sekeliling leher mereka, yang dikaitkan pada rantai panjang, dan ujung semua rantai ini dipegang oleh tangan besar Hagrid, yang masuk ke padang rumput di belakang binatang-binatang itu. "Ayo, maju!" serunya, mengguncang rantai-rantai-nya dan mendesak makhluk-makhluk itu ke arah pagar, tempat anak-anak berdiri. Semua mundur se-dikit ketika Hagrid tiba di depan mereka dan me-nambatkan makhluk-makhluk itu di pagar. "Hippogriff!" seru Hagrid gembira, melambaikan tangan ke arah binatang-binatang itu. "Cantik, kan, mereka?" Harry bisa melihat apa yang dimaksud Hagrid. Setelah kekagetan awal melihat makhluk setengah-kuda setengah-elang teratasi, kau mulai mengagumi bulu si Hippogriff yang berkilat, yang berubah mulus dari bulu burung ke bulu kuda, masing-masing ber-beda warna. Abu-abu gelap, -perunggu, putih-kelabu agak merah jambu, cokelat berkilat, dan hitam legam. "Nah," kata Hagrid, menggosok-gosokkan kedua tangannya, wajahnya berseri-seri, "kalian maju sedikit..." Tak seorang pun mau maju. Meskipun demikian, Harry, Ron, dan Hermione, mendekati pagar dengan hati-hati. "Nah, hal pertama yang kalian perlu tahu tentang Hippogriff adalah mereka angkuh," kata Hagrid. "Gam-pang tersinggung, Hippogriff-hippogriff ini. Jangan pernah hina Hippogriff, karena dia bisa habisi kalian." Malfoy, Crabbe, dan Goyle tidak mendengarkan. Mereka bicara bisik-bisik dan Harry punya perasaan tak enak mereka sedang me rundingkan bagaimana sebaiknya mengacaukan pelajaran ini. "Kalian harus selalu tunggu sampai si Hippogriff bergerak lebih dulu," Hagrid meneruskan. "Itu berarti sopan. Kalian berjalan ke arahnya, dan membungkuk, lalu kalian tunggu. Kalau dia balas membungkuk, berarti kalian diizinkan sentuh dia. Kalau dia tidak membungkuk, cepat-cepat kalian pergi, karena kalau kena cakarnya itu sakit sekali. "Baik, siapa yang mau coba lebih dulu?" Sebagai jawaban, sebagian besar anak-anak malah mundur. Bahkan Harry, Ron, dan Hermione pun was-was. Hippogriff-hippogriff itu mengangkat kepala dan mengepakkan sayap kuat mereka. Mereka tampaknya tak suka ditambatkan seperti itu. "Tak ada yang mau?" tanya Hagrid dengan pan-dangan memohon. "Aku akan coba," kata Harry. Terdengar helaan napas di belakangnya dan baik Lavender maupun Parvati berbisik, "Oooh, jangan, Harry, ingat daun tehmu!" Harry mengabaikan mereka. Dia memanjat pagar padang rumput. "Bagus, Harry!" seru Hagrid. "Baiklah-kita lihat bagaimana kau berkenalan dengan Buckbeak." Buckbeak berarti paruh mencuat. Hagrid melepas salah satu rantai, menarik Hippo-griff abu-abu menjauh dari yang lain dan melepas kalung kulitnya. Anak-anak lain di balik pagar me-nahan napas. Mata Malfoy menyipit jahat. "Santai saja, Harry," kata Hagrid pelan. "Kau sudah kontak mata, sekarang usahakan jangan kedip- Hippogriff tidak percaya padamu kalau kau kedip terlalu banyak..." Mata Harry langsung berair, tetapi dia tidak ber-kedip. Buckbeak telah menolehkan kepalanya yang besar dan tajam dan sekarang memandang Harry dengan satu mata Jingganya yang galak. "Betul," kata Hagrid. "Betul begitu, Harry... seka-rang membungkuk..." Harry tak ingin menampakkan tengkuknya kepada Buckbeak, tetapi dia melakukan yang diperintahkan Hagrid. Dia membungkuk singkat, kemudian men-dongak. Si Hippogriff masih memandangnya dengan galak. Dia tidak bergerak. "Ah," kata Hagrid cemas. "Baiklah-mundur seka-rang, Harry, pelan-pelan saja..." Tetapi kemudian, betapa terkejutnya Harry, si Hippogriff tiba-tiba menekuk lututnya yang bersisik dan merendah. Tak diragukan lagi, itu caranya mem-bungkuk. "Bagus sekali, Harry!" kata Hagrid, senang sekali. "Bagus- kau boleh menyentuhnya! Elus paruhnya, ayo!" Walaupun Harry merasa upah yang lebih baik adalah diizinkan mundur, dia toh bergerak pelan mendekati si Hippogriff dan mengulurkan tangannya. Dia mengelus-elus paruhnya beberapa kali dan si Hippogriff meme-jamkan matanya dengan santai, seakan menikmatinya. Anak-anak bertepuk tangan meriah, semua kecuali Malfoy, Crabbe, dan Goyle, yang kelihatan sangat kecewa. "Baiklah, Harry," kata Hagrid. "Kurasa dia mungkin izinkan kau naik dia!" Ini sudah melampaui yang diperkirakan Harry. Dia sudah terbiasa naik sapu, tetapi dia tak yakin naik Hippogriff sama dengan naik sapu. "Kau naik ke situ, persis di belakang sendi sayap," kata Hagrid, "da n hati-hati jangan sampai kaucabut bulunya, dia tidak akan suka..." Harry meletakkan kakinya di atas sayap Buckbeak dan memanjat ke atas punggungnya. Buckbeak berdiri. Harry tak yakin harus pegangan di mana. Segala sesuatu di depannya tertutup bulu. "Ayo, terbang!" seru Hagrid, menepuk paha bela-kang si Hippogriff. Tanpa peringatan, sayap selebar lebih dari tiga se-tengah meter merentang di kanan-kiri Harry. Harry masih sempat memeluk leher si Hippogriff sebelum makhluk itu meluncur ke atas. Sama sekali tidak seperti naik sapu, dan Harry tahu mana yang lebih dia sukai. Sayap si Hippogriff mengepak-ngepak di kanan-kirinya-membuat Harry tak nyaman-setiap kali menyentuh bagian bawah kakinya dan membuatnya merasa akan dilontarkan. Bulu yang berkilat itu licin dan susah dipegang, dan Harry tidak berani mencengkeram lebih keras lagi. Alih-alih gerakan mulus Nimbus Dua Ribu, Harry merasa berayun ke depan dan ke belakang ketika kedua kaki belakang si Hippogriff naik dan turun seirama sayapnya. Buckbeak menerbangkannya mengelilingi padang rumput itu, kemudian menukik kembali ke tanah. Ini bagian yang ditakutkan Harry. Dia mencondongkan tubuhnya ke belakang ketika leher yang licin itu me-rendah. Harry merasa dia akan meluncur jatuh melewati paruh tajamnya, kemudian dia merasakan Hippogriff itu mendarat mantap ketika keempat kaki yang ber-lainan itu menyentuh tanah, dan Harry hanya sempat berpegangan agar tidak jatuh dan duduk tegak lagi. "Bagus sekali, Harry!" teriak Hagrid, sementara semua anak, kecuali Malfoy, Crabbe, dan Goyle, ber-sorak riuh. "Oke, siapa lagi mau coba?" Menjadi lebih berani setelah melihat keberhasilan Harry, anak-anak memanjat hati-hati memasuki padang rumput. Hagrid mele pas tambatan Hippogriff satu demi satu, dan segera saja anak-anak mem-bungkuk dengan cemas di berbagai tempat di padang rumput. Neville berkali-kali lari mundur dari Hippo-griff-nya, yang tampaknya tak mau menekuk lututnya. Ron dan Hermione berlatih dengan Hippogriff cokelat, sementara Harry menonton. Malfoy, Crabbe, dan Goyle mengambil alih Buck-beak. Dia telah membungkuk kepada Malfoy, yang sekarang mengelus paruhnya dengan sikap menghina. "Ini gampang sekali," kata Malfoy melecehkan, cukup keras sehingga Harry bisa mendengarnya. "Aku sudah tahu pasti gampang, kalau Potter bisa me-lakukannya... taruhan, kau tidak berbahaya sama sekali, kan?" katanya kepada si Hippogriff. "Iya kan, makhluk jelek kasar?" Secepat kilat cakar baja itu menyambar. Malfoy menjerit nyaring dan saat berikutnya, Hagrid bersusah payah memaksa Buckbeak memakai kalung lehernya lagi, sementara Buckbeak berusaha menyerang Malfoy yang tergeletak di rumput, darah merembes melebar di jubahnya. "Aku hampir mati!" jerit Malfoy, sementara teman-temannya panik. "Aku hampir mati, lihat aku! Dia membunuhku!" "Kau tidak akan mati!" kata Hagrid yang sudah pucat pasi. "Tolong ada yang bantu aku-harus bawa dia pergi dari sini..." Hermione berlari membuka pagar, sementara Hagrid mengangkat Malfoy dengan mudah. Saat mereka me-lewatinya, Harry melihat torehan panjang dan dalam di lengan Malfoy. Darahnya memercik ke rerumputan dan Hagrid berlari menggendongnya menaiki padang landai menuju kastil. Sangat terguncang, kelas Pemeliharaan Satwa Gaib mengikuti dengan berjalan. Anak-anak Slytherin ber-teriak-teriak mengata-ngatai Hagrid. "Dia harus langsung dipecat!" kata Pansy Parkinson, yang bercucuran air mata. "Salah Malfoy sendiri!" tukas Dean Thomas. Crabbe dan Goyle menegangkan otot-otot mereka dengan mengancam. Mereka semua menaiki undakan memasuki Aula Depan yang kosong. "Aku akan melihat apakah dia tidak apa-apa!" kata Pansy dan mereka semua mengawasinya menaiki tangga pualam. Anak-anak Slytherin, yang masih menggerutu menyalahkan Hagrid, menuju ke ruang rekreasi mereka di bawah tanah. Harry, Ron, dan Hermione naik ke Menara Gryffindor. "Menurutmu apakah dia akan sembuh?" tanya Hermione gugup. "Tentu saja. Madam Pomfrey bisa menyembuhkan luka dalam sekejap," kata Harry. Harry pernah meng-alami luka-luka yang lebih parah dan disembuhkan secara ajaib oleh matron rumah sakit itu. "Sungguh sial ada kejadian seperti itu di pelajaran pertama Hagrid, ya," kata Ron cemas. "Gara-gara Malfoy, semua jadi kacau...." Mereka termasuk yang pertama sampai di Aula Besar untuk makan malam, berharap melihat Hagrid, tetapi dia tak ada. "Mereka tidak akan memecatnya, kan?" tanya Hermione khawatir, tidak menyentuh daging bistik-nya. "Sebaiknya tidak," kata Ron, yang juga malas ma-kan. Harry mengawasi meja Slytherin. Serombongan besar anak-anak berkerumun, kasak-kusuk. Harry yakin mereka mengarang versi mereka sendiri tentang bagaimana Malfoy sampai terluka. "Yah, kau tak bisa bilang ini bukan hari pertama yang seru," kata Ron muram. Mereka naik ke ruang rekreasi Gryffindor yang padat setelah makan malam dan mencoba mengerja-kan PR yang diberikan Profesor McGonagall, tetapi ketiganya berulang-ulang berhenti dan memandang ke luar jendela menara. "Jendela Hagrid terang," kata Harry tiba-tiba. Ron melihat arlojinya. "Kalau kita bergegas, kita bisa menemuinya, se-karang belum terlalu malam..." "Aku tak tahu," kata Hermione pelan, dan Harry melihat Hermione mengerlingnya. "Aku boleh berjalan di halaman," katanya tegas. "Sirius Black belum melewati para Dementor yang berjaga di luar, kan?" Maka setelah membereskan buku-buku dan alat tulis mereka, ketiganya memanjat keluar lubang lukis-an. Mereka lega tidak bertemu siapa pun dalam perjalanan ke pintu depan, soalnya mereka tak begitu yakin apakah sebetulnya mereka boleh keluar. Rumput masih basah dan kelihatan hampir hitam dalam temaram senja. Setiba di pondok Hagrid, mereka mengetuk, dan terdengar suara menggeram, "Masuk." Hagrid sedang duduk, ia mengenakan kemeja biasa tanpa jas di belakang meja kayunya yang tergosok mengilap. Anjing besarnya, Fang, membaringkan kepala di atas pangkuannya. Sekali lihat saja mereka langsung tahu Hagrid sudah minum terlalu banyak. Ada cangkir tinggi hampir sebesar ember di depannya, dan tampak-nya dia kesulitan melihat mereka dengan jelas. "Ini rekor," katanya sedih, ketika sudah mengenali mereka. "Rasanya belum pernah mereka punya guru yang cuma bertahan sehari." "Kau tidak d ipecat, kan, Hagrid!" kata Hermione kaget. "Belum," kata Hagrid merana, meneguk banyak-banyak isi cangkir yang entah apa. "Tapi tinggal soal waktu saja, kan, sesudah Malfoy..." "Bagaimana dia?" tanya Ron setelah mereka semua duduk. "Lukanya tidak parah, kan?" "Madam Pomfrey obati dia sebaik-baiknya," kata Hagrid muram, "tapi Malfoy bilang lengannya masih sakit... diperban... erang-erang..." "Dia cuma pura-pura," kata Harry segera. "Madam Pomfrey bisa mengobati apa saja. Dia menumbuhkan kembali setengah tulang-tulangku tahun lalu. Dasar Malfoy, menggunakan kesempatan dalam kesempitan." "Dewan Sekolah sudah diberitahu, tentu," kata Hagrid merana. "Mereka salahkan aku, mulai dengan sesuatu yang terlalu besar. Mestinya Hippogriff untuk belakangan... mulai dengan Cacing Flobber atau apa... kupikir akan jadi pelajaran pertama yang seru... se-mua salahku..." "Itu salah Malfoy, Hagrid!" kata Hermione berse-mangat. "Kami saksinya," kata Harry. "Kau sudah bilang Hippogriff menyerang kalau dihina. Salah Malfoy sendiri kalau dia tidak mendengarkan. Kami akan menceritakan kepada Dumbledore apa yang sebenar-nya terjadi." "Ya, jangan khawatir, Hagrid, kami akan men-dukungmu,"kata Ron. Air mata bergulir dari sudut-sudut mata-kumbang Hagrid yang berkerut. Dia meraih Harry dan Ron dan memeluk mereka erat sekali. "Kau sudah minum terlalu banyak, Hagrid," kata Hermione tegas. Diangkatnya cangkir dari atas meja dan dibawanya keluar untuk dibuang isinya. "Ah, mungkin dia benar," kata Hagrid, melepas Harry dan Ron. Keduanya langsung terhuyung mun-dur, seraya menggosok-gosok rusuk mereka. Hagrid bangkit dari kursinya dan keluar dengan limbung menyusul Hermione. Mereka mendengar bunyi cebur-an keras. "Ngapain dia?" tanya Harry cemas, ketika Hermione masuk kembali membawa cangkir kosong. "Memasukkan kepalanya ke tong air," kata Hermione, menyimpan cangkir itu. Hagrid masuk, rambut dan jenggot panjangnya basah kuyup, menyeka air dari matanya. "Sekarang lebih enak," katanya, menggoyangkan kepalanya seperti anjing, membuat mereka semua basah kecipratan. "Kalian baik sekali datang tengok aku, aku sungguh..." Hagrid mendadak berhenti, menatap Harry, seakan baru sadar Harry ada di situ. "KAU INI NGAPAIN DI SINI, EH?" teriaknya, begitu tiba-tiba sampai mereka terlonjak tiga puluh senti dari lantai. "KAU TIDAK BOLEH JALAN-JALAN SESUDAH GELAP, HARRY! DAN KALIAN BERDUA! KENAPA KALIAN DIAMKAN SAJA!" Hagrid melangkah mendekati Harry, mencengkeram lengannya, dan menariknya ke pintu. "Ayo!" kata Hagrid berang. "Kuantar kalian kembali ke sekolah, dan jangan pernah datang temui aku sesudah gelap lagi. Aku tak cukup berharga!" 7 Boggart Di Dalam Lemari Pakaian MALFOY tidak ikut pelajaran dan baru muncul hari Kamis agak siang, ketika anak-anak Slytherin dan Gryffindor sudah setengah jalan mengikuti dua jam pelajaran Ramuan. Dia muncul di ruang bawah tanah dengan angkuh, lengan kanannya dibebat dan digendong. Harry berpendapat lagaknya seperti pahlawan yang berhasil selamat dalam perang me-ngerikan. "Bagaimana kabarmu, Draco?" tanya Pansy Parkinson sambil tersenyum-senyum genit. "Apa sakit sekali?" "Yeah," kata Malfoy menyeringai pura-pura ke-sakitan. Tetapi Harry melihatnya mengedip kepada Crabbe dan Goyle ketika Pansy sudah tidak meman-dangnya. "Duduklah, duduklah," kata Profesor Snape ramah. Harry dan Ron saling mencibir. Snape tak akan mengatakan, "duduklah", kalau mereka yang terlambat, mereka pasti akan kena detensi. Tetapi Malfoy selalu boleh melakukan apa saja di kelas Snape. Snape adalah Kepala Asrama Slytherin, dan biasanya menganak-emaskan anak-anak asramanya sendiri. Mereka membuat ramuan baru hari ini, Cairan Penyusut. Malfoy memasang kualinya tepat di sebelah Harry dan Ron, sehingga mereka menyiapkan bahan-bahannya di meja yang sama. "Sir," Malfoy berteriak, "Sir, saya perlu bantuan me-motong-motong akar daisy ini, karena lengan saya..." "Weasley potongkan akar Malfoy," Snape meme-rintah tanpa mengangkat kepala. Wajah Ron langsung merah padam. "Lenganmu tidak apa-apa," dia mendesis kepada Malfoy. Malfoy menyeringai. "Weasley, kau mendengar apa kata Profesor Snape, potong-potong akar ini." Ron menyambar pisaunya, menarik akar-akar daisy Malfoy ke dekatnya dan mulai memotong-motongnya sembarangan sehingga potongannya panjang-pendek tak beraturan. "Profesor," Malfoy mengadu, seperti biasa nadanya dipanjang-panjangkan, "Weasley merusak akar saya, Sir." Snape mendatangi meja mereka, memandang potong-an akar melewati hidung bengkoknya, kemudian ter-senyum masam kepada Ron dari bawah rambut pan-jangnya yang berminyak. "Tukar akar dengan Malfoy, Weasley." "Tapi, Sir...!" Ron telah menghabiskan seperempat jam terakhir untuk dengan sangat hati-hati memotong-motong akarnya dalam ukuran yang sama. "Sekarang," kata Snape dengan suaranya yang pa-ling berbahaya. Ron mendorong akarnya sendiri yang terpotong-potong rapi di atas meja ke arah Malfoy, kemudian memungut pisaunya lagi. "Dan, Sir, saya perlu Shrivelfig ini dikupaskan," kata Malfoy, suaranya mengandung tawa cemooh. "Potter, kupaskan Shrivelfig Malfoy," kata Snape, melempar pandang jijik kepada Harry seperti biasanya. Harry mengambil Shrivelfig-ara-kisut-Malfoy se-mentara Ron berusaha sebisanya menyelamatkan potongan akar rusak yang sekarang terpaksa harus digunakannya. Harry mengupas Shrivelfig secepat dia bisa dan melemparnya kembali ke arah Malfoy tanpa bicara. Malfoy menyeringai lebih lebar daripada se-belumnya. "Sudah bertemu sobat kalian Hagrid belakangan ini?" tanya Malfoy pelan kepada mereka. "Bukan urusanmu," hardik Ron, tanpa mengangkat wajahnya. "Sayang sekali dia tak akan jadi guru lagi," kata Malfoy pura-pura sedih. "Ayah kecewa aku luka..." "Ngomong saja terus, Malfoy, kubuat kau luka betulan nanti," gertak Ron. "...dia sudah mengajukan keluhan kepada dewan sekolah. Dan kepada Kementerian Sihir. Ayah punya pengaruh besar, tahu. Dan luka yang susah sembuh seperti ini...," Malfoy pura-pura menarik napas berat, "siapa yang tahu apakah lenganku akan bisa kembali seperti semula?" "Jadi, itulah sebabnya kau mempermainkan kami semua," kata Harry tanpa sengaja memotong kepala bangkai ulat bulu karena tangannya gemetar saking marahnya. "Berusaha supaya Hagrid dipecat." "Wah," kata Malfoy merendahkan suaranya sampai menjadi bisikan, "sebagian memang untuk itu, Potter. Tapi ada banyak keuntungan lain juga. Weasley iris-kan ulatku." Beberapa kuali dari mereka, Neville sedang dalam kesulitan. Neville seperti biasa tertekan sekali dalam pelajaran Ramuan. Ini pelajaran paling sulit untuknya dan ketakutannya yang amat besar terhadap Profesor Snape membuat segalanya sepuluh kali lebih buruk. Ramuannya, yang seharusnya berwarna hijau cerah, malah berwarna... "Jingga, Longbottom," kata Snape, menyendok cair-an itu dan membiarkannya mengucur kembali ke dalam kuali, agar semua bisa melihatnya. "Coba kata-kan padaku, apa ada yang bisa menembus tulang tengkorakmu yang tebal itu. Apakah kau tidak men-dengarku berkata jelas-jelas, cuma satu limpa tikus yang diperlukan? Bukankah sudah kutegaskan bahwa setetes jus lintah sudah cukup? Apa yang harus ku-lakukan untuk membuatmu mengerti, Longbottom?" Neville gemetar, mukanya merah padam. Tampak-nya dia nyaris menangis. "Maaf, Sir," kata Hermione, "maaf. Saya bisa mem-bantu Neville membetulkannya..." "Seingatku aku tak memintamu pamer, Miss Granger," kata Snape dingin, dan wajah Hermione menjadi sama merahnya dengan wajah Neville. "Longbottom, pada akhir pelajaran, kita akan memberi katakmu beberapa tetes ramuan buatanmu ini dan kita lihat nanti apa yang terjadi. Mungkin itu bisa menjadi dorongan bagimu untuk melakukannya dengan lebih baik." Snape menjauh, meninggalkan Neville yang tak bisa bernapas sa king takutnya. "Bantu aku!" Neville merintih kepada Hermione. "Hei, Harry" kata Seamus Finnigan, mencondong-kan diri ke meja mereka untuk meminjam timbangan kuningan Harry "kau sudah dengar? Daily Prophet pagi ini-katanya ada yang melihat Sirius Black." "Di mana?" tanya Harry dan Ron segera. Di se-berang meja, Malfoy mendongak, memasang telinga. "Tak jauh dari sini," kata Seamus, yang tampak bersemangat. "Muggle perempuan yang melihatnya. Tentu saja dia tidak mengerti. Para Muggle mengira Black cuma penjahat biasa, kan? Jadi, dia menelepon nomor hotline. Waktu orang-orang Kementerian Sihir tiba di tempat itu, Black sudah pergi." "Takjauh dari sini..." Ron mengulangi, memandang Harry penuh arti. Dia menoleh dan melihat Malfoy memandang penuh minat. "Apa, Malfoy? Ada lagi yang perlu dikuliti?" Tetapi mata Malfoy berkilat jahat, dan memandang Harry. Dia membungkuk di atas meja. "Mau coba menangkap Black sendirian, Potter?" "Yeah, betul," kata Harry asal saja. Bibir tipis Malfoy melengkung dalam senyum sadis. "Tentu saja, kalau aku," katanya sok, "aku pasti sudah melakukan sesuatu sebelum ini. Aku tak akan tinggal di sekolah jadi anak baik-baik, aku akan di luar sana mencarinya." "Kau bicara apa, Malfoy?" tanya Ron kasar. "Apa kau tidak tahu, Potter?" desah Malfoy, mata-nya yang pucat menyipit. "Tahu apa? M Malfoy tertawa menghina. "Mungkin kau tak berani mempertaruhkan lehermu," katanya. "Kau lebih suka menyerahkannya ke-pada para Dementor saja, kan? Tapi kalau aku, aku akan balas dendam. Akan kuburu sendiri." "Apa yang kaubicarakan?" tanya Harry marah. Tetapi saat itu Snape berkata, "Kalian mestinya sudah selesai memasukkan semua bahan ramuan seka-rang. Ramuan ini harus mendidih dulu sebelum bisa diminum. Menyingkirlah dulu sementara ramuan mendidih dan kemudian kita akan mengetes katak Longbottom... Crabbe dan Goyle tertawa terang-terangan, meman-dang Neville yang berkeringat dan mengaduk ramu-annya dengan terburu-buru. Hermione menggumam-kan petunjuk-petunjuk kepadanya dari sudut mulut-nya, supaya Snape tidak melihatnya. Harry dan Ron mengemas kembali bahan-bahan mereka yang tidak terpakai, lalu mencuci tangan dan sendok pengaduk mereka di wastafel batu di sudut. "Apa maksud Malfoy?" gumam Harry kepada Ron, sambil sekali lagi mengulurkan tangannya ke bawah semburan air sedingin es yang memancar dari mulut gargoyle. "Kenapa aku harus balas dendam kepada Black? Dia tidak melakukan apa-apa terhadapku- setidaknya belum." "Dia cuma mengada-ada," kata Ron sewot, "dia mencoba membuatmu melakukan sesuatu yang bodoh..." Menjelang akhir pelajaran, Snape mendatangi Neville, yang gemetar ketakutan di sebelah kualinya. "Semua berkumpul," kata Snape, mata hitamnya berkilat, "dan saksikan apa yang terjadi pada katak Longbottom. Kalau dia berhasil membuat Cairan Penyusut, kataknya akan menyusut menjadi kecebong. Kalau, seperti yang tak kuragukan lagi, dia salah membuat ramuannya, kataknya akan keracunan." Anak-anak Gryffindor mengawasi dengan ketakutan. Anak-anak Slytherin tampak bergairah. Snape me-mungut Trevor dengan tangan kirinya, dan memasuk-kan sendok kecil ke dalam ramuan Neville, yang sekarang berwarna hijau. Dia meneteskan beberapa tetes ke kerongkongan Trevor. Suasana sunyi senyap. Trevor menelan, kemudian terdengar bunyi plop pelan, dan Trevor si kecebong menggeliat-geliat di atas telapak tangan Snape. Anak-anak Gryffindor bertepuk riuh. Snape, dengan wajah masam, mengeluarkan botol kecil dari dalam saku jubahnya, menuangkan beberapa tetes ke atas Trevor, dan dalam sekejap saja Trevor muncul lagi, sudah menjadi katak dewasa. "Potong lima angka dari Gryffindor," kata Snape, membuat senyum menghilang dari wajah semua anak. "Sudah kularang kau membantunya, Miss Granger. Kelas bubar." Harry, Ron, dan Hermione mendaki tangga ke Aula Depan. Harry masih memikirkan apa yang dikatakan Malfoy, sementara Ron masih berang terhadap Snape. "Lima angka dipotong dari Gryffindor karena ramu-annya benar! Kenapa kau tidak bohong, Hermione? Mestinya kau bilang Neville membuatnya sendiri!" Hermione tidak menjawab. Ron menoleh. "Di mana dia?" Harry ikut menoleh. Mereka sudah tiba di puncak tangga sekarang, mengawasi anak-anak yang lain melewati mereka, menuju Aula Besar untuk makan siang. "Tadi dia persis di belakang kita," kata Ron me-ngernyit. Malfoy melewati mereka, diapit Crabbe dan Goyle. Dia mencibir kepada Harry dan menghilang. "Itu dia," kata Harry. Hermione agak terengah, bergegas menaiki tangga, satu tangannya memegangi tasnya, satunya lagi ke-lihatannya menyisipkan sesuatu di bagian depan ju-bahnya. "Bagaimana kau melakukannya?" tanya Ron. "Apa?" tanya Hermione, bergabung dengan mereka. "Mulanya kau di belakang kami, dan saat berikut-nya, kau sudah berada di kaki tangga lagi." "Apa?" Hermione kelihatannya agak bingung. "Oh-aku harus balik karena ada yang ketinggalan. Oh, tidak..." Tas Hermione sobek. Harry tidak heran. Tas itu dijejali paling tidak selusin buku-buku besar dan tebal. "Kenapa sih semua ini kaubawa-bawa?" Ron me-nanyainya. "Kau kan tahu berapa banyak pelajaran yang ku-ambil," kata Hermione tersengal. "Tolong pegangkan ini dong." "Tapi...," Ron membalik buku-buku yang diserah-kan Hermione kepadanya, memandang sampul depan-nya. "Kan tidak ada pelajaran ini hari ini. Tinggal Pertahanan terhadap Ilmu Hitam sore ini." "Oh ya," kata Hermione tak jelas, tetapi dia tetap saja memasukkan semua bukunya ke dalam tasnya lagi. "Mudah-mudahan makan siangnya enak. Aku lapar sekali," dia menambahkan dan berjalan menuju Aula Besar. "Apa kau punya perasaan Hermione menyembunyi-kan sesuatu dari kita?" Ron menanyai Harry. Profesor Lupin belum ada ketika mereka tiba untuk mengikuti pelajaran pertama Pertahanan terhadap Ilmu Hitam bersamanya. Mereka semua duduk, me-ngeluarkan buku, pena bulu, dan perkamen mereka, dan sedang mengobrol ketika akhirnya Profesor Lu-pin masuk. Lupin tersenyum samar dan menaruh tasnya yang butut di atas meja guru. Diamasih sama lusuhnya seperti sebelumnya, tetapi sudah tampak jauh lebih sehat daripada waktu di kereta api seakan dia sudah makan cukup banyak. "Selamat sore," katanya. "Silakan masukkan kembali semua buku kalian ke dalam tas. Hari ini kita praktek. Kalian hanya akan perlu tongkat." Anak-anak menyimpan kembali buku-buku mereka sambil bertukar pandang ingin tahu. Mereka belum pernah praktek dalam pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, kecuali kalau pengalaman tak terlupakan tahun lalu bisa dianggap praktek. Waktu itu guru mereka yang lama membawa sangkar berisi pixie-pixie ke dalam kelas dan melepaskannya. "Baiklah," kata Profesor Lupin, ketika semua sudah siap, "ayo, ikut aku." Bingung, tapi tertarik, anak-anak berdiri dan meng-ikuti Profesor Lupin meninggalkan kelas. Dia mem-bawa mereka menyusuri koridor yang kosong dan membelok di sudut. Yang pertama mereka lihat adalah Peeves si hantu jail, yang sedang melayang terbalik dengan kepala di bawah dan menjejalkan permen karet ke lubang kunci terdekat. Peeves tidak mendongak sampai Profesor Lupin sudah setengah meter dari tempatnya, kemudian dia menggerak-gerakkan jari-jari kakinya yang me-lengkung dan bernyanyi. "Loony, loopy Lupin," Peeves bernyanyi. "Loony, loopy Lupin, loony, loopy Lupin..." Ini sudah keterlaluan sekali, karena loony artinya gila, dan loopy juga berarti agak gila atau sinting. Walaupun memang hampir selalu kurang ajar dan tak bisa diatur, Peeves biasanya masih hormat ter-hadap para guru. Semua anak cepat-cepat memandang Profesor Lupin, ingin tahu bagaimana reaksinya men-dengar ejekan ini. Betapa herannya mereka, Lupin masih tetap tersenyum. "Akan kukeluarkan permen karet itu dari lubang kunci, kalau aku jadi kau, Peeves," katanya ramah. "Mr Filch tak akan bisa masuk untuk mengambil sapunya." Filch adalah penjaga sekolah Hogwarts, penyihir gagal yang gampang marah dan menyatakan perang terus-menerus dengan murid-murid dan, tentu saja, dengan Peeves. Meskipun demikian, Peeves tidak me-medulikan omongan Profesor Lupin. Dia malah meniup permen karet stroberi dengan bunyi keras. Profesor Lupin menghela napas dan mengeluarkan tongkatnya. "Ini mantra kecil yang berguna," katanya seraya menoleh kepada murid-muridnya. "Lihat baik-baik." Dia mengangkat tongkatnya setinggi bahu, berseru "Waddiwasi!" dan mengacungkannya kepada Peeves. Dengan kekuatan luncuran peluru, gumpalan per-men karet melesat dari lubang kunci, masuk ke lubang hidung kiri Peeves. Peeves langsung berjungkir-balik tegak lagi dan meluncur pergi, memaki-maki. "Cool, Sir!" kata Dean Thomas, takjub. "Terima kasih, Dean," kata Profesor Lupin, menyimpan kembali tongkatnya. "Kita terus?" Mereka berjalan lagi, anak-anak memandang Profesor Lupin yang lusuh dengan rasa hormat yang semakin besar. Dia membawa mereka menyusuri koridor kedua dan berhenti, tepat di depan pintu ruang guru. "Silakan masuk," kata Profesor Lupin, membuka pintu lalu minggir. Ruang guru, ruangan panjang berpanel penuh kursi-kursi tua yang berlainan, nyaris kosong. Hanya ada satu guru. Profesor Snape sedang duduk di kursi rendah berlengan, dan dia menoleh ketika anak-anak masuk. Matanya berkilat-kilat dan ada senyum sinis di bibirnya. Ketika Profesor Lupin masuk dan akan menutup pintu, Snape berkata, "Biarkan saja, Lupin. Aku lebih suka tidak menyaksikan ini." Dia berdiri dan berjalan melewati anak-anak, jubah hitamnya me-lambai di belakangnya. Di depan pintu dia berputar dan berkata, "Mungkin sudah ada yang memper-ingatkanmu, Lupin, tetapi di kelas ini ada Neville Longbottom. Kusarankan kau jangan memberinya tugas yang sulit. Kecuali kalau Miss Granger men-desiskan petunjuk di telinganya." Muka Neville merah padam. Harry mengerling Snape. Melecehkan Neville di depan teman-temannya saja sudah jahat, apalagi di depan guru lain. Profesor Lupin menaikkan alisnya. "Aku malah berharap Neville membantuku pada langkah awal praktek ini," katanya, "dan aku yakin dia akan bisa melakukannya dengan mengagumkan." Muka Neville yang sudah merah menjadi semakin merah. Snape mencibir, tapi dia pergi dengan mem-banting pintu. "Nah," kata Profesor Lupin, memberi isyarat agar anak-anak ke ujung ruangan. Di situ tak ada apa-apa, kecuali lemari tua tempat para guru menyimpan jubah ganti mereka. Ketika Profesor Lupin berdiri di sebelahnya, lemari pakaian itu mendadak berguncang, membentur dinding. "Jangan khawatir," kata Profesor Lupin tenang, ketika beberapa anak melompat mundur ketakutan. "Ada Boggart di dalamnya." Sebagian besar anak menganggap ini sesuatu yang layak dicemaskan. Neville memandang Profesor Lu-pin penuh kengerian, dan Seamus Finnigan meng-awasi pegangan pintu lemari, yang sekarang bergetar, dengan gelisah. "Boggart menyukai tempat-tempat tertutup yang gelap," kata Profesor Lupin. "Lemari pakaian, kolong tempat tidur, lemari perabot di bawah tempat cuci piring-aku pernah bertemu Boggart yang tinggal di jam besar yang berdiri. Yang ini pindah ke sini ke-marin sore, dan aku minta persetujuan Kepala Sekolah agar para guru meninggalkan ruang guru ini, supaya aku bisa mengajar murid-murid kelas tigaku praktek. "Jadi, pertanyaan pertama yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri adalah, apakah Boggart itu?" Hermione mengangkat tangan. "Boggart adalah pengubah-bentuk," katanya. "Dia bisa berubah menjadi bentuk apa saja yang dia pikir paling menakutkan bagi kita." "Aku tak bisa memberikan definisi yang lebih baik dari itu," kata Profesor Lupin dan Hermione berseri-seri. "Jadi si Boggart yang duduk dalam kegelapan lemari ini belum berbentuk. Dia belum tahu apa yang membuat takut orang di balik pintu lemari. Tak ada yang tahu, seperti apa bentuk Boggart kalau dia sedang sendirian, tapi kalau kukeluarkan dia, dia akan langsung menjadi apa pun yang kita masing-masing takutkan. "Ini berarti," kata Profesor Lupin, mengabaikan erang ketakutan Neville, "keadaan kita sekarang ini menguntungkan sekali. Tahukah kau kenapa, Harry?" Mencoba menjawab pertanyaan dengan Hermione di sebelahnya-berjingkat-jingkat dengan tangan ter-acung penuh semangat-sungguh membuat kecil nyali. Tetapi Harry nekat. "Eh-karena ada banyak orang di sini, dia tidak akan tahu sebaiknya memilih bentuk apa?" "Persis," kata Profesor Lupin, dan Hermione me-nurunkan tangannya, kelihatan agak kecewa. "Paling baik kita punya teman kalau menghadapi Boggart. Dia jadi bingung. Mau jadi apa enaknya, mayat tanpa kepala atau siput pemakan daging? Aku pernah me-lihat Boggart melakukan kesalahan seperti itu-men-coba menakut-nakuti dua orang sekaligus dan meng-ubah diri menjadi setengah-siput. Sama sekali tidak menakutkan. "Mantra yang menaklukkan Boggart sederhana, te-tapi memerlukan tekad yang kuat. Soalnya, hal yang benar-benar bisa menghabisi Boggart adalah tawa. Yang harus kalian lakukan hanyalah memaksanya berubah bentuk menjadi sesuatu yang kalian anggap lucu. "Kita akan berlatih mantra ini tanpa tongkat dulu. Timkan aku... riddikulusl" "Riddikulus!" seluruh kelas mengulangi. "Bagus," kata Profesor Lupin. "Bagus sekali. Tapi itu bagian yang mudah. Soalnya, kata itu saja tidak cukup. Dan di sinilah kau masuk, Neville." Lemari itu berguncang lagi, tetapi guncangannya kalah dibanding guncangan Neville, yang maju seakan menuju tiang gantungan. "Baiklah, Neville," kata Profesor Lupin. "Kita mulai dari yang paling penting. Apa yang paling membuat-mu takut di dunia ini?" Bibir Neville bergerak, tetapi tak ada suara yang keluar. "Tidak dengar, Neville, sori," kata Profesor Lupin ceria. Neville memandang berkeliling dengan panik, se-akan memohon bantuan, kemudian berkata, dalam bisikan pelan, "Profesor Snape." Hampir semua temannya tertawa. Bahkan Neville sendiri nyengir minta maaf. Meskipun demikian, Profesor Lupin kelihatan berpikir serius. "Profesor Snape... hmmm... Neville, kau tinggal bersama nenekmu, kan?" "Eh-ya," kata Neville gugup. "Tetapi-saya juga tak mau Boggart itu berubah menjadi Nenek." "Tidak, tidak, kau salah paham," kata Profesor Lu-pin, yang sekarang tersenyum. "Bisakah kau mem-beritahu kami pakaian seperti apa yang biasa dipakai nenekmu?" Neville kelihatan heran, tetapi berkata, "Yah... selalu topi yang sama. Topi tinggi dengan burung-burungan nasar di atasnya. Dan gaun panjang... hijau, biasa-nya... dan kadang-kadang syal bulu rubah." "Dan tas tangan?" pancing Profesor Lupin. "Merah besar," kata Neville. "Baiklah," kata Profesor Lupin. "Bisakah kau membayangkan dandanan itu dengan jelas, Neville? Bisa-kah kau melihatnya dalam pikiranmu?" "Ya," kata Neville bingung. Jelas sekali dia ingin tahu apa yang akan terjadi berikutnya. "Ketika Boggart itu keluar dari lemari ini, Neville, dan melihatmu, dia akan mengambil bentuk Profesor Snape," kata Lupin. "Dan kau akan mengangkat tong-katmu-begini-dan berseru 'Riddikulus'-dan berkon-sentrasi penuh pada dandanan nenekmu. Jika semua berjalan lancar, Profesor Boggart Snape akan dipaksa memakai topi burung nasar, gaun hijau, tas tangan merah besar." Anak-anak tertawa gelak-gelak. Lemari berguncang semakin keras. "Kalau Neville berhasil, si Boggart kemungkinan akan mengalihkan perhatiannya kepada kita berganti-an," kata Profesor Lu pin. "Kuminta kalian semua memikirkan sebentar, apa yang paling menakutkan kalian, dan bayangkan bagaimana kalian bisa me-maksanya berubah menjadi konyol..." Kelas hening. Harry berpikir... Apa yang paling menakutkannya di dunia ini? Yang pertama terpikir olehnya adalah Lord Voldemort- Voldemort yang kekuatannya pulih se-penuhnya. Tetapi bahkan sebelum dia merencanakan kontra-serangan kepada si Boggart-Voldemort, ada bayangan mengerikan muncul di benaknya... Tangan busuk yang mengilap, menyusup kembali ke dalam jubah hitam... napas panjang berkeretakan dari mulut yang tak kelihatan... kemudian hawa di-ngin yang begitu menusuk dan membuatnya seakan tenggelam... Harry bergidik, kemudian memandang berkeliling, berharap tak ada yang memperhatikannya. Banyak anak yang memejamkan mata rapat-rapat. Ron ber-gumam sendiri, "Potong kaki-kakinya." Harry yakin dia tahu apa yang diinginkan Ron. Ron paling takut pada labah-labah. "Semua siap?" tanya Profesor Lupin. Harry dilanda ketakutan. Dia belum siap. Bagai-mana kau bisa membuat Dementor tidak menakutkan? Tetapi dia tak mau minta tambahan waktu. Teman-temannya semua mengangguk dan menggulung lengan jubah mereka. "Neville, kami akan mundur," kata Profesor Lupin. "Supaya kau sendirian dan tampak jelas, oke? Aku akan memanggil anak berikutnya maju nanti... semua mundur sekarang, supaya Neville bisa menyerang dengan leluasa..." Mereka mundur sampai ke dinding, meninggalkan Neville sendirian di sebelah lemari. Dia kelihatan pucat dan ketakutan, tetapi dia sudah menggulung lengan jubahnya dan tongkatnya terangkat siap me-nyerang. "Pada hitungan ketiga, Neville," kata Profesor Lu-pin, yang mengacungkan tongkatnya sendiri ke pegangan pintu lemari. "Satu-dua-tiga-sekarang!" Semburan bunga api meluncur dari ujung tongkat Profesor Lupin dan mengenai pegangan pintu. Pintu lemari terbuka dengan keras. Profesor Snape yang berhidung bengkok melangkah keluar, matanya ber-kilat memandang Neville penuh ancaman. Neville mundur, tongkatnya terangkat, mulutnya mengucap tanpa kata. Snape mendekatinya, merogoh sakunya. "R-r-riddikulus!" Neville mencicit. Terdengar bunyi seperti lecutan cemeti. Snape ter-huyung. Tiba-tiba saja dia sudah memakai gaun pan-jang berenda, topi tinggi yang di atasnya ada burung nasar yang sudah dimakan ngengat, dan melambai-lambaikan tas tangan besar merah. Tawa meledak. Si Boggart berhenti, kebingungan, dan Profesor Lupin berteriak, "Parvati! Maju!" Parvati ke depan, wajahnya penuh tekad. Snape berbalik mendekatinya. Terdengar bunyi lecutan lagi, dan di tempat Snape berdiri sekarang tampak mumi yang bebatannya berdarah-darah, wajahnya yang ter-bebat menoleh memandang Parvati, lalu dia berjalan ke arahnya, pelan-pelan sekali, menyeret kakinya, tangannya yang kaku teracung ke depan... "Riddikulus!" teriak Parvati. Bebatan di kaki mumi terurai, si mumi terbelit kain bebatannya sendiri, jatuh terjerembap mencium lantai dan kepalanya berguling lepas. "Seamus!" seru Profesor Lupin. Seamus berlari melewati Parvati. Tar! Si mumi berubah menjadi perempuan kurus-kering dengan rambut sepanjang lantai, wajahnya yang menyerupai kerangka pucat kehijauan-banshee, hantu perempuan yang memberitahukan kematian anggota keluarga dengan menampakkan diri atau menangis melolong di bawah jendela semalam atau dua malam sebelum hari kematian tiba. Si banshee membuka mulutnya lebar-lebar, dan lolong panjang mengerikan memenuhi ruangan, membuat rambut di kepala Harry tegak berdiri... "Riddikulus!" teriak Seamus. Si banshee mengeluarkan bunyi parau, dia men-cengkeram lehernya. Suaranya lenyap. Tar! Si banshee berubah menjadi tikus besar yang berputar-putar mengejar ekornya sendiri, kemudian- tar!- menjadi ular berbisa, yang melata dan meng-geliat sebelum- tar!-menjadi bola mata berlumur da-rah. "Dia bingung!" teriak Lupin. "Kita hampir berhasil! Dean!" Dean bergegas maju. Tar! Bola mata berubah menjadi potongan tangan mengerikan, yang langsung membalik, dan mulai me-rangkak di lantai seperti kepiting. "Riddikulus!" teriak Dean. Terdengar bunyi lecutan, dan tangan itu terjepit perangkap tikus. "Bagus sekali! Ron, giliranmu!" Ron melompat maju. "Tar!" Cukup banyak anak yang menjerit. Seekor labah-labah raksasa, setinggi dua meter dan dipenuhi bulu, merayap ke arah Ron, mengatup-ngatupkan capitnya dengan mengancam. Sekejap Harry mengira Ron membeku ketakutan. Kemudian... "Riddikulus!" raung Ron, dan kedelapan kaki si labah-labah lenyap. Dia berguling-guling. Lavender Brown menjerit dan berlari menyingkir dan labah-labah itu berhenti di depan kaki Harry. Harry meng-angkat tongkatnya, siap menyerang, tetapi... "Sini!" teriak Profesor Lupin yang bergegas men-dekat. Tar! Labah-labah tak berkaki itu lenyap. Sedetik anak-anak memandang berkeliling mencarinya. Kemudian mereka melihat bola putih keperakan melayang di udara, di depan Lupin yang berkata, "Riddikulus!" nyaris ogah-ogahan. Tar! "Maju, Neville, dan habisi dia!" kata Lupin, ketika si Boggart terjatuh ke lantai sebagai kecoak. Tar! Snape muncul lagi. Kali ini Neville menyerbu ke depan dengan mantap. "Riddikulus!" dia berteriak, dan. selama sepersekian detik mereka melihat sekilas Snape bergaun berenda sebelum Neville terbahak keras "Ha-ha-ha!" dan si Boggart meletus menjadi seribu gumpalan kecil asap lalu lenyap. "Hebat sekali!" seru Profesor Lupin, ketika anak-anak bertepuk riuh. "Luar biasa, Neville. Bagus, anak-anak. Coba kupikirkan... lima angka untuk Gryffindor bagi setiap anak yang menangani si Boggart, sepuluh untuk Neville karena dia menghadapinya dua kali- dan masing-masing lima untuk Hermione dan Harry." "Tetapi saya tidak melakukan apa-apa," kata Harry. "Kau dan Hermione menjawab pertanyaanku de-ngan betul pada awal pelajaran, Harry," kata Lupin enteng. "Baik, anak-anak, pelajaran yang bagus sekali. PR, kalian baca bab tentang Boggart dan buat ring-kasannya untukku... dikumpulka n hari Senin. Cukup sampai di sini dulu." Berceloteh penuh semangat, anak-anak meninggal-kan ruang guru. Meskipun demikian Harry tidak gembira. Profesor Lupin dengan sengaja menghalangi-nya menangani Boggart. Kenapa? Apakah karena dia pernah melihat Harry pingsan di kereta api, dan mengira Harry tidak berani? Apakah dia mengira Harry akan pingsan lagi? Tetapi anak-anak lain tampaknya tidak memper-hatikan hal ini. "Kalian melihatku menyerang banshee?" teriak Seamus. "Dan tangan mengerikan!" kata Dean, melambaikan tangannya sendiri. "Dan Snape memakai topi konyol itu!" "Dan mumi-ku!" "Aku heran kenapa Profesor Lupin takut pada bola kristal?" tanya Lavender merenung. "Tadi itu pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam paling asyik yang pernah kita terima, ya?" kata Ron bergairah, ketika mereka kembali ke kelas untuk mengambil tas. "Kelihatannya dia guru yang baik sekali," kata Hermione memuji. "Tapi sayang sekali aku tidak men-dapat kesempatan menangani si Boggart..." "Apa kira-kira yang membuatmu takut?" ledek Ron. "PR yang cuma dapat nilai sembilan, dan bukannya sepuluh?" 8 Kaburnya Si Nyonya Gemuk DALAM waktu singkat Pertahanan terhadap Ilmu Hitam menjadi pelajaran favorit bagi semua anak. Hanya Draco Malfoy dan geng Slytherin-nya yang bicara buruk tentang Profesor Lupin. "Lihat jubahnya," bisik Malfoy keras-keras kalau Profesor Lupin lewat. "Caranya berpakaian seperti peri-rumah kami." Tetapi anak-anak lain tak peduli dan tak keberatan jubah Profesor Lu pin lusuh dan bertambal. Pelajaran-pelajarannya yang berikut sama menariknya dengan yang pertama. Setelah Boggart, mereka belajar tentang Red Cap-Topi Merah, makhluk jahat seperti goblin yang bersembunyi di tempat-tempat pertumpahan darah, di ruang-ruang bawah tanah kastil dan lubang-lubang di medan perang, menunggu kesempatan memukul orang-orang yang tersesat dengan gada. Dari Red Cap mereka maju ke Kappa, penghuni-air mengerikan yang tampangnya seperti monyet ber-sisik, dengan tangan berselaput seperti kaki bebek, gatal ingin mencekik siapa saja yang tanpa sengaja mengarungi kolamnya. Harry hanya berharap, dia bisa sesenang itu dalam pelajaran-pelajarannya yang lain. Yang paling parah pelajaran Ramuan. Suasana hati Snape belakangan ini maunya membalas dendam, dan semua tahu pasti sebabnya. Kisah tentang si Boggart yang tampil dalam sosok Snape, dan cara Neville mendandaninya dengan gaun neneknya, menyebar cepat sekali di sekolah. Snape tidak menganggapnya lucu. Matanya berkilat berbahaya setiap kali nama Profesor Lupin disebut, dan dia mendera Neville lebih berat dari sebelumnya. Harry juga takut melewatkan jam-jam pelajaran di ruang menara Profesor Trelawney yang sumpek, me-nafsirkan bentuk-bentuk dan simbol-simbol miring. Harry berusaha mengabaikan bagaimana mata besar Profesor Trelawney digenangi air mata setiap kali memandangnya. Harry tak bisa menyukai Profesor Trelawney, meskipun sebagian besar anak bersikap hormat nyaris memuja guru Ramalan ini. Parvati Patil dan Lavender Brown punya kebiasaan baru menyambangi ruang menara Profesor Trelawney saat makan siang dan selalu kembali dengan tampang superior menyebalkan, seakan mereka tahu hal-hal yang tidak diketahui anak-anak lain. Mereka juga mulai merendahkan suara setiap kali bicara dengan Harry, seakan Harry sudah akan meninggal. Tak seorang pun benar-benar menyukai Pemelihara-an Satwa Gaib, yang, setelah pelajaran pertama yang superseru, berubah menjadi sangat membosankan. Hagrid kelihatannya sudah kehilangan percaya diri. Sekarang setiap kali pelajaran, mereka menghabiskan waktu mempelajari bagaimana memelihara Cacing Flobber, makhluk hidup yang paling membosankan. "Buat apa kita peduli bagaimana memelihara cacing itu?" kata Ron, setelah melewatkan satu jam men-jejalkan cacahan selada ke dalam tenggorokan licin Cacing Flobber. Meskipun demikian, pada awal Oktober, Harry pu-nya kesibukan lain. Kesibukan yang sangat menyenangkan sehingga bisa mengimbangi pelajaran-pelajaran lain yang kurang memuaskan. Musim pertandingan Quidditch sudah dekat, dan Oliver Wood, kapten tim Gryffindor, mengadakan rapat pada suatu Kamis malam untuk mendiskusikan taktik meng-hadapi musim pertandingan baru ini. Ada tujuh orang di dalam satu tim Quidditch: tiga Chaser, yang bertugas mencetak gol dengan memasuk-kan Quaffle (bola merah seukuran bola sepak) ke dalam salah satu dari ketiga lingkaran di atas setiap tiang setinggi lima belas meter di ujung lapangan; dua Beater, yang dipersenjatai dengan pemukul berat untuk menangkis Bludger (dua bola berat hitam yang berdesing ke segala jurusan menyerang para pemain); Keeper, yang menjaga ketiga tiang gawang, dan Seeker, yang tugasnya paling berat, yaitu menangkap Golden Snitch, bola kecil mungil bersayap seukuran buah kenari yang jika berhasil ditangkap akan mengakhiri pertandingan dan tim si Seeker yang menangkapnya memperoleh angka tambahan seratus lima puluh. Oliver Wood adalah pemuda gagah berusia tujuh belas tahun, sekarang berada di kelas tujuh, tahun terakhirnya di Hogwarts. Suaranya mengandung nada putus asa ketika dia bicara kepada enam anggota timnya di kamar ganti yang dingin, di uj ung lapangan Quidditch yang sudah mulai gelap. "Ini kesempatan terakhir kita-kesempatan terakhir-ku- untuk memenangkan Piala Quidditch," katanya, sambil berjalan mondar-mandir di depan mereka. Aku akan meninggalkan Hogwarts pada akhir tahun ini. Aku tak akan pernah punya kesempatan lain. "Gryffindor sudah tujuh tahun tak pernah menang. Oke, memang kita selama ini sial terus-ada yang luka-kemudian turnamen dibatalkan tahun lalu..." Wood menelan ludah, seakan kenangan itu masih membuat tenggorokannya serasa terganjal tangis. "Tetapi kita juga tahu tim kita adalah tim-yang-paling-baik-dan-paling-kuat-di-sekolah, "katanya, meninju telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanannya, matanya kembali berkilat menggila. "Kita punya tiga Chaser hebat." Wood menunjuk Alicia Spinnet, Angelina Johnson, dan Katie Bell. "Kita punya dua Beater yang tak terkalahkan." "Jangan begitu, Oliver, kau membuat kami malu," kata Fred dan George Weasley bersamaan, berpura-pura malu. "Dan kita punya Seeker yang belum pernah gagal memenangkan pertandingan buat kita!" Wood menerus-kan, menatap Harry antara geram dan bangga. "Dan aku," dia menambahkan, seakan baru terpikirkan. "Kami juga berpikir kau hebat, Oliver," kata George. "Keeper super," kata Fred. "Yang kumaksudkan adalah," Wood meneruskan, kembali mondar-mandir, "nama kitalah yang seharus-nya tertera di piala Quidditch itu selama dua tahun terakhir ini. Sejak Harry bergabung dengan tim kita, kupikir piala itu pasti jadi milik kita. Tetapi sampai sekarang belum, dan tahun ini kesempatan terakhir kita untuk akhirnya melihat nama kita di piala itu..." Wood bicara dengan begitu sedih, sehingga bahkan Fred dan George kelihatan bersimpati. "Oliver, tahun ini tahun kita," kata Fred. "Kita akan berhasil, Oliver!" kata Angelina. "Pasti," kata Harry. Penuh tekad, tim Gryffindor mulai berlatih, tiga kali seminggu. Udara semakin dingin dan sering hujan, malam-malam menjadi lebih gelap. Tetapi lumpur, angin, ataupun hujan sebanyak apa pun tak bisa memudarkan bayangan menyenangkan dalam benak Harry, saat akhirnya mereka berhasil meme-nangkan piala Quidditch perak yang besar itu. Suatu malam, ketika Harry kembali ke ruang rekre-asi Gryffindor sehabis latihan, kedinginan dan kaku, tapi senang dengan jalannya latihan, anak-anak sedang bicara dengan seru. "Ada apa?" dia menanyai Ron dan Hermione, yang duduk di dua kursi terbaik di sebelah perapian dan menyelesaikan beberapa peta bintang untuk Astro-nomi. "Akhir minggu Hogsmeade pertama," kata Ron, menunjuk pengumuman yang tertempel di papan pengumuman tua yang sudah bocel-bocel. "Akhir Oktober. Hallowe'en." "Bagus," kata Fred, yang menyusul Harry masuk lewat lubang lukisan. "Aku perlu ke Zonko. Peluru Bau-ku hampir habis." Harry mengenyakkan diri di kursi di sebelah Ron, semangatnya yang tinggi langsung surut. Hermione tampaknya bisa membaca pikiran Harry. "Harry, aku yakin lain kali kau bisa pergi," katanya. "Mereka pasti bisa menangkap Black tak lama lagi, sudah ada orang yang melihatnya sekali." "Black tak akan begitu bodoh mencoba melakukan sesuatu di Hogsmeade," kata Ron. "Coba tanya McGonagall apakah kau boleh pergi kali ini, Harry. Kesempatan berikutnya mungkin masih lama sekali..." "Ron!" tegur Hermione. "Harry kan harus tinggal di sekolah..." "Mana bisa diajadi satu-satunya anak kelas tiga yang tidak pergi," kata Ron. "Tanya McGonagall dulu, Harry..." "Yeah, aku akan tanya," kata Harry, mengambil keputusan. Hermione membuka mulut untuk menentang, tetapi saat itu Crookshanks melompat ringan ke atas pangkuannya. Bangkai labah-labah besar terjuntai dari mulutnya. "Apa dia harus memakannya di depan kita?" cibir Ron. "Crookshanks pintar, apa kau menangkap labah-labah itu sendiri?" tanya Hermione. Crookshanks dengan santai mengunyah labah-labah itu, mata kuningnya menatap Ron dengan kurang ajar. "Jaga agar dia tetap di situ," kata Ron jengkel, kembali menghadapi peta bintangnya. "Scabbers tidur di dalam tasku." Harry menguap. Dia sudah ingin tidur, tetapi masih harus menyelesaikan peta bintangnya. Dia menarik tasnya, mengeluarkan perkamen, tinta, dan pena bulu, lalu mulai bekerja. "Kau boleh menyalin punyaku, kalau mau," kata Ron, menamai bintang terakhirnya dengan banyak hiasan dan mendorong petanya ke arah Harry. Hermione, yang tidak setuju contoh-mencontoh, me-ngerutkan bibir, tapi tidak mengatakan apa-apa. Crookshanks masih memandang Ron tanpa kedip, mengibaskan ujung ekornya yang berbulu lebat. Kemudian, tanpa terduga, dia menyerang. "OYYY!" Ron berteriak, menyambar tasnya, ketika Crookshanks membenamkan empat set cakar tajam ke tas itu, dan mulai mencakar-cakar dengan liar. "PERGI, KUCING GOBLOK!" Ron mencoba menarik tasnya dari Crookshanks, tetapi kucing itu bertahan, mendesis-desis dan men-cakar-cakar. "Ron, jangan lukai dia!" jerit Hermione. Semua anak sekarang menonton. Ron mengayunkan tasnya berputar-putar, Crookshanks masih bertahan me-nempel, dan Scabbers melayang, terlontar keluar... "TANGKAP KUCING ITU!" teriak Ron, ketika Crookshanks melepaskan diri dari tas, melompat ke atas meja, dan mengejar Scabbers yang ketakutan. George Weasley menyergap Crookshanks tetapi luput. Scabbers melesat menerobos dua puluh pasang kaki dan meluncur ke bawah lemari laci tua. Crookshanks berhenti, mendekam dengan kakinya yang bengkok dan mulai meraih-raih marah dengan kaki depannya. Ron dan Hermione bergegas mendatangi. Hermione menyambar Crookshanks pada perutnya dan meng-gendongnya pergi. Ron menelungkup dan dengan susah payah menarik keluar Scabbers pada ekornya. "Lihat nih!" katanya berang kepada Hermione, menggoyangkan Scabbers di depannya. "Dia cuma tinggal kulit dan tulang! Jauhkan kucingmu dari dia!" "Crookshanks tidak mengerti perbuatannya itu salah!" kata Hermione, suaranya bergetar. "Semua kucing mengejar tikus, Ron!" "Ada yang aneh dengan kucing itu!" kata Ron, yang berusaha me mbujuk Scabbers yang memberontak panik agar mau masuk ke dalam sakunya. "Dia mendengar aku bilang Scabbers ada di dalam tasku!" "Oh, omong kosong," kata Hermione tidak sabar. "Crookshanks bisa mengendusnya, Ron, kalau tidak mana mungkin dia..." "Kucing itu benci sekali pada Scabbers!" kata Ron, tidak memedulikan kerumunan anak-anak yang mulai terkikik geli. "Scabbers yang lebih dulu ada di sini, dan dia sakit!" Ron meninggalkan ruang rekreasi dan lenyap me-naiki tangga menuju kamar anak laki-laki. Ron masih marah pada Hermione esok harinya. Dia nyaris tak bicara kepada Hermione sepanjang pelajaran Herbologi, meskipun dia, Harry, dan Hermione me-nangani Puffapod- sejenis kacang polong-yang sama. "Bagaimana Scabbers?" Hermione bertanya takut-takut, sementara mereka memetik kacang polong ge-muk merah jambu dari tanaman-tanaman itu, me-ngupasnya, dan memasukkan kacang-kacang polong-nya yang berkilauan ke dalam ember kayu. "Dia sembunyi di kaki tempat tidurku, gemetaran," kata Ron berang, lemparannya ke ember luput dan kacangnya bertebaran di lantai rumah kaca. "Hati-hati, Weasley, hati-hati!" teriak Profesor Sprout, ketika kacang-kacang itu mekar menjadi bunga di depan mata mereka. Berikutnya pelajaran Transfigurasi. Harry, yang sudah bertekad akan bertanya kepada Profesor McGonagall seusai pelajaran, apakah dia boleh pergi ke Hogsmeade bersama teman-temannya, bergabung dengan antrean di depan kelasnya, mencoba memutus-kan bagaimana sebaiknya dia mendesak Profesor McGonagall nanti. Lavender Brown sedang menangis. Parvati meme-luknya dan menjelaskan sesuatu kepada Seamus Finnigan dan Dean Thomas, yang mendengarkan de-ngan amat serius. "Ada apa, Lavender?" tanya Hermione cemas, ke-tika dia, Harry, dan Ron mendekat. "Dia mendapat surat dari rumah pagi ini," Parvati berbisik. "Kelincinya, Binky. Mati dibunuh rubah." "Oh," kata Hermione. "Aku ikut berduka cita, Lav-ender." "Mestinya aku sudah tahu!" kata Lavender tragis. "Kau tahu tanggal berapa hari ini?" "Eh..." "Enam belas Oktober! 'Hal yang sangat kautakut-kan, akan terjadi tanggal enam belas Oktober!' Ingat? Dia betul, dia betul!" Seluruh kelas mengerumuni Lavender sekarang. Seamus menggelengkan kepala dengan serius. Hermione ragu-ragu, kemudian berkata, "Kau-kau takut Binky akan dibunuh rubah?" "Tidak harus rubah," kata Lavender, mendongak menatap Hermione dengan air mata berlinang, "tapi jelas aku takut dia mati, kan?" "Oh," kata Hermione. Dia berhenti lagi. Lalu... "Apakah Binky sudah tua?" "T-tidak!" isak Lavender. "D-dia masih bayi!" Parvati mengeratkan pelukannya di bahu Laven-der. "Tapi, kalau begitu, kenapa kau takut dia mati?" tanya Hermione. Parvati mendelik memandangnya. "Kita pikir secara logis saja deh," kata Hermione, berbalik menghadapi anak-anak. "Maksudku, Binky tidak mati hari ini, kan. Lavender baru menerima kabarnya hari ini...," Lavender melolong keras "...dan dia tak mungkin sudah takut Binky mati, karena kabar ini merupakan kejutan baginya..." "Jangan pedulikan Hermione, Lavender," kata Ron keras, "baginya binatang piaraan orang lain tidak banyak artinya." Profesor McGonagall membuka pintu kelas pada saat itu. Untunglah, karena Ron dan Hermione sudah saling membelalak, siap tempur. Dan ketika memasuki kelas, mereka duduk di kanan-kiri Harry dan tidak saling bicara-sampai pelajaran usai. Harry masih belum memutuskan apa yang akan dikatakannya kepada Profesor McGonagall ketika bel berbunyi pada akhir pelajaran, tetapi ternyata Profesor McGonagall sendiri yang mengangkat topik Hogsmeade. "Tunggu sebentar!" panggilnya, ketika anak-anak sudah akan keluar. "Karena kalian semua di asramaku, kalian harus menyerahkan formulir perizinan untuk mengunjungi Hogsmeade kepadaku sebelum Hallowe'en. Tak ada formulir, tak boleh ke desa itu, jadi jangan lupa!" Neville mengangkat tangan. "Maaf, Profesor, saya-saya rasa formulir saya hi-lang..." "Nenekmu mengirimkan formulirmu langsung kepadaku, Longbottom," kata Profesor McGonagall. "Rupanya dia berpikir lebih aman begitu. Nah, hanya itu, kalian boleh pergi." "Tanya dia sekarang," desis Ron kepada Harry. "Oh, tapi...," Hermione mau melarang, namun... "Ayo, Harry," kata Ron keras kepala. Harry menunggu sampai semua anak lain sudah pergi, kemudian mendatangi meja Profesor McGonagall dengan gugup. "Ya, Potter?" Harry menarik napas dalam-dalam. "Profesor, bibi dan paman saya-eh, lupa menanda-tangani formulir saya," katanya. Profesor McGonagall memandangnya lewat atas kacamata perseginya, tetapi tidak berkata apa-apa. "Jadi-eh, apakah tidak apa-apa-maksud saya, apa-kah boleh saya-saya pergi ke Hogsmeade?" Profesor McGonagall menunduk dan mulai mem-bereskan kertas-kertas di atas mejanya. "Sayang sekali tidak, Potter," katanya. "Kau sudah dengar apa yang kukatakan tadi. Tak ada formulir, tak boleh ke desa. Begitu peraturannya." "Tapi-Profesor, bibi dan paman saya-Anda tahu, mereka Muggle, mereka tidak paham tentang-tentang Hogwarts dan macam-macam hal lain," kata Harry, sementara Ron menyemangatinya dengan mengangguk-angguk keras. "Kalau Anda mengizinkan saya pergi..." "Tapi aku tidak mengizinkan," kata Profesor McGonagall, berdiri dan memasukkan tumpukan kertas-nya dengan rapi ke dalam laci. "Formulir itu jelas menyebutkan bahwa orangtua atau wali-lah yang harus memberi izin." Dia menoleh memandang Harry, dengan ekspresi aneh di wajahnya. Rasa kasihankah itu? "Maaf, Potter, tapi itu keputusan terakhirku. Sebaiknya kau bergegas, kalau tak mau terlambat pelajaran berikut-nya." Tak ada yang bisa dilakukan. Ron mengatai-ngatai Profesor McGonagall, membuat Hermione sangat sebal. Hermione menampakkan ekspresi "lebih-baik-begini" yang membuat Ron semakin marah, dan Harry terpaksa menahan perasaan mendengar semua anak di kelasnya menggebu-gebu membicarakan apa yang mula-mula akan mereka lakukan begitu mereka tiba di Hogsmeade. "Masih ada pesta," kata Ron, berusaha menyenangkan Harry. "Ingat, kan, pesta Hallowe'en, malamnya." "Yeah," kata Harry, muram, "bagus." Pesta Hallowe'en selalu asyik, tetapi akan lebih asyik lagi kalau dia datang ke pesta itu setelah seharian di Hogsmeade bersama semua temannya. Apa pun yang diucapkan teman-temannya tak ada yang membuatnya merasa senang karena akan ditinggalkan sendirian. Dean Thomas, yang lihai menggunakan pena bulu, menawarkan diri untuk memalsu tanda tangan Paman Vernon di formulir, namun karena Harry telah mengata-kan kepada Profesor McGonagall bahwa formulirnya belum ditandatangani, tawaran ini tak ada gunanya. Ron setengah-hati menyarankan Jubah Gaib, tapi Hermione langsung memprotes usul ini, dengan mengingatkan Ron bahwa Dumbledore telah memberitahu mereka bahwa Dementor bisa melihat menembus Jubah Gaib. Percy-lah yang mengucapkan kata-kata yang mungkin paling sedikit bisa membantu. "Mereka membesar-besarkan tentang Hogsmeade. Percaya deh, Harry, Hogsmeade tidak sehebat itu," katanya serius. "Memang sih toko permennya oke juga, tapi Zonko's Joke Shop-yang menjual barang-barang lelucon-sebetulnya berbahaya, dan ya, Shriek-ing Shack-Gubuk Jerit-layak dikunjungi, tapi, Harry, selain itu, kau tidak rugi apa-apa." Pada pagi hari Hallowe'en, Harry bangun bersama yang lain dan turun untuk sarapan dengan perasaan amat tertekan, meskipun dia berusaha bersikap wajar. "Nanti kami bawakan banyak permen dari Honeydukes," kata Hermione, yang kasihan sekali pada Harry. "Yeah, banyak sekali," kata Ron. Dia dan Hermione akhirnya melupakan perseteruan mereka tentang Crookshanks ketika sama-sama menghadapi kekecewa-an Harry. "Jangan mengkhawatirkan aku," kata Harry dengan suara yang diharapkannya tak peduli. "Sampai ketemu di pesta. Selamat bersenang-senang." Harry mengantar mereka sampai ke Aula Depan. Filch, si penjaga sekolah, berjaga di belakang pintu, mencocokkan nama-nama pada daftar panjang, meng-awasi setiap wajah dengan curiga, dan memastikan tak ada yang menyelundupkan anak yang seharusnya tak boleh pergi. "Tinggal di rumah, Potter?" teriak Malfoy, yang berdiri dalam antrean bersama Crabbe dan Goyle. "Takut melewati Dementor?" Harry tidak mengacuhkannya dan sendirian menaiki tangga pualam, menyusuri koridor-koridor sepi, dan kembali ke Menara Gryffindor. "Kata kunci?" kata si Nyonya Gemuk, yang ter-sentak dari tidur-ayamnya. "Fortuna Major," kata Harry tanpa gairah. Lukisan mengayun terbuka dan Harry memanjat lubangnya memasuki ruang rekreasi. Ruang itu di-penuhi anak-anak kelas satu dan dua yang ramai mengobrol dan beberapa anak dari kelas lebih tinggi yang rupanya sudah terlalu sering mengunjungi Hogsmeade, sehingga daya tariknya telah berkurang. "Harry! Harry! Hai, Harry!" Colin Creevey-lah yang memanggilnya, anak kelas dua yang sangat mengagumi Harry dan tak pernah melewatkan kesempatan bicara dengannya. "Kau tidak ke Hogsmeade, Harry? Kenapa tidak? Hei...," Colin memandang teman-temannya dengan bergairah, "kau boleh ke sini dan duduk bersama kami, kalau kau mau, Harry!" "Eh-tidak, terima kasih, Colin," kata Harry, yang sedang tak ingin dikelilingi banyak orang yang me-mandang bekas luka di dahinya dengan penasaran. "Aku-aku harus ke perpustakaan, ada tugas yang harus kuselesaikan." Setelah itu, tak ada pilihan lain baginya kecuali berbalik dan keluar lewat lubang lukisan lagi. "Buat apa membangunkanku kalau begitu?" si Nyonya Gemuk meneriaki Harry yang berjalan menjauh. Harry berjalan lesu ke perpustakaan, tetapi setengah jalan dia berubah pikiran. Dia sedang malas bekerja. Dia berbalik dan langsung berhadapan dengan Filch, yang rupanya baru melepas rombongan terakhir yang akan mengunjungi Hogsmeade. "Sedang apa kau?" gertak Filch curiga. "Tidak sedang apa-apa," kata Harry jujur. "Tidak sedang apa-apa!" sembur Filch, rahangnya bergetar tidak menyenangkan. "Bohong! Mengendap-endap sendirian! Kenapa kau tidak di Hogsmeade membeli Peluru Bau dan Bubuk Sendawa dan Cacing Desing seperti teman-temanmu lainnya yang menye-balkan?" Harry mengangkat bahu. "Kembali ke ruang rekreasi! Kau seharusnya ada di sana!" bentak Filch, dan dia melotot sampai Harry sudah lenyap dari pandangan. Tetapi Harry tidak kembali ke ruang rekreasi, dia menaiki tangga sambil berpikir-pikir akan ke kandang burung hantu untuk menengok Hedwig. Dia sedang berjalan menyusuri koridor ketika terdengar suara dari salah satu ruangan, "Harry?" Harry berbalik untuk melihat siapa yang bicara dan melihat Profesor Lupin, yang melongok dari pintu kantornya. "Sedang apa kau?" tanya Lupin, dengan nada yang sangat berbeda dari Filch. "Di mana Ron dan Hermione?" "Hogsmeade," kata Harry, dengan suara yang di-usahakannya sebiasa mungkin. "Ah," kata Lupin. Dia merenung menatap Harry sesaat. "Bagaimana kalau kau mampir dulu ke kan-torku? Aku baru saja menerima kiriman Grindylow untuk pelajaran kita berikutnya." "Kiriman apa?" tanya Harry. Dia mengikuti Lupin memasuki kantornya. Di sudut berdiri tangki air besar. Tampak makhluk hijau pucat dengan tanduk runcing menempelkan wajah ke kaca tangki sambil mengerut-ngerutkan wajahnya itu dan melemaskan jari-jarinya yang panjang dan kurus. "Setan air," kata Lupin, seraya menatap si Grindylow. "Kita tak akan mendapat banyak kesulitan dengan dia, dibanding dengan Kappa. Triknya adalah melepas cengkeramannya. Kaulihat, kan, jari-jarinya yang luar biasa panjang? Kuat, tapi rapuh, gampang patah." Si Grindylow menyeringai memamerkan giginya yang hijau, lalu membenamkan diri dalam libatan ganggang di sudut. "Mau teh?" Lupin menawari, memandang berke-liling mencari teko tehnya. "Aku baru mau membuat teh." "Baiklah," kata Harry canggung. Lupin mengetuk teko dengan tongkatnya dan kepul-an asap mendadak muncul dari ceratnya. "Duduklah," kata Lupin, seraya membuka tutup kaleng berdebu. "Aku cuma punya teh celup-tapi kurasa kau sudah muak dengan daun-daun teh?" Harry menatapnya. Mata Lupin bersinar. "Bagaimana Anda bisa tahu tentang itu?" tanya Harry. "Profesor McGonagall yang memberitahuku," kata Lupin, mengangsurkan cangkir teh yang sudah gompal kepada Harry. "Kau tidak cemas, kan?" "Tidak," jaw ab Harry. Sesaat dia berpikir akan memberitahu Lupin tentang anjing yang dilihatnya di Magnolia Crescent, tetapi akhirnya membatalkannya. Dia tak ingin Lupin meng-anggapnya pengecut, apalagi karena Lupin sudah ber-anggapan dia tak bisa menghadapi Boggart. Pikiran Harry rupanya tercermin di wajahnya, ka-rena Lupin bertanya, "Ada yang membuatmu cemas, Harry?" "Tidak," Harry berbohong. Dia menghirup tehnya sedikit dan mengawasi si Grindylow yang mengacung-acungkan tinju kepadanya. "Ya," katanya tiba-tiba sambil menaruh cangkir tehnya di atas meja Lupin. "Anda ingat hari kita melawan Boggart?" "Ya," kata Lupin lambat-lambat. "Kenapa Anda tidak memberi saya kesempatan me-lawannya?" Harry mendadak bertanya. Lupin mengangkat alisnya. "Menurutku sudah jelas, kan, Harry" jawabnya, kedengarannya heran. Harry yang mengira Lupin akan membantah tuduh-annya, tercengang. "Kenapa?" tanyanya lagi. "Yah," kata Lupin, mengernyit sedikit, "aku men-dugajika si Boggart berhadapan denganmu, dia akan berubah bentuk menjadi Lord Voldemort." Harry terbelalak. Bukan hanya dia sama sekali tak mengira jawabannya begini, tetapi juga karena Lupin telah menyebut nama Voldemort. Satu-satunya orang yang pernah didengar Harry mengucapkan nama ini (kecuali dia sendiri) adalah Profesor Dumbledore. "Rupanya aku keliru," kata Lupin, masih menger-nyit memandang Harry. "Waktu itu aku beranggapan tidak baik jika Voldemort menjelma di ruang guru. Kubayangkan anak-anak akan panik." "Memang awalnya yang terpikir oleh saya adalah Voldemort," kata Harry jujur. "Tetapi kemudian saya- saya teringat Dementor." "Begitu," kata Lupin, berpikir-pikir. "Wah, wah... aku terkesan." Dia tersenyum kecil melihat keheranan di wajah Harry "Itu menandakan bahwa yang paling kautakuti adalah- ketakutan itu sendiri. Sangat bijak-sana, Harry." Harry tak tahu harus mengatakan apa atas komentar ini, maka dia menghirup tehnya lagi. "Jadi selama ini kau berpikir aku menganggapmu tidak cukup mampu melawan Boggart?" tanya Lupin tajam. "Yah... begitulah," kata Harry. Mendadak dia me-rasa jauh lebih berbahagia. "Profesor Lupin, Anda tahu Dementor itu..." Perkataannya terpotong oleh ketukan di pintu. "Masuk," seru Lupin. Pintu terbuka, dan Snape masuk. Dia membawa piala yang masih mengepulkan asap, dan langsung berhenti ketika melihat Harry mata hitamnya me-nyipit. "Ah, Severus," kata Lupin, tersenyum. "Terima kasih banyak. Bisakah kautinggalkan di meja ini?" Snape meletakkan piala berasap itu di meja, mata-nya menatap Harry dan Lupin bergantian. "Aku baru menunjukkan Grindylow-ku kepada Harry," kata Lupin ramah, sambil menunjuk tangki. "Menarik sekali," kata Snape, tanpa memandang tanki. "Ini harus langsung diminum, Lupin." "Ya, ya, sebentar lagi," kata Lupin. "Aku membuat sepanci penuh," Snape melanjutkan. "Kalau kau perlu ia gi-" "Besok mungkin aku harus minum lagi. Terima kasih banyak, Severus." "Sama-sama," kata Snape, tetapi tatapannya tak disukai Harry. Snape mundur meninggalkan ruangan, tanpa senyum dan waspada. Harry memandang piala itu dengan penasaran. Lupin tersenyum. "Profesor Snape telah berbaik hati membuatkan ramuan untukku," katanya. "Aku tak begitu pandai merebus ramuan dan ramuan yang ini rumit sekali." Dia mengangkat piala dan mengendusnya. "Sayang, gula membuatnya tak berguna," dia menambahkan, meminumnya seteguk dan bergidik. "Kenapa...?" Harry bertanya. Lupin menatapnya dan menjawab pertanyaannya yang tak selesai. "Belakangan ini aku merasa kurang sehat," katanya. "Ramuan ini satu-satunya yang bisa membantu. Aku beruntung sekali bekerja di sini dan berkawan dengan Snape. Tak banyak penyihir yang mampu membuat ramuan ini." Profesor Lupin minum seteguk lagi dan Harry ingin sekali menepis piala itu dari tangannya. "Profesor Snape sangat tertarik pada Ilmu Hitam," celetuk Harry. "Oh ya?" kata Lupin, tampaknya cuma tertarik sedi-kit, sementara dia meminum ramuannya seteguk lagi. "Ada yang bilang...," Harry ragu-ragu, kemudian meneruskan dengan nekat, "ada yang bilang dia akan melakukan apa saja untuk bisa menjadi guru Pertahan-an terhadap Ilmu Hitam." Lupin menghabiskan isi pialanya dan mengerutkan wajahnya. "Menjijikkan," komentarnya. "Nah, Harry aku harus kembali bekerja. Kita ketemu lagi di pesta nanti." 'Baiklah, kata Harry, menaruh cangkir tehnya yang kosong. Piala kosong itu masih berasap. "Nah, ini semuanya," kata Ron. "Kami bawa sebanyak kami bisa." Permen berwarna-warni cemerlang dituang ke pangkuan Harry. Saat itu senja hari, dan Ron serta Hermione baru saja muncul di ruang rekreasi. Wajah mereka kemerahan diterpa angin dingin dan kelihatan-nya bahagia sekali. "Trims," kata Harry, memungut sebungkus kecil permen Merica Setan yang berwarna hitam. "Seperti apa Hogsmeade? Ke mana saja kalian?" Kalau dari ceritanya, rupanya mereka ke mana-mana. Dervish and Banges, toko peralatan sihir, Zonko's joke Shop, dan ke tempat minum Three Broomsticks- Tiga Sapu- untuk minum secangkir Butterbeer panas berbuih, dan masih ke banyak tempat lagi. "Kantor posnya, Harry! Kira-kira dua ratus burung hantu, semua duduk di rak-rak, semuanya memakai kode warna, tergantung maumu, berapa lama suratmu harus tiba di tempat tujuan!" "Honeydukes jual permen baru. Mereka membagi-kan gratis untuk icip-icip, ini masih ada sedikit, lihat..." "Kami mengira kami melihat gergasi, betul, ada segala macam makhluk di Three Broomsticks..." "Sayang kami tak bisa membawakan Butterbeer, betul-betul menghangatkan badan..." "Kau tadi ngapain?" tanya Hermione ingin tahu. "Bikin PR?" "Tidak," jawab Harry. "Lupin mengajakku minum teh di kantornya, dan kemudian Snape datang..." Dia menceritakan segalanya tentang piala berasap. Mulut Ron ternganga. "Lupin meminumnya?" tanyanya terperangah. "Apa dia gila?" Hermione melihat arlojinya. "Lebih baik kita turun sekarang, lima menit lagi pesta mulai..." Mereka bergegas keluar melewati lubang lukisan, masih membicarakan Snape. "Tapi kalau dia-kau tahu-kalau dia mencoba- meracuni Lupin-dia tak akan melakukannya di depan Harry." "Yeah, mungkin," kata Harry, ketika mereka tiba di Aula Depan, lalu menyeberang ke Aula Besar. Aula itu didekorasi dengan ratusan labu kuning berisi lilin-lilin menyala, awan-awan yang terdiri atas kelelawar-kelelawar hidup yang beterbangan dan pita-pita Jingga manyala, yang melayang-layang melintang di langit-langit mendung seperti ular air berwarna cemerlang. Makanannya enak sekali. Bahkan Hermione dan Ron, yang sudah kekenyangan makan permen Honey-dukes, tak cukup hanya sekali mengambil semua jenis makanan yang tersaji. Harry berulang-ulang me-ngerling meja guru. Profesor Lupin tampak ceria dan sehat. Dia sedang bicara menggebu-gebu kepada Profesor Flitwick, guru Jimat dan Guna-guna yang bertubuh mungil. Harry mengalihkan pandangannya ke tempat Snape duduk. Apakah dia cuma mem-bayangkannya atau benarkah mata Snape terarah kepada Lupin lebih sering dari sewajarnya? Pesta diakhiri dengan hiburan yang ditampilkan oleh para hantu Hogwarts. Mereka bermunculan dari dinding dan meja-meja, lalu melakukan formasi mela-yang. Nick si Kepala-Nyaris-Putus, si hantu Gryffindor, mendapat sambutan meriah ketika mem-peragakan pemenggalan kepalanya sendiri yang gagal. Malam itu sangat menyenangkan, sehingga keriang-an Harry bahkan tidak tercemar oleh Malfoy, yang berteriak dari seberang ruangan ketika mereka semua meninggalkan aula, "Para Dementor kirim salam hangat, Potter!" Harry, Ron, dan Hermione bersama anak-anak Gryffindor lain menyusuri jalan yang sama menuju ke Menara Gryffindor. Tetapi ketika mereka tiba di koridor yang di ujungnya ada lukisan si Nyonya Gemuk, tempat itu sudah penuh sesak dengan anak-anak. "Kenapa tak ada yang masuk?" tanya Ron penasar-an. Harry menyipitkan mata, memandang melewati kepala anak-anak. Lukisan itu kelihatannya tertutup. "Minggir, minggir, beri aku jalan," terdengar suara Percy, dan dia menerobos kerumunan dengan lagak penting. "Kenapa macet? Masa tak ada yang ingat kata kuncinya- maaf, aku Ketua Murid..." Kemudian, keheningan melanda, merambat dari anak-anak yang di depan, sehingga seluruh koridor sunyi menegangkan. Mereka mendengar Percy berkata, dengan suara yang mendadak tajam, "Panggil Profesor Dumbledore. Cepat!" Semua kepala menoleh. Mereka yang berdiri di belakang berjingkat. "Ada apa?" tanya Ginny, yang baru saja tiba. Saat berikutnya, Profesor Dumbledore tiba, bergegas menuju lukisan. Anak-anak Gryffindor berimpitan untuk memberinya jalan, dan Harry, Ron, dan Hermione bergerak mendekat untuk melihat ada apa. "Ya ampun...!" seru Hermione, mencengkeram le-ngan Harry. Si Nyonya Gemuk sudah menghilang dari lukisan-nya, yang telah disayat-sayat begitu kejam, sehingga irisan kanvasnya bertebaran di lantai; robekan-robekan besar telah direnggutkan sampai lepas dari piguranya. Dumbledore memandang lukisan yang telah dirusak itu, dan ketika berbalik dengan muram, dia melihat Profesor McGonagall, Lupin, dan Snape bergegas men-datanginya. "Kita harus mencarinya," kata Dumbledore. "Profesor McGonagall, tolong cepat temui Mr Filch dan minta dia memeriksa semua lukisan di kastil untuk mencari si Nyonya Gemuk." "Kalian beruntung kalau bisa menemukannya!" kata suara terkekeh. Peeves si hantu jail melayang naik-turun di atas ke-rumunan dan tampak riang gembira seperti biasanya jika ada musibah atau ketakutan. "Apa maksudmu, Peeves?" tanya Dumbledore tenang, dan cengiran Peeves berkurang sedikit. Dia tak berani mempermainkan Dumbledore. Maka dia ganti berkata dengan suara licin, yang tak lebih baik dari kekehnya. "Malu, Yang Mulia. Dia tak mau dilihat orang. Berantakan sekali. Aku melihatnya berlari menyebe-rangi pemandangan alam di lantai empat, Sir, me-nyelinap-nyelinap di balik pepohonan. Menangis ter-sedu-sedu," kata Peeves riang. "Kasihan," dia me-nambahkan, tapi tak meyakinkan. "Apakah dia bilang siapa yang melakukannya?" tanya Dumbledore pelan. "Oh ya, Profesor-Kepala," kata Peeves, dengan gaya seakan memeluk sebuah bom besar. "Dia marah sekali ketika si Nyonya Gemuk tidak mengizinkannya ma-suk." Peeves jungkir-balik dan nyengir kepada Dumbledore dari antara kakinya sendiri. "Galak benar si Sirius Black itu." 9 Kekalahan Yang Menyedihkan PROFESOR DUMBLEDORE menyuruh semua anak Gryffindor kembali ke Aula Besar. Sepuluh menit kemudian mereka disusul anak-anak Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin, yang semuanya tampak amat kebingungan. "Para guru dan aku perlu mengadakan pemeriksaan menyeluruh di kastil," Profesor Dumbledore menjelas-kan kepada mere ka sementara Profesor McGonagall dan Flitwick menutup semua pintu masuk ke Aula Besar. "Demi keselamatan kalian sendiri, kalian ter-paksa harus menginap di sini. Aku ingin para Prefek menjaga semua pintu masuk ke aula ini dan aku menunjuk Ketua Murid Laki-laki dan Perempuan un-tuk menjadi penanggung jawab. Gangguan dalam bentuk apa pun harus segera dilaporkan kepadaku," dia menambahkan kepada Percy yang kelihatan amat bangga dan berlagak penting. "Kirim kabar lewat salah satu hantu." Saat akan meninggalkan aula, Profesor Dumbledore berhenti sejenak, dan berkata, "Oh, ya, kalian akan memerlukan..." Satu lambaian santai tangannya membuat meja-meja panjang beterbangan merapat ke dinding. Satu lambaian lagi dan di lantai langsung bertebaran ratusan kantong tidur ungu yang empuk. "Selamat tidur," kata Profesor Dumbledore, lalu menutup pintu di belakangnya. Aula Besar langsung berdengung ramai. Anak-anak Gryffindor menceritakan kepada teman-teman dari asrama lainnya apa yang terjadi. "Semua masuk kantong tidur!" teriak Percy. "Ayo, ayo, jangan bicara terus! Lampu padam sepuluh menit lagi!" "Yuk," Ron mengajak Harry dan Hermione. Mereka meraih tiga kantong tidur dan menyeretnya ke sudut. "Apakah menurutmu Black masih di dalam kastil?" Hermione berbisik tegang. "Dumbledore jelas beranggapan begitu," kata Ron. "Untung benar dia memilih malam ini," kata Hermione, ketika mereka masuk ke dalam kantong tidur masih berpakaian lengkap dan bertumpu pada lengan mereka untuk mengobrol. "Pas kita tidak sedang di dalam menara..." "Kurasa dia tidak tahu hari ini tanggal berapa, karena dalam pelarian," kata Ron. "Tidak sadar hari ini Hallowe'en. Kalau sadar, pasti dia langsung me-nerobos ke sini." Hermione bergidik. Di sekeliling mereka, anak-anak melontarkan per-tanyaan yang sama, "Bagaimana dia bisa masuk?" "Mungkin dia tahu bagaimana caranya ber-Apparate," kata seorang anak Ravenclaw sekitar semeter dari mereka. "Muncul begitu saja dari udara kosong, tahu, kan?" "Menyamar, barangkali," kata anak Hufflepuff kelas lima. "Bisa saja dia terbang masuk," Dean Thomas me-nebak. "Astaga, apakah aku satu-satunya anak yang mau membaca Sejarah Hogwarts?" tanya Hermione kesal kepada Harry dan Ron. "Mungkin," kata Ron. "Kenapa?" "Karena kastil ini dilindungi tidak hanya oleh tem-bok, tahu," kata Hermione. "Ada bermacam sihir yang digunakan, untuk mencegah orang masuk secara diam-diam. Kau tak bisa begitu saja ber-Apparate masuk ke sini. Dan aku mau tahu penyamaran apa yang bisa mengelabui para Dementor itu. Mereka menjaga semua pintu masuk ke halaman kastil. Me-reka pasti melihatnya kalau Black terbang masuk. Dan Filch tahu semua lorong rahasia, jadi pasti Dementor menjaganya juga..." "Lampu akan dipadamkan sekarang!" Percy ber-teriak. "Semua masuk kantong tidur dan j angan bicara lagi!" Lilin-lilin serentak padam. Satu-satunya penerangan sekarang berasal dari hantu-hantu keperakan-yang beterbangan sambil bicara serius dengan para Prefek- dan dari langit-langit sihiran yang, seperti halnya langit di luar, bertabur bintang. Semua itu, ditambah bisik-bisik yang masih memenuhi Aula, membuat Harry merasa seakan dia tidur di luar, diembus angin sepoi. Satu jam sekali, seorang guru akan muncul di Aula untuk mengecek apakah semuanya baik-baik saja. Kira-kira pukul tiga pagi, ketika banyak anak akhirnya sudah tertidur, Profesor Dumbledore masuk. Harry melihatnya memandang berkeliling mencari Percy, yang berpatroli di antara kantong-kantong tidur, menegur anak yang masih mengobrol. Percy berada tak jauh dari Harry, Ron, dan Hermione, yang buru-buru berpura-pura tidur ketika langkah-langkah Dumbledore mendekat. "Ada tanda-tanda tentang dia, Profesor?" tanya Percy dalam bisikan. "Tidak. Semua oke di sini?" "Semua terkendali, Sir." "Bagus. Tak perlu memindahkan mereka sekarang. Aku sudah mendapatkan penjaga sementara untuk lubang lukisan Gryffindor. Kalian sudah bisa pindah lagi ke sana besok." "Dan si Nyonya Gemuk, Sir?" "Bersembunyi di peta Argyllshire di lantai dua. Rupanya dia menolak mengizinkan Black masuk tanpa kata kunci, maka Black menyerangnya. Si Nyonya Gemuk masih sangat terpukul, tetapi begitu dia sudah tenang, aku akan meminta Mr Filch memperbaikinya." Harry mendengar pintu berderit terbuka lagi, lalu langkah-langkah kaki. "Kepala Sekolah?" Ternyata Snape yang datang. Harry tak bergerak, memasang telinga tajam-tajam. "Seluruh lantai tiga sudah diperiksa. Dia tidak ada di sana. Dan Filch sudah memeriksa ruang bawah tanah, di sana juga tak ada." "Bagaimana dengan Menara Astronomi? Ruang Profesor Trelawney? Kandang burung hantu?" "Semua sudah diperiksa..." "Baiklah, Severus. Aku sudah memperkirakan Black tidak berlama-lama di sini." "Apakah Anda punya teori bagaimana caranya dia masuk, Profesor?" tanya Snape. Harry mengangkat kepalanya sedikit sekali dari lengannya, agar telinganya yang satu lagi bisa ikut mendengar. "Banyak, Severus, semuanya sama tak mungkin-nya." Harry membuka matanya sedikit dan memandang ke tempat mereka berdiri. Dumbledore memunggungi-nya, tetapi dia bisa melihat wajah Percy yang penuh perhatian, dan profil Snape, yang tampak sangat ma-rah. "Anda ingat pembicaraan kita, Kepala Sekolah, se-belum- ah-awal tahun ajaran baru?" kata Snape, yang nyaris tak menggerakkan bibirnya, seakan tak mau mengikutkan Percy dalarn percakapan ini. "Ingat, Severus," kata Dumbledore, dan ada nada memperingatkan dalam suaranya. "Rasanya-nyaris tak mungkin-kalau Black berhasil memasuki sekolah ini tanpa bantuan orang dalam. Aku mengemukakan kecemasanku ketika Anda mem-pekerjakan..." "Aku tak percaya ada orang di dalam kastil ini yang membantu Black masuk," kata Dumbledore, dan nadanya jelas menyatakan bahwa topik ini ditutup, sehingga Snape tidak bicara lagi. "Aku harus menemui para Dementor," kata Dumbledore. "Aku sudah ber-janji akan memberitahu mereka jika pemeriksaan kita sudah selesai." "Apakah mereka tidak mau membantu, Sir?" tanya Percy. "Oh, mereka mau," kata Dumbledore dingin. "Tetapi tak ada Dementor yang akan melangkahi ambang pintu kastil ini selama aku masih kepala sekolah." Percy tampak agak malu. Dumbledore meninggal-kan Aula, berjalan cepat tanpa suara. Snape masih berdiri sejenak, memandang si kepala sekolah dengan kesal, kemudian dia juga pergi. Harry melirik ke arah Ron dan Hermione. Mata mereka berdua juga terbuka, memantulkan langit-langit yang bertabur bintang. "Mereka bicara apa?" tanya Ron tanpa suara. Selama beberapa hari berikutnya tak ada hal lain yang dibicarakan seluruh sekolah kecuali Sirius Black. Dugaan-dugaan tentang bagaimana dia memasuki kastil semakin lama semakin liar. Hannah Abbot, anak Hufflepuff, melewatkan banyak waktu dalam pelajaran Herbologi dengan memberitahu siapa saja yang mau mendengarkan bahwa Black bisa berubah menjadi semak bunga. Kanvas lukisan si Nyonya Gemuk yang compang-camping sudah diturunkan dari dinding dan diganti-kan oleh lukisan Sir Cadogan dan kuda poninya yang gemuk abu-abu. Tak ada yang senang dengan perubahan ini. Sir Cadogan melewatkan separo waktu-nya menantang duel anak-anak, dan separonya lagi memikirkan kata-kata kunci yang konyol dan rumit. Dia mengganti kata kunci paling sedikit dua kali sehari. "Dia gila," kata Seamus Finnigan jengkel kepada Percy. "Tak bisakah diganti orang lain saja?" "Tak ada lukisan lain yang mau," kata Percy. "Se-mua ketakutan oleh kejadian yang dialami si Nyonya Gemuk. Sir Cadogan satu-satunya yang cukup berani untuk menjadi sukarelawan." Tetapi bagi Harry, Sir Cadogan ini cuma masalah kecil. Sekarang dia diawasi dengan ketat. Guru-guru mencari alasan untuk menemaninya berjalan di koridor dan Percy Weasley (yang menurut dugaan Harry melaksanakan perintah ibunya) membuntutinya ke mana pun dia pergi, seperti anjing penjaga besar yang angkuh. Sebagai puncaknya, Profesor McGonagall memanggil Harry ke dalam kantornya, dengan wajah begitu muram sehingga Harry mengira pasti ada yang baru meninggal. "Tak ada gunanya menyembunyikannya darimu lebih lama lagi, Potter," katanya sangat serius. "Aku tahu ini akan mengejutkanmu, tapi Sirius Black..." "Saya tahu dia mencari saya," kata Harry letih. "Saya mendengar ayah Ron memberitahu ibunya. Mr Weasley bekerja di Kementerian Sihir." Profesor McGonagall terperanjat sekali. Dia meman-dang Harry selama beberapa saat, kemudian berkata, "Ah! Nah, kalau begitu, Potter, kau akan mengerti kenapa menurutku berbahaya jika kau berlatih Quidditch di malam hari. Di lapangan hanya bersama anggota timmu, sangat riskan, Potter..." "Hari Sabtu sudah pertandingan pertama kita!" kata Harry berang. "Saya harus berlatih, Profesor." Profesor McGonagall menimbang-nimbang dengan serius. Harry tahu dia sangat berkepentingan dengan prospek kemenangan tim Gryffindor. Bahkan dia sendirilah dulu yang menyarankan Harry menjadi Seeker. Harry menunggu, menahan napas. "Hmmm..." Profesor McGonagall berdiri dan me-mandang ke luar jendela ke lapangan Quidditch, yang tampak samar-samar di balik tirai hujan. "Yah... aku ingin sekali kita memenangkan piala akhirnya... tetapi bagaimanapun juga, Potter... aku akan lebih tenang kalau ada guru yang hadir. Aku akan meminta Madam Hooch mengawasi latihan kalian." Semakin dekat pertandingan pertama Quidditch, cuaca semakin buruk. Tanpa gentar, tim Gryffindor berlatih lebih keras dari sebelumnya di bawah pengawasan Madam Hooch. Kemudian, pada latihan terakhir me-reka sebelum pertandingan hari Sabtu, Oliver Wood menyampaikan berita tidak menyenangkan kepada timnya. "Kita tidak akan bermain melawan Slytherin!" kata-nya, tampak sangat berang. "Flint baru saja menemui-ku. Sebagai gantinya, kita melawan Hufflepuff." "Kenapa?" seru seluruh anggota timnya bersamaan. "Alasan Flint adalah karena lengan Seeker mereka belum sembuh," kata Wood, mengertakkan gigi de-ngan marah. "Tetapi jelas sekali kenapa mereka mun-dur. Mereka tak mau bermain dalam cuaca buruk begini. Mengira kesempatan mereka akan berkurang..." Sepanjang hari itu angin bertiup amat kencang dan turun hujan lebat, dan saat Wood berbicara, mereka mendengar gelegar guruh di kejauhan. "Tangan Malfoy tidak apa-apa!" kata Harry berang. "Dia cuma pura-pura!" "Aku tahu, tapi kita tidak dapat membuktikannya," kata Wood getir. "Dan selama ini kita melatih langkah-langkah itu untuk menghadapi Slytherin. Sekarang ternyata kita melawan Hufflepuff, dan gaya mereka sangat berbeda. Mereka punya kapten baru merangkap Seeker, Cedric Diggory..." Angelina, Alicia, dan Katie tiba-tiba terkikik. "Apa?" tanya Wood, mengernyit melihat mereka malah senang. "Cowok jangkung yang cakep itu, kan?" kata Angelina. "Gagah dan pendiam," kata Katie, dan mereka mulai terkikik lagi. "Dia pendiam karena merangkai dua kata saja tak bisa," kata Fred habis sabar. "Heran, kenapa kau cemas, Oliver. Hufflepuff kan lawan yang enteng. Terakhir kali kita berhadapan dengan mereka, baru lima menit main, Harry sudah berhasil menangkap Snitch. Ingat?" "Waktu itu kita main dalam kondisi yang lain sama sekali!" teriak Wood, matanya agak mendelik. "Diggory membuat tim mereka kuat! Dia Seeker yang hebat! Aku sudah khawatir kalian akan menanggapi dengan enteng begini! Kita tak boleh lengah! Kita harus berkonsentrasi ke tujuan kita! Slytherin mencoba menjegal kita! Kita harus menang!" "Oliver, tenang!" kata Fred, agak cemas. "Kita tidak memandang enteng Hufflepuff. Sama sekali tidak." Hari sebelum pertandingan, angin menderu-deru dan hujan turun semakin lebat. Koridor dan ruang-ruang kelas gelap sekali, sehingga obor-obor dan lentera-lentera tambahan dinyalakan. Tim Slytherin kelihatan sangat puas, apalagi Malfoy. "Ah, kalau saja tanganku sudah lebih baik!" dia menghela napas, sementara badai menerjang jendela. Harry tak punya tempat lagi dalam kepalanya un-tuk mencemaskan hal lain kecuali pertandingan hari berikutnya. Oliver Wood bolak-balik bergegas men-datanginya pada waktu pergantian pelajaran dan memberinya saran-saran. Ketiga kalinya ini terjadi, Wood bicara sangat lama, sehingga mendadak Harry sadar dia sudah terlambat sepuluh menit untuk pela-jaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Dia langsung berlari ke kelasnya, dengan Oliver berteriak-teriak di belakangnya, "Diggory bisa berkelit gesit sekali, Harry, jadi cobalah memutarinya..." Harry berhenti di depan kelas Pertahanan terhadap Ilmu Hitam, membuka pintunya, dan bergegas masuk. "Maaf, saya terlambat, Profesor Lupin, saya..." Tetapi ternyata bukan Profesor Lupin yang men-dongak memandangnya dari balik meja guru, melain-kan Snape. "Pelajaran mulai sepuluh menit yang lalu, Potter, jadi kurasa angka Gryffindor dikurangi sepuluh. Du-duk." Tetapi Harry tidak bergerak. "Di mana Profesor Lupin?" tanyanya. "Dia bilang dia sakit, jadi tak bisa mengajar hari ini," kata Snape dengan senyum sangar. "Bukankah kau sudah kusuruh duduk?" Tetapi Harry tetap berdiri di tempatnya. "Sakit apa dia?" Mata hitam Snape berkilat. "Tidak membahayakan hidup," kata Snape, seperti-nya menyesal penyakit Lupin tidak parah. "Potong lima angka lagi dari Gryffindor, dan kalau aku harus menyuruhmu duduk sekali lagi, lima puluh angka." Harry berjalan pelan ke kursinya dan duduk. Snape memandang berkeliling kelas. "Seperti yang tadi kukatakan sebelum disela Potter, Profesor Lupin tidak meninggalkan catatan tentang topik apa saja yang sudah kalian pelajari sejauh ini..." "Maaf, Sir, kami sudah mempelajari Boggart, Red Cap, Kappa, dan Grindylow," kata Hermione lancar, "dan kami baru akan..." "Diam," kata Snape dingin. "Aku tidak minta infor-masi. Aku cuma mengomentari cara Profesor Lupin yang tidak pandai mengatur." "Dia guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam terbaik yang pernah kami punyai," kata Dean Thomas berani, dan seluruh kelas bergumam menyetujui. Snape ke-lihatan lebih galak lagi. "Kalian ini gampang puas. Lupin memberi beban kalian terlalu ringan-Red Cap dan Grindylow ha-rusnya sudah dikuasai anak-anak kelas satu. Hari ini kita akan membahas..." Harry mengawasinya membuka-buka bukunya, sam-pai ke bab terakhir, yang dia tahu pasti belum dipelajari. "...manusia serigala," kata Snape. "Tapi, Sir," kata Hermione yang rupanya tak bisa menahan diri, "kami seharusnya belum membahas manusia serigala, kami baru akan mulai mempelajari Hinkypunk..." "Miss Granger," kata Snape, dengan suara tenang membahayakan. "Kukira aku yang mengajar kelas ini, bukan kau. Dan aku menyuruh kalian semua membuka halaman tiga ratus sembilan puluh empat." Dia memandang berkeliling lagi. "Semuanya! Sekarang!" Dengan saling lirik jengkel dan menggerutu sebal, anak-anak membuka buku mereka. "Siapa di antara kalian yang tahu bagaimana mem-bedakan manusia serigala dari serigala asli?" tanya Snape. Semua duduk bergeming, kecuali Hermione, yang tangannya, seperti yang sering terjadi, mengacung ke atas. "Ada yang tahu?" kata Snape, tidak mengacuhkan Hermione. Senyum sangarnya terpampang lagi. "Apa Profesor Lupin belum mengajari kalian perbedaan dasar antara..." "Kami sudah memberitahu Anda," kata Parvati mendadak, "kami belum sampai ke manusia serigala, kami masih..." "Diam!" bentak Snape. "Wah, wah, wah, tak kukira aku akan bertemu anak-anak kelas tiga yang bahkan tak bisa mengenali manusia serigala kalau mereka melihatnya. Aku akan memberitahu Profesor Dumbledore, kalian semua ini sangat ketinggalan..." "Maaf, Sir," kata Hermione, yang tangannya masih mengacung, "manusia serigala berbeda dari serigala asli dalam beberapa hal kecil. Moncong manusia serigala..." "Ini kedua kalinya kau bicara saat bukan giliranmu, Miss Granger," kata Snape dingin. "Potong lima angka lagi dari Gryffindor karena kau sok tahu dan menye-balkan." Wajah Hermione merah padam. Dia menurunkan tangannya dan memandang lantai dengan air mata berlinang. Semua anak memandang Snape dengan marah. Jelas seluruh kelas sangat membenci Snape, karena mereka semua pernah mengatai Hermione sok tahu paling tidak satu kali, dan Ron, yang me-nyebut Hermione sok tahu paling tidak dua kali seminggu, berkata keras, "Anda mengajukan pertanya-an dan dia tahu jawabnya! Buat apa bertanya kalau Anda tak mau dijawab?" Seluruh kelas langsung tahu, Ron sudah kelewatan. Snape perlahan mendekatinya, dan seluruh kelas menahan napas. "Detensi, Weasley," kata Snape licin, wajahnya sa-ngat dekat dengan wajah Ron. "Dan kalau aku sekali lagi mendengarmu mengkritik cara mengajarku, kau akan sangat menyesal." Tak seorang pun bersuara sepanjang sisa pelajaran. Mereka cuma duduk dan membuat catatan tentang manusia serigala dari buku pelajaran, sementara Snape berjalan hilir-mudik di antara kursi-kursi, memeriksa pekerjaan yang telah mereka lakukan bersama Profesor Lupin. "Penjelasannya sangat parah... itu keliru, Kappa lebih umum ditemukan di Mongolia... Profesor Lupin memberi nilai delapan untuk ini? Kalau aku cuma akan memberi nilai tiga..." Ketika akhirnya bel berdering, Snape menahan me-reka. "Kalian harus menulis karangan untuk diserahkan kepadaku, tentang cara-cara mengenali dan membunuh manusia serigala. Minimal dua gulungan perkamen dan diserahkan paling lambat Senin pagi. Sudah waktu-nya ada orang yang mengawasi kelas ini. Weasley kau tinggal, kita harus mengatur detensimu." Harry dan Hermione meninggalkan kelas bersama teman-teman lainnya. Anak-anak menunggu sampai di luar jangkauan pendengaran, lalu menggerutu jengkel. "Snape belum pernah bersikap begini terhadap guru Pertahanan terhadap Ilmu Hitam yang lain, meskipun dia memang menginginkan jabatan ini," Harry berkata kepada Hermione. "Kenapa dia benci betul pada Lu-pin? Apa menurutmu ini gara-gara Boggart?" "Aku tak tahu," kata Hermione termenung-menung. "Tetapi aku sungguh berharap Profesor Lupin cepat sembuh..." Ron bergabung dengan mereka lima menit kemudi-an, dalam keadaan murka. "Kalian tahu tidak aku disuruh apa oleh si..." (dia menyebut Snape sesuatu yang membuat Hermione berkata, "Ron!") "...itu? Aku harus menggosok pispot di rumah sakit. Tanpa sihir!" Ron bernapas berat, tangannya terkepal. "Kenapa Black tidak bersembunyi di kantor Snape saja, eh? Dia bisa menghabisinya untuk kita!" Harry terbangun pagi sekali esok harinya. Hari masih gelap. Sesaat dia mengira deru angin telah mem-bangunkannya, kemudian dirasakannya angin dingin di tengkuknya dan dia duduk tegak-Peeves si hantu jail melayang-layang di sebelahnya, meniup-niup telinganya keras-keras. "Ngapain sih kau?" tanya Harry marah. Peeves menggembungkan pipinya, meniup keras-keras, dan meluncur mundur keluar kamar, terkekeh-kekeh. Harry geragapan mengambil bekernya. Baru se-tengah lima. Seraya mengutuk Peeves, Harry berguling dan berusaha tidur lagi. Tetapi sesudah bangun, susah sekali mengabaikan gelegar guruh, empasan badai ke tembok kastil, dan derak pepohonan di kejauhan di Hutan Terlarang. Beberapa jam lagi dia akan be rada di lapangan Quidditch, berjuang melawan badai itu. Akhirnya Harry menyerah. Dia bangun, berpakaian, mengambil Nimbus Dua Ribu-nya, dan berjalan diam-diam meninggalkan kamar. Ketika Harry membuka pintu, ada yang melewati kakinya. Dia membungkuk dan berhasil menangkap ujung ekor Crookshanks yang berbulu lebat, dan me-nariknya keluar. "Tahu tidak, kurasa pendapat Ron tentangmu be-nar," kata Harry kepada Crookshanks dengan curiga. "Ada banyak tikus di sekitar tempat ini, sana buru mereka. Ayo," dia menambahkan, mendorong Crookshanks dengan kakinya supaya kucing itu me-nuruni tangga spiral. "Jangan ganggu Scabbers." Badai terdengar lebih keras dari ruang rekreasi. Tapi Harry tahu pertandingan tak akan dibatalkan. Pertandingan Quidditch tidak dibatalkan hanya karena soal kecil semacam hujan badai disertai guruh dan petir. Meskipun demikian, Harry sudah mulai merasa sangat khawatir. Wood telah menunjukkan anak yang bernama Cedric Diggory di koridor. Diggory anak kelas lima dan tubuhnya jauh lebih besar daripada Harry. Seeker biasanya ringan dan gesit, tetapi berat badan Diggory akan menguntungkan dalam cuaca seperti ini, karena dengan demikian sedikit kemung-kinannya dia akan diterbangkan ke luar jalur. Harry melewatkan waktu menunggu datangnya subuh di depan perapian, sekali-sekali bangkit untuk menghalangi Crookshanks menyelinap naik ke kamar anak laki-laki lagi. Akhirnya Harry memperhitungkan, sudah waktunya sarapan, maka dia keluar lewat lubang lukisan sendirian. "Bangkit dan berperanglah, anjing kampung kudis-an!" teriak Sir Cadogan. "Oh, tutup mulut," Harry menguap. Kantukny a sedikit berkurang setelah dia makan semangkuk besar bubur, dan pada saat dia makan roti panggang, sisa anggota tim lainnya telah ber-munculan. "Pertandingan hari ini akan berat," kata Wood, yang tidak makan apa-apa. "Berhentilah cemas, Oliver," kata Alicia menghibur, "kami tak keberatan sedikit kehujanan." Tetapi jelas tidak hanya sedikit kehujanan. Begitu populernya Quidditch, sehingga seluruh sekolah mun-cul untuk menontonnya, seperti biasa. Tetapi mereka berlarian menyeberang padang rumput menuju ke lapangan Quidditch, kepala-kepala tertunduk menahan terpaan angin kencang, payung-payung terlepas di-terbangkan angin dari tangan mereka. Tepat sebelum masuk ke kamar ganti, Harry melihat Malfoy, Crabbe, dan Goyle yang sedang berjalan menuju lapangan Quidditch, tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuknya dari bawah payung raksasa. Tim Gryffindor memakai jubah merah tua seragam mereka dan menunggu pidato sebelum-pertandingan Wood yang biasa, tetapi ternyata tak ada. Wood mencoba bicara beberapa kali, menghasilkan bunyi seperti berdeguk, kemudian menggeleng putus asa dan memberi isyarat agar anggota timnya mengikuti-nya. Angin begitu kencang sehingga mereka terhuyung miring saat berjalan ke lapangan. Jika penonton ber-sorak, mereka tak bisa mendengarnya karena tertelan gelegar guruh. Hujan membasahi kacamata Harry. Bagaimana dia bisa melihat Snitch dalam keadaan begini? Tim Hufflepuff menyongsong dari sisi yang ber-lawanan, memakai jubah kuning-kenari. Kedua kapten saling mendekat dan berjabat tangan. Diggory ter-senyum kepada Wood, tetapi rahang Wood seakan terkunci, dan dia cuma mengangguk. Harry melihat Madam Hooch mengucapkan perintahnya, "Naik ke sapu kalian." Harry menarik kaki kanannya dari lumpur dengan bunyi berkecipak karena becek dan mengayunkannya ke atas Ni mbus Dua Ribu-nya. Madam Hooch mendekatkan peluit ke mulutnya dan meniupnya. Bunyinya nyaring seakan dari kejauhan- pertandingan dimulai. Harry meluncur naik dengan cepat, tetapi Nimbus-nya sedikit terombang-ambing tertiup angin. Sebisa mungkin dia memeganginya agar mantap, lalu me-nyipitkan mata, mencari-cari Snitch. Dalam waktu lima menit Harry sudah basah kuyup kedinginan, nyaris tak bisa melihat teman-teman se-timnya, apalagi Snitch yang kecil mungil. Dia terbang bolak-balik di atas lapangan, melewati sosok-sosok samar merah dan kuning, sama sekali tak tahu apa yang sedang terjadi. Dia tak bisa mendengar komentar karena kalah oleh deru angin. Para penonton ter-sembunyi di bawah samudra mantel dan payung-payung. Dua kali Harry nyaris dijungkirkan oleh Bludger. Pandangannya sangat dikaburkan oleh hujan yang menimpa kacamatanya, sehingga dia tidak melihat Bludger itu datang. Dia juga tak bisa memperkirakan waktu. Makin lama makin susah menjaga sapunya agar tetap lurus. Langit semakin gelap, seakan malam telah memutus-kan untuk tiba lebih awal. Dua kali Harry nyaris menabrak pemain lain, tanpa mengetahui apakah dia teman atau lawan. Semuanya sekarang sudah basah kuyup, dan hujan luar biasa lebat, dia tak bisa me-ngenali teman-temannya... Ketika petir menyambar untuk pertama kalinya, terdengar peluit Madam Hooch. Harry cuma bisa melihat sosok Wood dalam hujan lebat, memberi isyarat agar dia mendarat. Seluruh anggota tim men-darat berkecipak di lumpur. "Aku minta time out!" Wood berseru kepada timnya. "Ayo, ke bawah sini..." Mereka berkerumun rapat di tepi lapangan di ba-wah payung besar. Harry mencopot kacamatanya dan cepat-cepat menggosokkannya ke jubahnya. "Berapa skornya?" "Kita unggul lima puluh angka," kata Wood, "tapi kalau kita tidak segera mendapatkan Snitch, kita akan main sampai malam." "Aku tak punya kesempatan karena pakai ini," kata Harry putus asa seraya melambaikan kacamatanya. Tepat saat itu Hermione muncul di balik bahunya. Dia berkerudung mantelnya dan, herannya, wajahnya berseri-seri. "Aku punya ide, Harry! Berikan padaku kacamatamu, cepat!" Harry menyerahkan kacamatanya kepada Hermione, dan seluruh tim memandang takjub. Hermione me-nyentuh kacamata itu dengan tongkatnya dan berkata, "Impervius!" "Nah!" katanya, menyerahkan kembali kacamata itu kepada Harry. "Kacamatamu sekarang akan me-nolak air!" Wood sangat berterima kasih, sampai tampaknya mau mencium Hermione. "Brilian!" katanya serak kepada Hermione yang berbalik dan menghilang di antara para penonton. "Oke, tim, ayo kita berjuang!" Mantra Hermione berhasil. Harry masih kaku ke-dinginan, tak pernah sebasah kuyup itu seumur hidupnya, tetapi dia bisa melihat. Penuh tekad baru, dia mendesak sapunya menerobos cuaca buruk, me-mandang ke segala arah mencari-cari Snitch, meng-hindari Bludger, melesat membungkuk di bawah Diggory yang terbang ke arah berlawanan... Terdengar gelegar guruh lagi, diikuti oleh sambaran petir. Keadaan makin lama makin berbahaya. Harry perlu segera mendapatkan Snitch... Dia berbal ik, bermaksud terbang ke tengah lapang-an, tetapi saat itu sambaran petir menerangi tribun dan Harry melihat sesuatu yang langsung mengacau-kan pikirannya: siluet anjing besar berbulu, yang jelas terpeta berlatarbelakangkan langit, duduk tak bergerak di deretan tempat duduk paling atas yang kosong. Tangan Harry yang kebas tergelincir pada gagang sapu dan Nimbus-nya merosot lebih dari satu meter. Menggeleng mengibaskan poni yang basah dari mata-nya, dia menyipitkan mata memandang tribun lagi. Anjing itu sudah lenyap. "Harry!" terdengar teriakan merana Wood dari gawang Gryffindor. "Harry, di belakangmu!" Harry memandang berkeliling dengan liar. Cedric Diggory sedang meluncur ke arahnya dan setitik emas mungil berkilau di udara berguyur hujan di antara mereka... Tersentak panik, Harry membungkuk sampai datar di atas sapunya dan melesat menuju Snitch itu. "Ayo!" dia berseru kepada Nimbus-nya, sementara hujan melecut wajahnya. "Lebih cepat lagi!" Tetapi aneh sekali. Kesunyian mengerikan menyebar di seluruh stadion. Angin, walau masih sekencang sebelumnya, lupa menderu. Seakan ada yang memutar tombol mematikan suara, seakan Harry mendadak tuli. Apa yang terjadi? Dan kemudian gelombang rasa dingin mengerikan yang sudah dikenalnya menyapunya, merasukinya, tepat saat dia menyadari ada yang bergerak di lapangan di bawah... Sebelum sempat berpikir, Harry mengalihkan pandangan dari Snitch dan menunduk ke bawah. Paling sedikit seratus Dementor berdiri di bawah, wajah mereka yang tersembunyi terarah kepadanya. Rasanya seakan air beku naik memenuhi dadanya, mengiris organ-organ dalam tubuhnya. Dan kemudian Harry mendengarnya lagi... ada yang berteriak, men-jerit di dalam kepalanya... seorang perempuan... "Jangan Har ry, jangan Harry, tolong jangan Harry!" "Minggir kau, perempuan bodoh... minggir..." "Jangan Harry, tolong jangan, ambil saja aku, bunuh aku sebagai gantinya..." Kabut putih berpusar yang membekukan memenuhi otak Harry... Sedang apa dia? Kenapa dia terbang? Dia harus membantu wanita itu... wanita itu akan mati... dia akan dibunuh... Harry terjatuh, menembus kabut sedingin es. "Jangan Harry! Tolong... kasihani dia... kasihani dia..." Terdengar tawa nyaring, perempuan itu menjerit, dan Harry tak ingat apa-apa lagi. "Untung tanahnya lembek." "Kukira dia mati." "Tapi bahkan kacamatanya pun tidak pecah." Harry bisa mendengar suara-suara itu berbisik-bisik, tetapi dia tak bisa memahaminya. Dia tak tahu di mana dia, atau bagaimana dia bisa sampai di sini, atau apa yang dilakukannya sebelum tiba di sini. Yang dia tahu hanyalah sekujur tubuhnya sakit semua, seakan dia habis dihajar. "Itu hal paling mengerikan yang pernah kulihat sepanjang hidupku." Paling mengerikan... paling mengerikan... sosok hitam berkerudung... dingin... jeritan... Mata Harry membuka. Dia terbaring di rumah sakit di sayap kastil. Tim Cjuidditch Gryffindor, berlumur lumpur dari kepala sampai ke kaki, mengerumuni tempat tidurnya. Ron dan Hermione juga ada, basah kuyup seakan baru naik dari dalam kolam renang. "Harry!" kata Fred, yang pucat pasi di balik lum-purnya. "Bagaimana perasaanmu?" Rasanya memori Harry seperti kaset yang dicepat-kan. Petir... Grim... Snitch... dan para Dementor... "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil duduk begitu mendadak sampai mereka semua terperangah. "Kau terjatuh," kata Fred. "Pasti ada-berapa ya- lima belas meter?" "Kami mengira kau meninggal," kata Alicia, geme-tar. Hermione mengeluarkan suara seperti mendecit. Matanya merah sekali. "Tapi pertandingannya," kata Harry. "Apa yang terjadi? Apa akan diulang?" Tak ada yang menjawab. Harry mendadak me-nyadari hal mengerikan yang pastilah sudah terjadi. "Kita tidak-kalah?" "Diggory mendapatkan Snitch-nya," kata George. "Tepat sesudah kaujatuh. Dia tidak menyadari apa yang terjadi. Ketika dia menoleh dan melihatmu ter-geletak di tanah, dia berusaha membatalkannya. Dia juga menginginkan pertandingan ulang. Tetapi mereka menang dengan fair... bahkan Wood pun mengakui-nya." "Di mana Wood?" tanya Harry yang tiba-tiba sadar Wood tak ada. "Masih mandi," kata Fred. "Kami rasa dia mencoba menenggelamkan diri." Harry membenamkan wajah di lututnya, tangannya mencengkeram rambutnya. Fred memegang bahunya dan mengguncangnya kasar. "Sudahlah, Harry, tak apa-apa. Kau kan selalu ber-hasil menangkap Snitch sebelumnya." "Pasti ada satu saat kau tidak berhasil menangkap-nya," kata George. "Pertandingan belum usai," kata Fred. "Kita kalah seratus angka, betul? Jadi kalau Hufflepuff kalah dari Ravenclaw dan kita mengalahkan Ravenclaw dan Slytherin..." "Hufflepuff harus kalah paling tidak dua ratus angka," kata George. "Tetapi kalau mereka mengalahkan Ravenclaw..." "Tak mungk in, Ravenclaw terlalu kuat. Tapi kalau Slytherin kalah dari Hufflepuff..." "Semua tergantung dari angkanya- dengan batas seratus entah untuk siapa pun..." Harry berbaring diam, tidak berkata sepatah kata pun. Mereka telah kalah... untuk pertama kalinya, pertandingan Quidditch yang dimainkannya kalah. Kira-kira sepuluh menit kemudian, Madam Pomfrey datang untuk menyuruh mereka meninggalkan Harry agar bisa beristirahat. "Kami akan datang menengokmu lagi nanti," kata Fred. "Jangan menghukum diri sendiri, Harry, kau masih Seeker terbaik yang pernah kami punyai." Teman-teman setimnya beriringan keluar, meninggal-kan lumpur. Madam Pomfrey menutup pintu di bela-kang mereka, dengan pandangan mencela. Ron dan Hermione mendekat ke tempat tidur Harry. "Dumbledore marah sekali," kata Hermione nyaring. "Belum pernah aku melihatnya semurka itu. Dia berlari ke lapangan saat kau terjatuh, melambaikan tongkatnya, dan kau seperti melambat sebelum meng-hantam tanah. Kemudian dia memutar tongkatnya ke arah para Dementor. Meluncurkan sinar perak kepada mereka. Mereka langsung meninggalkan stadion... Dumbledore gusar sekali mereka datang ke lapangan, kami mendengarnya..." "Kemudian secara sihir dia mengangkatmu ke atas tandu," kata Ron. "Dan berjalan balik ke sekolah dengan kau melayang di atas tandu. Semua mengira kau sudah..." Suaranya menghilang, tapi Harry nyaris tak menya-darinya. Dia sedang memikirkan pengaruh Dementor terhadap dirinya... tentang suara yang menjerit. Dia mendongak dan melihat Ron dan Hermione meman-dangnya dengan amat cemas, sehi ngga dia cepat-cepat mencari sesuatu yang biasa untuk diucapkan. "Apa ada yang menyimpan Nimbus-ku?" Ron dan Hermione langsung saling pandang. "Eh..." "Kenapa?" tanya Harry, memandang mereka bergantian. "Yah... waktu kaujatuh, sapumu diterbangkan angin," kata Hermione ragu-ragu. "Dan?" "Dan sapu itu menabrak-menabrak-oh, Harry- dia menabrak Dedalu Perkasa." Hati Harry mencelos. Dedalu Perkasa adalah pohon sangat galak yang berdiri sendirian di tengah halaman. "Dan?" tanyanya, takut mendengar jawabannya. "Kau tahu bagaimana si Dedalu Perkasa," kata Ron. "Pohon itu-tidak suka ditabrak." "Profesor Flitwick mengambilnya sebelum kau sadar," kata Hermione dengan suara sangat pelan. Perlahan Hermione meraih tas di kakinya, men-jungkirnya dan mengeluarkan kira-kira selusin serpih-an kayu dan ranting ke atas tempat tidur. Hanya itulah yang tersisa dari sapu Harry yang setia, yang akhirnya terkalahkan. 10 Peta Perampok MADAM POMFREY bersikeras Harry tinggal di rumah sakit selama akhir minggu itu. Harry tidak membantah maupun mengeluh, tetapi dia tidak meng-izinkan Madam Pomfrey membuang serpihan sisa Nimbus Dua Ribu-nya. Harry tahu sikapnya itu bo-doh, tahu bahwa Nimbus-nya tak mungkin direparasi, tetapi dia tak tega. Dia merasa seakan kehilangan seorang teman baiknya. Pengunjung tak henti-hentinya datang, semua ingin menghiburnya. Hagrid mengiriminya seikat bunga earwiggy yang berben tuk seperti kol kuning dan Ginny Weasley, dengan wajah merah padam, datang mem-bawa kartu ucapan semoga lekas sembuh buatannya sendiri. Kartu itu bernyanyi nyaring, kalau tidak di-tindih Harry dengan mangkuk buah-buahannya. Tim Gryffindor menengoknya lagi pada hari Minggu pagi, kali ini disertai Wood, yang memberitahu Harry de-ngan suara hampa tak bersemangat, bahwa dia sama sekali tidak menyalahkannya. Ron dan Hermione ha-nya meninggalkan sisi tempat tidur Harry di malam hari. Tetapi apa pun yang dikatakan atau dilakukan teman-temannya tak bisa membuat Harry merasa lebih baik, karena mereka hanya tahu separo dari apa yang menyusahkannya. Dia belum memberitahu siapa pun tentang Grim, bahkan Hermione dan Ron pun tidak, karena dia tahu Ron akan panik dan Hermione akan mencemooh. Kenyataannya Grim itu telah menampakkan diri dua kali, dan kemunculannya dua-duanya diikuti oleh kecelakaan-nyaris-fatal. Yang pertama, dia nyaris ter-gilas oleh Bus Ksatria. Yang kedua, dia terjatuh dari sapunya dari ketinggian lima belas meter. Apakah si Grim akan terus menghantuinya sampai dia betul-betul mati? Apakah dia akan menghabiskan sisa hidupnya menoleh-noleh terus, melihat kalau-kalau ada binatang itu? Lalu masih ada lagi Dementor. Harry merasa mual dan dipermalukan setiap kali teringat pada Dementor. Semua orang mengatakan Dementor mengerikan, te-tapi tak ada yang pingsan setiap kali mereka berada di dekatnya... tak ada yang mendengar gaung suara orangtua mereka yang akan meninggal di dalam ke-pala mereka. Karena sekarang Harry tahu suara siapa yang ber-teriak itu. Dia sudah mendengar kata-katanya, men-dengarnya lagi berkali-kali di rumah sakit di malam hari, saat dia berbaring terjaga, memandang cahaya bulan di langit-langit. Ketika para Dementor men-dekatinya, dia mendengar saat-saat terakhir ibunya, usahanya untuk melindunginya dari Lord Voldemort, dan tawa Voldemort sebelum dia membunuh ibunya... Harry tertidur. Tidurnya gelisah, disela mimpi-mimpi penuh tangan basah membusuk dan ratapan penuh ketakutan. Harry tersentak terbangun dan kembali memikirkan suara ibunya. Sungguh melegakan kembali pada kebisingan dan hiruk-pikuk sekolah pada hari Senin-nya. Harry mau tak mau memikirkan hal-hal lain, walaupun dia ter-paksa menerima ejekan Draco Malfoy. Malfoy senang sekali Gryffindor kalah. Dia akhirnya membuka per-bannya dan merayakan kesembuhannya dengan me-nirukan cara Harry terjatuh dari sapunya dengan amat bersemangat. Malfoy melewatkan banyak waktu dalam pelajaran Ramuan berikutnya dengan berpura-pura jadi Dementor dari seberang ruangan. Ron akhir-nya tak tahan lagi. Dia melemparkan hati buaya yang besar dan licin ke arah Malfoy, tepat mengenai mukanya, menyebabkan Snape mengurangi lima puluh angka dari Gryffindor. "Kalau Snape mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam lagi, aku tidak masuk karena sakit," kata Ron, ketika mereka menuju kelas Lupin sesudah makan siang. "Cek dulu siapa yang di dalam, Hermione." Hermione mengintip dari pintu. "Oke!" Profesor Lupin sudah mengajar lagi. Kelihatannya memang dia baru sakit. Jubah usangnya tampak ge-dombrongan dan ada lingkaran-lingkaran hitam di bawah matanya. Meskipun demikian, dia tersenyum kepada murid-muridnya ketika mereka duduk dan langsung ramai berkeluh kesah tentang sikap Snape selama Lupin sakit. "Sungguh tidak adil, dia kan cuma guru pengganti, kenapa dia memberi PR?" "Kami sama sekali tidak tahu-menahu tentang manu-sia serigala..." "...dua gulu ng perkamen!" "Apakah kalian memberitahu Profesor Snape kita belum mempelajarinya?" Lupin bertanya, dahinya me-ngernyit. Celoteh ramai terdengar lagi. "Ya, tapi dia bilang kami ketinggalan..." "...dia tak mau dengar..." "...dua gulung perkamen!" Profesor Lupin tersenyum melihat kemarahan di wajah semua muridnya. "Jangan khawatir. Aku akan bicara dengan Profesor Snape. Kalian tidak perlu membuat karangan itu." "Yaaah..." kata Hermione kecewa. "Aku sudah se-lesai mengerjakannya!" Pelajaran berlangsung amat menyenangkan. Profesor Lupin membawa kotak kaca berisi Hinkypunk, makh-luk berkaki satu yang kelihatannya terbuat dari kepul-an asap, tampaknya rapuh dan tak berbahaya. "Memikat pengelana ke tanah berlumpur," kata Profesor Lupin sementara mereka mencatat. "Kalian perhatikan lentera yang tergantung di tangannya? Berayun naik-turun di depan- orang-orang akan meng-ikuti cahayanya-kemudian..." Si Hinkypunk mengeluarkan bunyi decap mengeri-kan pada dinding kacanya. Ketika bel berdering anak-anak mengumpulkan barang-barang mereka dan berjalan ke pintu, termasuk Harry, tetapi... "Tunggu, Harry," panggil Lupin. "Aku mau bicara denganmu." Harry masuk dan mengawasi Profesor Lupin menyelubungi kotak kacanya dengan kain. "Aku sudah dengar tentang pertandingan itu," kata Lupin, berbalik ke mejanya dan memasukkan buku-buku ke dalam tasnya, "dan aku ikut sedih mendengar tentang sapumu. Ada kemungkinan dibetulkan?" "Tidak," kata Harry. "Pohon itu menghajarnya sam-pai hancur berkeping-keping." Lupin menghela napas. "Mereka menanam Dedalu Perkasa itu pada tahun yang sama dengan kedatanganku di Hogwarts. Anak-anak dulu membuat permainan, mencoba mendekat sampai bisa menyentuh batangnya. Pada akhirnya, seorang anak laki-laki bernama Davey Gudgeon nyaris kehilangan sebelah matanya dan kami dilarang dekat-dekat pohon itu. Tak ada sapu yang bisa bertahan melawannya." "Apakah Anda mendengar tentang Dementor juga?" tanya Harry susah payah. Lupin segera memandangnya. "Ya, aku dengar. Kurasa tak ada seorang pun di antara kita yang pernah melihat Profesor Dumbledore semarah itu. Para Dementor itu sudah beberapa waktu resah... marah karena Dumbledore tidak mengizinkan mereka masuk ke halaman kastil... kurasa karena merekalah kau sampai terjatuh?" "Ya," kata Harry. Dia ragu-ragu, dan kemudian pertanyaan yang ingin ditanyakannya terlontar begitu saja sebelum dia bisa menahan diri. "Kenapa? Kenapa mereka mempengaruhi saya seperti itu? Apakah saya...?" "Tidak ada hubungannya dengan kelemahan," kata Profesor Lupin tajam, seakan dia bisa membaca pikir-an Harry. "Dementor mempengaruhimu lebih hebat daripada orang lain karena ada horor di masa lalumu yang tidak dialami orang lain." Secercah sinar matahari menerobos masuk kelas, menyinari rambut kela bu Lupin dan kerut-kerut di wajahnya yang masih muda. "Dementor termasuk makhluk paling jahat yang ada di muka bumi ini. Mereka menduduki tempat-tempat yang paling gelap dan kotor, mereka senang pada kehancuran dan keputusasaan, mereka menyedot kedamaian, harapan, dan kebahagiaan dari udara di sekitar mereka. Bahkan Muggle merasakan kehadiran mereka, walaupun tak bisa melihatnya. Kalau kita berada terlalu dekat dengan Dementor, semua perasa-an senang, semua kenangan membahagiakan, akan tersedot dari dalam diri kita. Kalau bisa, Dementor akan hidup darimu cukup lama sampai kau menjadi sesuatu seperti mereka-tak berjiwa dan jahat. Yang tersisa dalam dirimu hanyalah pengalaman-pengalam-an terburuk dalam hidupmu. Dan pengalaman ter-buruk dalam hidupmu, Harry, cukup untuk membuat siapa saja terjatuh dari sapunya. Kau tak perlu malu." "Kalau mereka mendekati saya...," Harry meman-dang ke meja Lupin, lehernya sakit seperti tersumbat, "saya bisa mendengar Voldemort membunuh ibu saya." Lupin membuat gerakan dengan tangannya seakan dia akan memegang bahu Harry, tetapi tak jadi. Se-jenak hening, kemudian... "Kenapa mereka harus datang ke pertandingan?" tanya Harry getir. "Mereka lapar," kata Lupin dingin, menutup tasnya dengan keras. "Dumbledore tidak mengizinkan mereka masuk ke halaman sekolah, maka mereka kehabisan suplai manusia sebagai mangsa... kurasa mereka tak bisa menahan diri melihat begitu banyak orang di lapangan Quidditch. Semua kegairahan itu... emosi yang tinggi... bagi mereka itu berarti pesta pora." "Azkaban pastilah mengerikan sekali," gumam Harry. Lupin menganggu k suram. "Benteng itu berada di sebuah pulau kecil, jauh di tengah samudra, tetapi mereka tidak memerlukan tembok dan air untuk menahan para tawanannya. Mereka semua sudah terpenjara dalam kepala mereka sendiri, tak sanggup memikirkan satu hal pun yang menyenangkan. Sebagian besar dari mereka menjadi gila hanya dalam waktu beberapa minggu." "Tetapi Sirius Black berhasil lolos dari mereka," kata Harry pelan. "Dia berhasil kabur..." Tas Lupin merosot dari meja. Dia harus mem-bungkuk cepat-cepat untuk menangkapnya. "Ya," katanya, seraya tegak kembali. "Black pastilah menemukan cara untuk melawan mereka. Walaupun menurutku itu tak mungkin... Dementor kabarnya menyedot kekuatan penyihir sampai habis jika pe-nyihir itu ditinggalkan terlalu lama bersama mereka..." "Anda membuat Dementor di kereta api itu mundur," kata Harry tiba-tiba. "Ada-beberapa pertahanan yang bisa digunakan," kata Lupin. "Tetapi hanya ada satu Dementor di kereta api. Semakin banyak mereka, semakin susah kita lawan." "Pertahanan apa saja?" kata Harry segera. "Bisakah Anda mengajari saya?" "Aku tidak berpura-pura menjadi ahli melawan Dementor, Harry... sebaliknya malah..." "Tapi kalau Dementor-dementor itu datang ke pertandingan Quidditch lagi, saya perlu pertahanan untuk bisa melawannya..." Lupin memandang wajah Harry yang penuh tekad, ragu-ragu sejenak, kemudian berkata, "Yah... baiklah. Aku akan mencoba membantumu. Tetapi harus tunggu sampai semester yang akan datang, kurasa. Banyak yang harus kuselesaikan sebelum liburan. Aku memilih waktu yang sangat tidak menguntungkan untuk sakit." Adanya janji pelajaran Anti-Dementor dari Lupin, pemikiran bahwa dia mungkin tak perlu lagi men-dengar saat-saat kematian ibunya, dan kenyataan bah-wa Ravenclaw menggilas Hufflepuff dalam per-tandingan Quidditch pada akhir November, membuat perasaan Harry jauh lebih senang. Gryffindor akhir-nya tidak tersisih dari ajang pertandingan, walaupun mereka tak boleh kalah lagi dalam pertandingan. Wood kembali dikuasai energi gilanya, dan melatih timnya dengan sama keras dan ketatnya di bawah siraman hujan yang dingin menusuk tulang yang berlangsung sampai Desember. Harry tak melihat tanda-tanda adanya Dementor di sekolah. Kemarahan Dumbledore tampaknya membuat mereka tetap berada di tempat jaga mereka di jalan-jalan masuk ke halaman sekolah. Dua minggu sebelum semester berakhir, langit men-dadak terang menyilaukan dan tanah berlumpur pada suatu pagi sudan berselimut salju berkilau. Di dalam kastil, suasana Natal sudah terasa. Profesor Flitwick, guru Jimat dan Guna-guna, sudah mendekorasi ruang kelasnya dengan lampu kelap-kelip yang ternyata peri-peri betulan yang beterbangan. Anak-anak semua senang merencanakan liburan mereka. Baik Ron mau-pun Hermione sudah memutuskan untuk tinggal di Hogwarts. Meskipun Ron mengatakan dia tinggal, karena tak tahan melewatkan dua minggu bersama Percy, dan Hermione bersikeras dia perlu mengguna-kan perpustakaan, Harry tak bisa dibohongi. Mereka tinggal untuk menemaninya dan Harry sangat ber-terima kasih. Betapa senangnya semua anak, kecuali Harry, ketika ternyata akan ada kunjungan ke Hogsmeade lagi pada akhir pekan terakhir semester. "Kita bisa belanja semua keperluan Natal di sana!" kata Hermione. "Mum dan Dad pasti suka benang gigi rasa mint yang dijual di Honeydukes!" Menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi satu-satunya anak kelas tiga yang tidak ikut lagi, Harry meminjam buku Sapu yang Mana dari Wood, dan memutuskan untuk melewatkan hari dengan membaca tentang berbagai merek sapu. Selama latihan Harry menaiki salah satu sapu sekolah, Bintang Jatuh yang sudah tua, yang terbangnya sangat lambat dan me-nyentak-nyentak. Jelas dia perlu punya sapu baru sendiri. Pada hari kunjungan ke Hogsmeade, Sabtu pagi, Harry mengucapkan selamat jalan kepada Ron dan Hermione, yang terbungkus mantel dan syal, kemudi-an berbalik menaiki tangga pualam sendirian, kembali ke Menara Gryffindor. Salju sudah turun di luar jendela, dan kastil kosong serta amat sepi. "Psst-Harry!" Harry, menoleh, setengah jalan di koridor lantai tiga, dan melihat Fred dan George mengintipnya dari balik patung nenek sihir bongkok bermata satu. "Kalian ngapain?" tanya Harry ingin tahu. "Kenapa kalian tidak ke Hogsmeade?" "Kami mau memberimu sedikit kegembiraan se-belum pergi," kata Fred, mengedip misterius. "Sini..." Fred mengangguk ke arah ruang kelas kosong di sebelah kiri patung bermata satu. Harry mengikuti Fred dan George masuk ke kelas itu. George menutup pintunya pelan-pelan, kemudian berbalik, berseri-seri memandang Harry. "Hadiah Natal yang kami berikan lebih awal, Harry," katanya. Fred menarik keluar sesuatu dari dalam mantelnya dengan penuh gaya dan meletakkannya di atas salah satu meja. Sehelai perkamen besar persegi yang sudah sangat lusuh tanpa tulisan apa pun. Harry, curiga pada Fred dan George yang suka mempermainkan orang, memandang perkamen itu. "Apa itu?" "Ini, Harry adalah rahasia kesuksesan kami," kata George, mengelus perkamen itu dengan sayang. "Berat sekali bagi kami, menghadiahkannya pada-mu," kata Fred, "tetapi semalam kami memutuskan, kau lebih memerlukannya daripada kami." "Lagi pula, kami sudah hafal isinya," kata George. "Kami wariskan kepadamu. Kami sudah tidak mem-butuhkannya lagi." "Dan apa gunanya untukku sepotong perkamen tua ini?" tanya Harry. "Sepotong perkamen tua!" kata Fred, memejamkan mata sambil menyeringai seakan Harry sangat meng-hinanya. "Jelaskan, George." "Begini... waktu kami kelas satu, Harry-masih, kecil, tak ada yang dipikirkan, dan lugu..." Harry mendengus. Dia meragukan apakah Fred dan George pernah menjadi anak lugu. "...yah, lebih lugu daripada sekarang-kami mendapat kesulitan dengan Filch." "Kami meledakkan Bom Kotoran Binatang di kori-dor, dan entah kenapa itu membuatnya marah..." "Jadi kami digiring ke kantornya dan dia meng-ancam kami dengan bermacam hukuman..." "...detensi..." "...kuras perut..." "...dan kami mau tak mau melihat salah satu laci di salah satu lemari lacinya yang diberi label Barang Sitaan dan Sangat Berbahaya." "Pasti se ru...,"kata Harry, mulai tersenyum. "Yah, bagaimana lagi?" kata Fred. "George meng-alihkan perhatiannya dengan meledakkan Bom Kotor-an Binatang lagi, sedang aku menarik terbuka laci itu dan kusambar-ini." "Tidak separah kedengarannya kok," kata George. "Kami rasa Filch tidak pernah tahu cara mengguna-kannya. Tapi mungkin dia sudah curiga perkamen apa ini, kalau tidak tentu tidak disitanya." "Dan kalian tahu bagaimana menggunakannya?" iHpssrs ^{iftiiiY. i\Vtirmfaif, vPadfwl. Jati iprong.* 'Penyetor ifianluan untuk 'Pura ^Pembuat- Kw't tiran $lfitr dengan bangga mi'tiipzrvmbahkan "Oh, ya," kata Fred menyeringai. "Barang berharga ini mengajari kami jauh lebih banyak daripada semua guru di sekolah ini." "Kalian membual," kata Harry, memandang perkamen usang itu. "Tidak percaya?" kata George. Dia mengeluarkan tongkatnya, menyentuh pelan perkamen itu dan berkata, "Aku bersumpah dengan sepenuh hati bahwa aku orang tak berguna." Dan mendadak garis-garis tipis tinta menyebar se-perti jaring labah-labah dari titik yang disentuh tongkat George. Garis-garis itu saling bergabung, ber-silangan, menebar ke semua sudut perkamen, kemudi-an huruf-huruf bermunculan di bagian atas. Huruf-huruf hijau besar, meliuk-liuk, yang berbunyi: Sungguh aneh nama Messrs atau tuan-tuan itu, karena moony bisa berarti bulan purnama, sedangkan ketiga nama lainnya masing-masing berarti ekor cacing, gob-lin, dan cabang tanduk rusa. Petanya sendiri menun-jukkan detail Kastil Hogwarts dan halamannya. Tetapi yang paling menakjubkan adalah titik-titik kecil tinta yang bergerak-gerak di peta itu, masing-masing de-ngan label nama yang ditulis dengan huruf-huruf superkecil. Harry yang keheranan menunduk untuk membacanya. Titik di sudut kiri atas menunjukkan bahwa Profesor Dumbledore sedang berjalan hilir-mudik di dalam kantornya. Kucing si penjaga sekolah, Mrs Norris, sedang berkeliling mencari mangsa di lantai dua, dan Peeves si hantu jail sedang melayang-layang naik-turun di sekitar ruang piala. Dan ketika mata Harry menyusuri koridor-koridor yang sudah dikenalnya, dia melihat sesuatu yang lain. Peta ini menunjukkan beberapa lorong yang belum pernah dimasukinya. Dan banyak di antara lorong itu rupanya menuju... "Langsung ke Hogsmeade," kata Fred, menyusuri salah satu di antaranya dengan jarinya. "Semuanya ada tujuh. Filch sudah tahu tentang yang empat ini..." dia menunjuk keempatnya, "...tapi kami yakin hanya kamilah yang tahu tentang yang ini. Jangan pedulikan yang di belakang cermin di lantai empat ini. Kami menggunakannya sampai musim dingin tahun lalu, tetapi kemudian runtuh-terblokir total. Dan kami duga tak pernah ada yang menggunakan yang ini, karena Dedalu Perkasa ditanam persis di depan jalan masuknya. Tetapi yang satu ini, ini lang-sung menuju gudang bawah tanah Honeydukes. Kami sudah sering kali menggunakannya. Dan seperti kauperhatikan, jalan masuknya tepat di depan kelas ini, melewati punuk si nenek bermata satu." "Moony, Wormtail, Padfoot, dan Prongs," George menghela napas, mengelus nama-nama di bagian atas peta. "Kami sungguh berutang budi kepada mereka." "Orang-orang yang mulia, bekerja tak kenal lelah untuk membantu generasi baru pelanggar peraturan," kata Fred sungguh-sungguh. "Betul," kata George tegas, "jangan lupa meng-hapusnya sesudah kau menggunakannya..." "...kalau lupa, nanti semua orang bisa membaca-nya," kata Fred memperingatkan. "Sentuh saja lagi dan bilang, 'Keonaran sudah ter-laksana!' dan petanya akan kosong lagi." "Jadi, Harry kecil," kata Fred yang menirukan Percy dengan persis sekali, "jangan nakal." "Sampai ketemu di Honeydukes," kata George sam-bil mengedip. Si kembar meninggalkan ruangan, keduanya nyengir puas. Harry berdiri memandang peta menakjubkan itu. Dia melihat titik kecil Mrs Norris berbalik ke kiri dan berhenti untuk mengendus sesuatu di lantai. Jika Filch benar-benar tak tahu... dia sama sekali tak perlu melewati Dementor... Meskipun demikian, sementara berdiri di sana, Harry teringat sesuatu yang pernah didengarnya di-ucapkan Mr Weasley. Jangan pernah mempercayai sesuatu yang bisa berpikir sendiri, kalau kau tak bisa melihat di mana otaknya. Peta ini salah satu benda sihir berbahaya seperti yang diperingatkan Mr Weasley... Bantuan untuk Para Pembuat-Keonaran Sihir... tetapi, Harry berdalih, dia cuma ingin menggunakannya untuk bisa ke Hogsmeade. Dia kan tidak ingin mencuri sesuatu atau menyerang orang... lagi pula Fred dan George sudah menggunakannya selama bertahun-tahun tanpa terjadi sesuatu yang mengerikan.... Harry menelusuri lorong rahasia yang menuju ke Honeydukes dengan jarinya. Kemudian, mendadak saja, seakan mematuhi perin-tah, dia menggulung peta itu, menyelipkannya ke dalam jubahnya, dan berjalan ke pintu kelas. Dia membukanya beberapa senti. Tak ada orang di luar. Dengan sangat hati-hati, Harry berjingkat keluar dan menyelinap ke balik patung nenek sihir bermata satu. Apa yang harus dilakukannya? Dikeluarkannya kembali petanya dan betapa herannya dia ketika me-lihat ada sosok tinta baru yang muncul, berlabel Harry Potter. Sosok itu berdiri tepat di tempat Harry berdiri, kira-kira di pertengahan koridor lantai tiga. Harry mengawasinya dengan teliti. Tubuh tinta kecil-nya tampak sedang mengetuk-ngetuk si nenek sihir dengan tongkatnya yang kecil sekali. Harry cepat-cepat mengeluarkan tongkatnya yang sesungguhnya dan mengerukkannya pada si patung. Tak terjadi apa-apa. Kembali Harry melihat petanya. Telah mun-cul tulisan dalam lingkaran kecil seperti dalam komik. Tulisan itu berbunyi, "Dissendium". "Dissendium!" bisik Harry, mengetuk si nenek sihir lagi. Punuk si patung langsung membuka, cukup lebar untuk dilewati orang yang kurus. Harry mengerling ke kedua ujung lorong, kemudian menyimpan kembali petanya, masuk ke dalam lubang, kepala lebih dulu, dan mendorong dirinya maju. Dia meluncur turun pada sesuatu yang rasanya seperti luncuran batu, lalu mendarat di tanah yang dingin dan lembap. Harry bangkit, memandang ber-keliling. Gelap gulita. Dia mengangkat tongkatnya, menggumamkan, "Lumos!" dan melihat dia berada di lorong tanah yang sangat sempit dan rendah. Harry mengangkat petanya, mengetuknya dengan ujung tongkatnya, dan bergumam, "Keonaran sudah terlaksana!" Gambar peta itu langsung hilang. Harry melipat perkamennya dengan hati-hati, menyelipkan-nya ke dalam jubahnya, kemudian-dengan jantung berdegup kencang saking bergairah bercampur takut- dia berjalan maju. Lorong itu berkelok-kelok dan menikung, seperti liang kelinci raksasa. Harry bergegas, beberapa kali terhuyung karena jalan yang tidak rata, seraya me-megangi tongkatnya di depannya. Perlu waktu lama sekali, tapi pikiran akan bisa mengunjungi Honeydukes membuatnya bertahan. Se-telah kira-kira satu jam berjalan, lorong itu mulai menanjak. Terengah, Harry bergegas, wajahnya panas, kakinya sangat dingin. Sepuluh menit kemudian, dia tiba di kaki tangga batu tua yang menjulang di hadapannya, puncaknya tak kelihatan. Berhati-hati agar tak membuat suara, Harry mulai menaikinya. Seratus anak tangga, dua ratus, dia sudah tak menghitung lagi ketika terus naik, hanya mengawasi kakinya... kemudian, men-dadak, kepalanya membentur sesuatu yang keras. Rupanya pintu tingkap. Harry menggosok-gosok puncak kepalanya sambil mendengarkan. Dia tak bisa mendengar suara apa pun dari atasnya. Dengan sa-ngat perlahan, dia mendorong pintu tingkap itu sampai terbuka dan mengintip dari tepinya. Dia berada di gudang bawah tanah yang penuh peti dan kotak-kotak kayu. Harry memanjat keluar dari pintu tingkap dan menutupnya kembali-pintu itu menyatu sempurna dengan lantai yang berdebu sehingga tak mungkin orang tahu ada pintu tingkap di sana. Harry berjingkat pelan ke tangga kayu yang menuju ke atas. Sekarang dia bisa mendengar suara-suara, juga denting bel dan bunyi pintu membuka dan menutup. Saat sedang berpikir apa yang sebaiknya dia laku-kan, mendadak dia mendengar pintu terbuka tak jauh darinya. Ada yang akan turun. "Dan ambil sekotak Siput Jeli, ya, ini sudah hampir habis..." terdengar suara seorang wanita. Sepasang kaki menuruni tangga. Harry melompat ke balik peti yang sangat besar dan menunggu sampai langkah-langkah kaki itu lewat. Didengarnya pria itu menggeser-geser kotak-kotak di dinding di seberang-nya. Belum tentu ada kesempatan sebaik ini lagi... Cepat dan tanpa suara, Harry menyelinap dari tempat persembunyiannya dan menaiki tangga. Ketika menoleh, dia melihat punggung amat besar dan kepala botak berkilat terbenam dalam kotak. Harry tiba di pintu di puncak tangga, menyelinap masuk, dan ternyata sudah berada di balik konter Honeydukes-dia menunduk, merayap minggir, kemudian menegakkan diri lagi. Honeydukes penuh sesak dengan murid-murid Hogwarts, sehingga tak ada yang menoleh dua kali memandang Harry. Dia menyelip-nyelip di antara mereka, memandang berkeliling, dan menahan tawa ketika membayangkan bagaimana ekspresi yang akan menebar di wajah Dudley jika dia bisa melihat di mana Harry sekarang. Ada berak-rak permen yang menggiurkan yang tak mungkin bisa dibayangkan. Potongan-potongan krim nogat, permen kelapa merah muda bening, toffee besar-besar warna madu, beratus-ratus jenis cokelat yang berderet-deret rapi. Ada juga tong besar berisi Kacang Segala Rasa, dan tong lain berisi Kumbang Berdesing, permen melayang yang pernah disebut-sebut Ron. Di dinding lainnya ada permen-permen "Special Effects": Permen Karet Tiup Drooble (yang akan memenuhi ruangan dengan gelembung-gelembung biru yang me-nolak meletus selama beberapa hari), Benang Gigi Segar Rasa Mint yang licin, Merica Setan yang kecil-kecil hitam ("membuatmu bernapas api!"), Tikus Es ("dengar gigimu bergemeletuk dan mencicit!"), Pepermin Kodok yaitu permen pedas berbentuk kodok ("betul-betul melompat-lompat di dalam perutmu!"), permen pena bulu yang rapuh, dan permen yang meledak. Harry menyelip di antara gerombolan anak kelas enam dan melihat papan yang tergantung di sudut toko paling jauh ("Rasa-rasa Aneh"). Ron dan Hermione berdiri di bawahnya, memandang senampan lolipop rasa darah. Harry menyelinap ke belakang mereka. "Ih, tidak, Harry tak akan mau. Permen itu untuk vampir, kurasa," kata Hermione. "Bagaimana kalau ini?" ujar Ron, mengulurkan stoples Kerumunan Kecoak ke bawah hidung Hermione. "Jelas tidak mau," kata Harry. Nyaris saja stoples itu jatuh dari tangan Ron. "Harry!" jerit Hermione. "Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana-bagaimana kau...?" "Wow!" kata Ron, kelihatan kagum sekali. "Kau sudah bisa ber-Apparate!" "Tentu saja tidak," kata Harry. Dia merendahkan suaranya, agar tak seorang pun anak kelas enam bisa mendengarnya, dan bercerita tentang Peta Perampok kepada kedua sahabatnya. "Bisa-bisanya Fred dan George tidak pernah mem-berikannya kepadaku!" kata Ron, berang. "Aku kan adik mereka!" "Tetapi Harry tidak akan menyimpan peta itu!" kata Hermione, seakan ide ini menggelikan. "Dia akan menyerahkannya kepada Profesor McGonagall. Iya, kan, Harry?" "Tidak!" kata Harry. "Kau gila?" kata Ron, mendelik kepada Hermione. "Menyerahkan benda sehebat itu?" "Kalau kuserahkan, aku harus mengatakan dari mana aku mendapatkannya! Filch akan tahu Fred dan George mencurinya!" "Tetapi bagaimana dengan Sirius Black?" desis Hermione. "Dia bisa saja menggunakan salah satu lorong dalam peta itu untuk memasuki kastil! Para guru harus tahu!" "Dia tak m ungkin masuk lewat lorong-lorong itu," kata Harry cepat-cepat. "Ada tujuh lorong rahasia di peta itu, kan? Fred dan George memperkirakan Filch sudah tahu empat di antaranya. Dan tiga lainnya- salah satunya sudah runtuh, jadi tak ada yang bisa melewatinya. Satunya lagi, di depan jalan masuknya ada pohon Dedalu Perkasa, jadi kau takkan bisa keluar dari situ. Dan yang baru saja kupakai-yah-susah untuk melihat jalan masuknya yang ada di gudang bawah tanah-jadi kecuali dia tahu lorong itu ada..." Harry ragu-ragu. Bagaimana jika Black ternyata tahu akan adanya lorong itu? Tetapi Ron berdeham penuh arti dan menunjuk ke pengumuman yang di-tempelkan di balik pintu toko permen itu. ATAS PERINTAH KEMENTERIAN SIHIR Para pelanggan diingatkan bahwa sampai ada pengumuman berikutnya, Dementor akan ber-patroli di jalan-jalan di Hogsmeade setiap malam setelah matahari terbenam. Tindakan ini diambil untuk keamanan penduduk Hogsmeade dan akan dicabut setelah Sirius Black berhasil ditangkap. Karena itu dianjurkan agar Anda menyelesaikan belanja Anda jauh sebelum malam tiba. Selamat Hari Natal! "Paham?" kata Ron pelan. "Aku mau lihat Black mencoba memasuki Honeydukes dengan Dementor berkeliaran di seluruh desa. Lagi pula, Hermione, pemilik Honeydukes akan dengar kalau tokonya dimasuki orang. Mereka kan tinggalnya di atas toko!" "Ya, tapi-tapi..." Hermione tampak berusaha keras mencari alasan lain. "Harry seharusnya tetap saja tak boleh ke Hogsmeade. Dia tak punya formulir izinnya! Kalau sampai ketahuan, dia akan mendapat kesulitan besar! Dan sekarang belum malam-bagaimana kalau Sirius Black muncul hari ini? Sekarang?" "Dia pasti kesulitan mencari Harry dalam cuaca begini," kata Ron, mengangguk ke arah jendela ber-sekat kotak-kotak, ke arah salju tebal yang berpusaran di luar. "Ayolah, Hermione, Natal kan sebentar lagi. Boleh dong Harry mendapat selingan." Hermione menggigit bibirnya, kelihatan cemas se-kali. "Apa kau akan melaporkan aku?" Harry bertanya kepadanya sambil nyengir. "Oh-tentu saja tidak-tapi, Harry..." "Sudah lihat Kumbang Berdesing, Harry?" kata Ron, menariknya ke tong permen itu. "Dan Siput Jeli? Dan Cuka Meletup? Fred memberiku sebutir Cuka Meletup waktu aku berusia tujuh tahun-membuat lidahku berlubang. Aku masih ingat Mum menghajar-nya dengan sapunya." Ron menerawang menatap kotak Cuka Meletup. "Mau tidak ya, Fred makan Kerumunan Kecoak kalau aku bilang itu kacang?" Setelah Ron dan Hermione membayar semua cokelat dan permen yang mereka beli, mereka bertiga meninggalkan Honeydukes dan menerobos badai salju di luar. Hogsmeade tampak seperti gambar di kartu Natal. Pondok-pondok dan toko-toko kecilnya yang beratap lalang diselimuti lapisan salju; di depan pintu-pintu-nya ada rangkaian holly yang melingkar dan untaian lilin sihir bergantungan di pepohonan. Harry gemetar kedinginan. Dia tidak memakai man-tel seperti kedua temannya. Mereka berjalan dengan kepala menunduk menentang angin. Ron dan Hermione berteriak bergantian dari balik syal mereka. "Itu Kantor Pos..." "Zonko di sana itu..." "Kita bisa pergi ke Shrieking Shack..." "Begini saja," kata Ron, giginya bergemeletuk, "ba-gaimana kalau kita minum Butterbeer di Three Broom-sticks?" Harry mau sekali. Angin bertiup kencang dan tangannya sudah beku. Maka mereka menyeberang jalan dan beberapa menit kemudian sudah memasuki tempat minum yang mungil itu. Tempat itu padat sekali, bising, hangat, dan berasap. Seorang wanita montok berwajah manis sedang me-layani serombongan penyihir kasar dan gaduh di konter. "Itu Madam Rosmerta," kata Ron. "Aku yang beli minuman, ya?" dia menambahkan, wajahnya merona kemerahan. Harry dan Hermione berjalan ke bagian belakang ruangan. Di sana, di antara jendela dan pohon Natal indah yang tegak di sebelah perapian, ada satu meja kecil kosong. Ron menyusul lima menit kemudian, membawa tiga cangkir besar Butterbeer panas berbuih. "Selamat Natal!" katanya riang, mengangkat cang-kirnya. Harry menghirup minumannya. Ini minuman pa-ling lezat yang pernah dicicipinya. Minuman ini meng-hangatkan sekujur tubuhnya dari dalam. Mendadak tiupan angin membuat rambutnya ber-kibar. Pintu Three Broomsticks terbuka lagi. Harry me-mandang lewat bibir cangkirnya dan tersedak. Profesor McGonagall dan Flitwick baru saja me-masuki tempat minum itu dalam pusaran butir-butir salju, segera diikuti oleh Hagrid, yang sedang asyik bicara dengan laki-laki pendek gemuk memakai topi hijau-jeruk limau dan jubah bergaris: Cornelius Fudge, Menteri Sihir. Serentak Ron dan Hermione meletakkan tangan di atas kepala Harry, memaksanya turun dari kursi dan masuk ke kolong meja . Dengan Butterbeer masih menetes dari bibirnya, Harry meringkuk bersembunyi, memeluk cangkir kosongnya dan mengawasi kaki-kaki para guru dan Fudge bergerak ke arah konter, berhenti, dan kemudian berbelok dan berjalan lurus ke arahnya. Di atasnya, Hermione berbisik, "Mobiliarbus!" Pohon Natal di sebelah meja mereka terangkat beberapa senti dari lantai, melayang minggir, dan mendarat dengan bunyi pluk pelan di depan meja mereka, menyembunyikan mereka dari pandangan. Memandang melewati celah-celah dahan-dahan lebat di bagian bawah, Harry melihat empat pasang kaki kursi bergerak mundur dari meja persis di sebelah meja mereka, kemudian mendengar gumam dan desahan napas guru-guru dan Menteri Sihir sementara mereka duduk. Berikutnya dia melihat sepasang kaki lain, memakai sepatu hijau toska bertumit tinggi, dan mendengar suara wanita. "Gillywater botol kecil..." "Pesananku," terdengar suara Profesor McGonagall. "Empat cangkir mead panas..." Mead adalah minuman alkohol yang terbuat dari madu. "Aku, Rosmerta," kata Hagrid. "Sirop ceri dan soda, dengan es dan payung..." "Mmm!" kata Profesor Flitwick, mendecapkan bibirnya. "Jadi pesanan Anda pastilah rum currant merah ini, Pak Menteri." "Terima kasin, Rosmerta manis," terdengar suara Fudge. "Senang sekali bertemu denganmu lagi. Pesan-lah minuman untukmu sendiri. Ayo minum bersama kami..." "Terima kasih banyak, Pak Menteri." Harry melihat sepatu berkilau bertumit tinggi itu menjauh dan kembali lagi. Jantungnya berdegup ken-cang sekali. Kenapa tak terpikir olehnya bahwa ini akhir pekan terakhir semester untuk para guru juga? Dan berapa lama mereka akan duduk di situ? Dia perlu waktu untuk menyelinap kembali ke Honeydukes kalau mau kembali ke sekolah malam ini... Kaki Hermione di sebelahnya bergerak cemas. "Nah, apa yang membawa Anda sampai ke leher hutan ini, Pak Menteri?" tanya Madam Rosmerta. Harry melihat bagian bawah tubuh gemuk Fudge berputar di kursinya, seakan dia sedang mengecek kalau-kalau ada yang mencuri dengar. Kemudian dia berkata pelan, "Apa lagi kalau bukan Sirius Black? Kau pasti sudah dengar apa yang terjadi di sekolah, Hallowe'en yang lalu?" "Saya memang mendengar desas-desus," Madam Rosmerta mengaku. "Apa kau memberitahu seluruh rumah minum, Hagrid?" kata Profesor McGonagall jengkel. "Apakah menurut Anda Black masih di sekitar sini, Pak Menteri?" bisik Madam Rosmerta. "Aku yakin," ujar Fudge pendek. "Tahukah Anda, para Dementor sudah menggeledah tempat minum saya ini dua kali?" kata Madam Rosmerta, dengan nada agak kesal. "Membuat semua pelanggan saya ketakutan... mereka membuat bisnis lesu, Pak Menteri." "Rosmerta manis, aku juga sama tidak sukanya kepada mereka seperti kau," kata Fudge salah tingkah. "Tapi langkah ini diperlukan... tak menguntungkan, tapi mau apa lagi... Aku baru saja bertemu beberapa dari mereka. Mereka gusar terhadap Dumbledore- dia tak mengizinkan mereka masuk ke halaman seko-lah." "Pantasnya tidak," kata Profesor McGonagall tajam. "Bagaimana kami bisa mengajar kalau horor itu berkeliaran di sekolah?" "Dengar, dengar!" cicit Profesor Flitwick yang mu-ngil, yang kakinya menggantung di atas lantai. "Bagaimanapun juga-" tangkis Fudge, "mereka berada di sini untuk melindungi kalian semua dari sesuatu yang jauh lebih buruk... kita semua tahu apa yang bisa dilakukan Black..." "Tahukah kalian, aku masih sulit mempercayainya," kata Madam Rosmerta menerawang. "Dari semua yang menyeberang ke golongan Hitam, sama sekali tak terpikir olehku Sirius Black... Maksudku, aku masih ingat waktu dia masih murid Hogwarts. Kalau kalian memberitahuku setelah besar nanti dia akan jadi seperti ini, aku akan bilang kalian pasti ke-banyakan minum." "Yang kau tahu tak ada separonya, Rosmerta," kata Fudge tajam. "Hal paling buruk yang dilakukannya tak banyak diketahui orang." "Hal paling buruk?" ujar Madam Rosmerta, suara-nya penuh keingintahuan. "Lebih buruk daripada membunuh orang-orang malang itu, maksud Anda?" "Betul," kata Fudge. "Aku tak percaya. Apa yang bisa lebih buruk dari itu?" "Kau bilang kau ingat waktu dia masih murid Hogwarts, Rosmerta," gumam Profesor McGonagall. "Ingatkah kau siapa sahabat baiknya?" "Tentu saja," kata Madam Rosmerta seraya tertawa kecil. "Tak pernah melihat yang satu tanpa yang lain, kan? Mereka sering sekali berada di sini-ooh, me-reka selalu membuatku tertawa. Kocak sekali mereka, Sirius Black dan James Potter!" Cangkir Harry terjatuh dengan bunyi dentang keras. Ron menendang Harry. "Tepat," kata Profesor McGonagall. "Black dan Pot-ter. Pimpinan gerombolan kecil mereka. Keduanya sangat pintar, tentu saja-luar biasa pintar, malah- tapi kurasa tak pernah kita punya sepasang pengacau seperti itu..." "Entahlah," kekeh Hagrid. "Fred dan George Weasley bisa jadi saingan mereka." "Kau bisa mengira Black dan Potter kakak-beradik!" celetuk Profesor Flitwick. "Tak terpisahkan!" "Tentu saja mereka tak terpisahkan," komentar Fudge. "Potter mempercayai Black lebih dari semua temannya yang lain. Tak ada yang berubah ketika mereka lulus dan meninggalkan sekolah. Black men-jadi pendamping pengantin pria ketika James me-nikahi Lily. Kemudian mereka menunjuknya sebagai wali Harry. Harry sama sekali tak tahu, tentu saja. Bayangkan, betapa tersiksanya dia kalau sampai tahu." "Karena Black ternyata bergabung dengan Kau-Tahu-Siapa?" bisik Madam Rosmerta. "Bahkan lebih buruk dari itu, Sayang..." Fudge merendahkan suaranya dan meneruskan dengan bisik-bisik. "Tak banyak yang tahu bahwa James dan Lily Potter sadar Kau-Tahu-Siapa mengejar mereka. Dumbledore, yang tentu saja bekerja tak kenal lelah menentang Kau-Tahu-Siapa, punya sejumlah mata-mata yang berguna. Salah satunya memberi kisikan kepadanya, dan Dumbledore langsung memper-ingatkan James dan Lily. Dia menyarankan agar mereka bersembunyi. Tentu saja susah menyembunyikan diri dari Kau-Tahu-Siapa. Dumbledore memberitahu mereka bahwa kesempatan terbaik mereka adalah Mantra Fidelius." "Bagaimana cara kerjanya?" tanya Madam Rosmerta, terengah saking tertariknya. Profesor Flitwick ber-deham. "Mantra yang rumit sekali," katanya, dengan suara kecil seperti mencicit. "Intinya adalah penyembunyian rahasia secara sihir di dalam diri satu orang yang terpilih, yang disebut Penjaga-Rahasia. Informasi keberadaan Lily dan James tersembunyi dalam diri si Penjaga-Rahasia ini, karena itu mereka tak mungkin ditemukan-kecuali si Penjaga-Rahasia sendiri yang membocorkannya. Selama si Penjaga-Rahasia menolak bicara, Kau-Tahu-Siapa boleh saja mencari selama bertahun-tahun di seluruh pelosok desa tempat Lily dan James tinggal, dia tak bakal menemukan mereka, bahkan kalaupun hidungnya sudah menempel di jendela ruang duduk mereka." "Jadi Black-lah si Penjaga-Rahasia keluarga Pot-ter?" bisik Madam Rosmerta. "Tentu saja," kata Profesor McGonagall. "James Pot-ter memberitahu Dumbledore bahwa Black lebih me-milih mati daripada membocorkan di mana mereka, bahwa Black sendiri merencanakan bersembunyi... meskipun demikian, Dumbledore tetap saja cemas. Aku ingat dia sendiri menawarkan diri sebagai Penjaga-Rahasia keluarga Potter." "Dia mencurigai Black?" Madam Rosmerta kaget. "Dia yakin ada orang dekat keluarga Potter yang selalu memberikan informasi kepada Kau-Tahu-Siapa tentang gerak-gerik mereka," kata Profesor McGonagall suram. "Memang, selama beberapa waktu dia sudah curiga ada orang dari pihak kami yang telah menjadi pengkhianat dan menyampaikan banyak informasi kepada Kau-Tahu-Siapa." "Tetapi James Potter berkeras menggunakan Black?" "Betul," kata Fudge berat. "Dan kemudian, baru seminggu Mantra Fidelius diterapkan..." "Black mengkhianati mereka?" Madam Rosmerta menahan napas. "Betul. Black sudah bosan akan perannya sebagai agen ganda, dia siap mendeklarasikan secara terbuka dukungannya terhadap Kau-Tahu-Siapa, dan rupanya dia sudah merencanakan ini sebagai saat kematian keluarga Potter. Tetapi, seperti kita semua tahu, Kau-Tahu-Siapa menerima kejatuha nnya ketika berhadapan dengan Harry Potter kecil. Kekuatannya lenyap, tubuhnya sangat lemah, dia menghilang. Dan ini membuat posisi Black sangat terjepit. Tuannya jatuh pada saat dia, Black, menunjukkan identitasnya yang, sebenarnya sebagai pengkhianat. Dia tak punya pilih-an lain kecuali kabur..." "Pengkhianat busuk!" kata Hagrid, begitu keras sehingga separo pengunjung tempat minum itu lang-sung diam. "Ssh!" kata Profesor McGonagall. "Aku ketemu dia!" geram Hagrid. "Aku pasti orang terakhir yang lihat dia sebelum dia bunuh semua orang itu! Akulah yang selamatkan Harry dari rumah Lily dan James setelah mereka dibunuh! Bawa dia keluar dari reruntuhan, anak malang, dengan luka besar di dahinya, dan orangtuanya mati... dan Sirius Black muncul, dengan motor terbang yang biasa dinaikinya. Tak pernah terpikir olehku apa yang dia lakukan di sana. Aku tak tahu dia Penjaga-Rahasia Lily dan James Potter. Kukira dia baru saja dengar berita tentang serangan Kau-Tahu-Siapa dan datang untuk lihat apa yang bisa dilakukannya. Pucat dan gemetar, dia. Dan kalian tahu apa yang kulakukan? AKU MENGHIBUR PENGKHIANAT PEMBUNUH ITU!" Hagrid meng-gerung. "Hagrid!" tegur Profesor McGonagall. "Tolong pelankan suaramu!" "Mana kutahu dia sedih bukan karena Lily dan James? Kau-Tahu-Siapa-lah yang dicemaskannya! Dan kemudian dia bilang, 'Berikan Harry padaku, Hagrid, aku walinya, aku akan merawatnya.' Ha! Tapi aku sudah terima perintah Dumbledore, dan aku bilang pada Black, tidak. Dumbledore bilang Harry harus dibawa ke rumah bibi dan pamannya. Black me-nentang, tetapi akhirnya menyerah. Dia suruh aku pakai motornya untuk antar Harry ke sana. Aku tak memerlukannya lagi,' katanya. "Harusnya aku tahu ada yang tak beres waktu itu. Dia cinta sekali motornya itu, kenapa dia berikan padaku? Kenapa dia tidak perlukan motor itu lagi? Kenyataannya, motor itu terlalu gampang dilacak. Dumbledore tahu dia Penjaga-Rahasia keluarga Pot-ter. Black tahu dia harus kabur malam itu juga, tahu cuma tinggal hitungan jam saja sebelum Pak Menteri mengejarnya. "Tapi bagaimana kalau aku berikan Harry padanya, eh? Berani taruhan, Harry pasti dijatuhkan dari motornya ke laut di tengah perjalanan. Anak sahabat baiknya! Tapi kalau penyihir menyeberang ke sihir hitam, tak ada lagi, orang ataupun barang, yang berarti bagi-nya..." Sunyi lama setelah Hagrid mengakhiri ceritanya. Kemudian Madam Rosmerta berkata puas, "Tetapi dia tidak berhasil kabur, kan? Kementerian Sihir ber-hasil menangkapnya hari berikutnya!" "Sayang sekali, tidak," kata Fudge getir. "Bukan kami yang menemukannya, melainkan si kecil Peter Pettigrew-salah satu teman James Potter yang lain. Jelas sangat terpukul oleh kesedihannya, dan tahu bahwa Black-lah si Penjaga-Rahasia keluarga Potter, Pettigrew mengejar Black." "Pettigrew... anak gemuk pendek yang selalu meng-ikuti mereka di Hogwarts?" Madam Rosmerta me-negaskan. "Dia menganggap Black dan Potter sebagai pahla-wan," kata Profesor McGonagall. "Tidak termasuk kelas mereka dalam hal kepintaran. Aku sering agak galak kepadanya. Kalian bisa bayangkan bagaimana- bagaimana aku menyesali sikapku itu sekarang..." Suara Profesor McGonagall sengau seakan mendadak dia pilek. "Sudahlah, Minerva," kata Fudge lembut. "Pettigrew meninggal sebagai pahlawan. Para saksi-Muggle, ten-tu saja- menceritakan kepada kami bagaimana Pettigrew menyudutkan Black. Kami lalu menghapus ingatan mereka akan peristiwa itu. Para Muggle bilang Pettigrew tersedu-sedu. 'Lily dan Ja mes, Sirius! Tega benar kau!' Dan kemudian dia mengambil tongkatnya. Yah, tentu saja Black lebih cepat. Pettigrew hancur berkeping-keping..." Profesor McGonagall membuang ingus dan berkata tersendat, "Anak bodoh... anak tolol... dia selalu payah dalam duel... seharusnya dia membiarkan Ke-menterian yang mengambil tindakan..." "Kalau aku yang ketemu Black lebih dulu dari Pettigrew, aku tak akan pakai tongkat-akan betot sampai lepas tangan dan kakinya," geram Hagrid. "Kau tak tahu apa yang kaubicarakan, Hagrid," kata Fudge tajam. "Tak ada yang bisa bertahan meng-hadapi Black yang sudah tersudut, kecuali Penyihir Penyerang-Tepat-Sasaran anggota Pasukan Penegak Hukum Sihir yang terlatih. Waktu itu aku menjabat Menteri Muda di Departemen Bencana Sihir, dan aku salah satu yang pertama berada di tempat kejadian setelah Black membantai orang-orang itu. Aku-aku tak akan pernah melupakannya. Aku masih memimpi-kannya kadang-kadang. Lubang besar di tengah jalan, begitu dalam sampai meretakkan saluran pembuangan limbah di bawah. Tubuh bergelimpangan di mana-mana. Para Muggle menjerit-jerit. Dan Black berdiri tertawa terbahak-bahak, dengan apa yang tersisa dari sosok Pettigrew di depannya... seonggok jubah ber-lumur darah dan-beberapa potongan kecil..." Suara Fudge mendadak berhenti. Terdengar bunyi lima orang membuang ingus. "Nah, begitu ceritanya, Rosmerta," kata Fudge ter-sendat. "Black ditangkap oleh dua puluh anggota Patroli Penegak Hukum Sihir dan Pettigrew dianu-gerahi Order of Merlin, Kelas Pertama, yang kurasa bisa menjadi hiburan bagi ibunya. Black dikurung di Azkaban sejak saat itu." Madam Rosmerta mengembuskan napas panjang. "Apa betul dia gila, Pak Menteri?" "Ingin sekali aku bisa mengiyakan pertanyaanmu," kata Fudge perlahan. "Aku yakin kekalahan tuannya membuatnya kacau selama beberapa saat. Pem-bunuhan Pettigrew dan semua Muggle itu adalah tindakan orang yang tersudut dan putus asa-ke-jam... tak ada gunanya. Tetapi aku bertemu Black dalam inspeksiku yang terakhir ke Azkaban. Kalian tahu, sebagian besar narapidana di sana duduk ngoceh sendiri dalam kegelapan, omongan mereka kacau... tetapi aku kaget sekali melihat betapa normalnya Black tampaknya. Dia bicara cukup rasional kepadaku. Sungguh membuatku lemas. Kau akan mengira dia cuma bosan-dengan dingin dia bertanya apakah aku sudah selesai membaca koranku, dia bilang dia ingin mengisi teka-teki silangnya. Ya, aku heran sekali, betapa kecilnya pengaruh Dementor terhadapnya- padahal dia salah satu yang paling ketat dijaga di tempat itu. Dementor-dementor di depan pintunya, siang dan malam." "Tetapi menurut Anda, apa tujuan dia kabur?" tanya Madam Rosmerta. "Astaga, Pak Menteri, dia berusaha bergabung dengan Anda-Tahu-Siapa, ya?" "Aku berani bilang itulah-eh-tujuan akhirnya," kata Fudge berusaha mengelak. "Tetapi kami berharap bisa menangkap Black jauh sebelum itu terlaksana. Harus kukatakan, Kau-Tahu-Siapa yang sendirian tanpa teman masih lumayan... tetapi beri dia abdinya yang paling setia, dan aku bergidik memikirkan betapa cepatnya dia akan berjaya lagi..." Terdengar bunyi gelas beradu dengan papan. Ada yang meletakkan gelasnya. "Cornelius, kalau kau akan makan malam dengan Kepala Sekolah, lebih baik kita kembali ke kastil sekarang," kata Profesor McGonagall. Sepasang demi sepasang, kaki-kaki di depan Harry menyangga berat pemiliknya sekali lagi, tepi-tepi jubah melambai d alam pandangan dan tumit tinggi sepatu Madam Rosmerta yang berkilauan menghilang ke balik konter. Pintu Three Broomsticks terbuka lagi, hujan salju menerobos, masuk lagi, dan para guru itu lenyap. "Harry?" Wajah Ron dan Hermione muncul di kolong meja. Mereka berdua hanya bisa memandangnya, tak bisa berkata apa-apa. 11 Firebolt HARRY tak begitu ingat bagaimana dia berhasil kembali ke gudang bawah tanah Honeydukes, melewati lorong, dan pulang ke kastil. Yang dia tahu hanyalah, perjalanan pulang itu rasanya singkat sekali, dan bahwa dia nyaris tidak memperhatikan apa yang dilakukannya, karena kepalanya masih berdenyut-denyut gara-gara percakapan yang baru saja didengar-nya. Kenapa tak pernah ada yang memberitahunya? Dumbledore, Hagrid, Mr Weasley, Cornelius Fudge... kenapa tak ada yang pernah bilang bahwa orangtua-nya meninggal karena sahabat baik mereka ber-khianat? Ron dan Hermione mengawasi Harry dengan cemas sepanjang makan malam, tak berani membicarakan apa yang telah mereka dengar secara tak sengaja, karena Percy duduk dekat mereka. Ketika mereka naik ke ruang rekreasi yang padat, ternyata Fred dan George sudah memasang setengah lusin Bom Kotoran dalam semangat keceriaan akhir semester. Harry yang tak ingin ditanyai Fred dan George apakah dia ber-hasil tiba di Hogsmeade atau tidak, menyelinap diam-diam ke kamarnya yang kosong dan langsung menuju lemari di sebelah tempat tidurnya. Didorongnya buku-bukunya ke tepi dan dia segera menemukan apa yang dicarinya-album foto bersampul kulit yang dihadiahkan Hagrid dua tahun sebelumnya, yang pe-nuh berisi foto-foto sihir ayah dan ibunya. Dia duduk di atas tempat tidurnya, menarik kelambu menutupi-nya, dan mulai membalik halaman-halamannya, men-cari-cari, sampai... Dia berhenti pada foto perkawinan orangtuanya. Tampak ayahnya melambai-lambai kepadanya dengan wajah berseri-seri, rambut hitamnya yang berantakan dan diwariskan pada Harry mencuat ke segala j urus-an. Ibunya, dengan wajah penuh kebahagiaan, ber-gandengan dengan ayahnya. Dan... itu pasti dia. Pengiring pengantin pria... Harry tak pernah meme-dulikannya sebelumnya. Kalau dia tak tahu itu orang yang sama, dia tak akan menduga orang di foto lama ini adalah Black. Wajahnya tidak cekung dan pucat, melainkan tampan, penuh tawa. Sudahkah dia bekerja pada Voldemort ketika foto ini diambil? Sudahkah dia merencanakan kematian kedua orang yang berdiri di sebelahnya? Sadarkah dia, dia akan menghabiskan dua belas tahun di Azkaban, dua belas tahun yang akan membuatnya tak bisa dikenali? Tetapi para Dementor tidak mempengaruhinya, pikir Harry, seraya men atap wajah tampan yang sedang tertawa itu. Dia tak harus mendengar ibuku menjerit-jerit kalau mereka terlalu dekat... Harry menutup albumnya, dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. Dia membuka jubahnya, melepas kacamatanya, dan naik ke tempat tidur, me-mastikan kelambunya menyembunyikannya dari pandangan. Pintu kamar terbuka. "Harry?" panggil Ron ragu-ragu. Tetapi Harry berbaring diam, pura-pura tidur. Didengarnya Ron pergi lagi, lalu dia berguling telen-tang, matanya nyalang. Kebencian yang belum pernah dikenalnya menjalar di sekujur tubuh Harry seperti racun. Dia bisa melihat Black menertawakannya dalam kegelapan, seakan ada yang telah menempelkan foto dari album itu ke mata-nya. Dia memandang, seakan ada yang sedang me-mutar sepotong film untuknya, Sirius Black meledak-kan Pettigrew (yang mirip Neville Longbottom) men-jadi seribu keping. Dia bisa mendengar (walaupun sama sekali tak tahu seperti apa suara Black) gumam rendah bergairah. "Sudah terjadi, Tuanku... keluarga Potter memilihku menjadi Penjaga-Rahasia mereka..." Dan kemudian terdengar suara lain, tertawa nyaring, tawa yang sama yang didengar Harry dalam kepala-nya setiap kali para Dementor berada di dekatnya... "Harry, kau... seperti orang sakit." Harry baru bisa tidur menjelang, subuh. Saat dia terbangun, kamar sudah kosong. Dia berpakaian dan menuruni tangga spiral. Ruang rekreasi kosong, hanya ada Ron yang sedang makan Pepermin Kodok sambil membelai perutnya, dan Hermione, yang telah meng-gelar PR-nya di atas tiga meja. "Di mana yang lain?" tanya Harry. "Pulang! Ini hari pertama liburan, ingat?" kata Ron, menatap Harry lekat-lekat. "Sudah hampir waktu makan siang. Aku baru ma u naik membangunkanmu." Harry mengenyakkan diri di kursi dekat perapian. Salju masih terus turun di luar. Crookshanks berbaring di depan perapian seperti keset Jingga besar. "Kau betul-betul seperti orang sakit," kata Hermione, mengawasi wajah Harry dengan cemas. "Aku tak apa-apa," kata Harry. "Harry, dengar," kata Hermione, bertukar pandang dengan Ron, "kau pastilah terpukul mendengar pem-bicaraan kemarin itu. Tapi yang penting, kau tak boleh melakukan hal bodoh." "Apa misalnya?" tanya Harry. "Misalnya mencoba mencari Black," kata Ron tajam. Harry tahu mereka sudah melatih percakapan ini selagi dia tidur. Dia tidak berkata apa-apa. "Kau tidak akan mencarinya, kan, Harry?" kata Hermione. "Karena Black tak cukup berharga kalau kau jadi korbannya," kata Ron. Harry memandang mereka. Mereka rupanya sama sekali tak paham. "Tahukah kalian apa yang kulihat dan dengar setiap kali ada Dementor terlalu dekat padaku?" Ron dan Hermione menggeleng, tampak cemas. "Aku bisa men-dengar ibuku menjerit dan memohon pada Voldemort. Dan kalau kalian mendengar ibu kalian menjerit seperti itu, menjelang dibunuh, kalian tak akan mudah melupakannya. Dan jika kalian tahu orang yang di-anggap sahabatnya mengkhianatinya dan mengirim Voldemort kepadanya..." "Tak ada yang bisa kaulakukan!" kata Hermione, tampak terpukul. "Para Dementor akan menangkap Black dan dia akan kembali ke Azkaban dan-biar tahu rasa dia!" "Kalian su dah dengar apa yang dikatakan Fudge. Black tidak terpengaruh oleh Azkaban seperti orang normal lainnya. Azkaban bukan hukuman baginya." "Jadi, apa maksudmu?" tanya Ron, tampak tegang sekali. "Kau mau-membunuh Black atau apa?" "Jangan konyol," kata Hermione panik. "Harry tak ingin membunuh orang. Iya, kan, Harry?" Harry tetap tidak menjawab. Dia tak tahu apa yang diinginkannya. Yang dia tahu hanyalah, dia tak tahan kalau tak berbuat apa-apa, sementara Black bebas berkeliaran. "Malfoy tahu," katanya mendadak. "Ingat apa yang dikatakannya kepadaku dalam pelajaran Ramuan? 'Ka-lau aku, aku akan balas dendam... Akan kuburu sendiri.'" "Kau akan menuruti nasihat Malfoy alih-alih nasihat kami?" kata Ron gusar. "Dengar... kau tahu apa yang diterima ibu Pettigrew setelah Black meng-hancurkannya? Dad cerita padaku-Order of Merlin, Kelas Pertama, dan jari Pettigrew di dalam kotak. Itu potongan terbesar tubuhnya yang bisa mereka temu-kan. Black itu orang gila, Harry, dan dia berbahaya..." "Ayah Malfoy pastilah memberitahunya," kata Harry, mengabaikan Ron. "Dia termasuk orang dalam Voldemort..." "Bilang Kau-Tahu-Siapa, kenapa sih?" potong Ron jeng-kel. "...jadi jelas, keluarga Malfoy tahu Black bekerja untuk Voldemort..." "...dan Malfoy akan senang sekali melihatmu me-ledak menjadi sejuta keping, seperti Pettigrew! Sadar-lah, Malfoy berharap kau bisa terbunuh sebelum dia harus menghadapimu dalam pertandingan Quidditch." "Harry, tolong," kata Hermione, matanya sekarang berkaca-kaca, "tolong, berpikir jernihlah. Black me-mang telah melakukan hal yang sangat keji, tapi j-jangan menempatkan dirimu dalam bahaya, itulah yang diinginkan Black... oh, Harry, tindakanmu akan menguntungkan Black kalau kau mencarinya. Ibu dan ayahmu pasti tidak ingin kau celaka, kan? Mereka pastilah tak mau kau mencari Black!" "Aku tak akan pernah tahu apa yang mereka ingin-kan karena, gara-gara Black, aku belum pernah bicara dengan mereka," kata Harry pendek. Hening. Crookshanks menggeliat santai, melemaskan cakar-cakarnya. Saku Ron bergetar. "Eh," kata Ron, jelas mencari-cari topik pembicaraan lain, "sekarang kan libur! Sudah hampir Natal! Ayo- ayo kita tengok Hagrid. Sudah lama kita tidak me-ngunjunginya!" "Tidak!" tukas Hermione cepat. "Harry tidak boleh meninggalkan kastil, Ron..." "Yeah, yuk kita ke sana," kata Harry, duduk tegak, "supaya aku bisa menanyainya kenapa dia tidak pernah menyebut-nyebut nama Black ketika dia menceritakan padaku segalanya tentang orangtuaku!" Pembicaraan lebih lanjut mengenai Sirius Black jelas bukan yang diinginkan Ron. "Atau kita bisa main catur," katanya buru-buru, "atau Gobstones. Percy meninggalkan satu set Gobstones..." "Tidak, ayo kita mengunjungi Hagrid," kata Harry tegas. Maka mereka mengambil mantel dari kamar mereka dan keluar melalui lubang lukisan ("Bangkit dan ber-tarunglah, anjing bastar perut-kuning!"), turun ke kastil yang kosong, dan keluar lewat pintu depan kayu ek. Mereka maju dengan pelan menyeberangi halaman, membuat parit dangkal di salju yang seperti bubuk berkilau, kaus kaki d an tepi jubah mereka basah kuyup dan dingin. Hutan Terlarang seakan telah di-sihir, masing-masing pohonnya disepuh perak, dan pondok Hagrid tampak seperti kue es. Ron mengetuk, tapi tak ada jawaban. "Dia tidak keluar, kan?" kata Hermione, yang gemetar kedinginan di balik mantelnya. Ron menempelkan telinganya ke pintu. "Ada bunyi aneh," katanya. "Dengar-apa itu Fang?" Harry dan Hermione ikut menempelkan telinga ke pintu. Dari dalam pondok terdengar beruntun getar rintihan. "Apa sebaiknya kita panggil seseorang?" tanya Ron cemas. "Hagrid!" Harry memanggil, seraya menggedor pintu. "Hagrid, apakah kau di dalam?" Terdengar langkah-langkah berat, kemudian pintu berderit terbuka. Hagrid berdiri di balik pintu dengan mata merah dan bengkak; air mata bercucuran ke bagian depan rompi kulitnya. "Kalian sudah dengar!" gerungnya, dan dia me-nangis sambil memeluk leher Harry. Mengingat Hagrid besarnya dua kali manusia nor-mal, ini bukan hal yang lucu. Harry yang nyaris jatuh keberatan tubuh Hagrid, diselamatkan oleh Ron dan Hermione, yang masing-masing menyambar satu lengan Hagrid dan memapahnya, dibantu Harry, ke dalam pondok. Hagrid pasrah saja dibawa ke kursi, dan dia duduk menelungkup ke meja, terisak-isak tak terkendali, wajahnya dibanjiri air mata yang me-netes-netes ke jenggotnya yang semrawut. "Hagrid, ada apa?" tanya Hermione terperanjat. Harry melihat surat, yang tampaknya resmi, terbuka di atas meja. "Apa ini, Hagrid?" Isak Hagrid menjadi dua kali lebih keras, tetapi dia mendorong surat itu ke arah Harry, yang memungut-nya dan membacanya keras-keras: Dear Mr Hagrid, Setelah menyelidiki lebih lanjut peristiwa serangan Hippogriff terhadap seorang anak dalam kelas Anda, kami menerima jaminan Profesor Dumbledore bahwa Anda tak bersalah dalam peristiwa yang patut disesalkan itu. "Wah, kalau begitu bagus dong, Hagrid!" kata Ron, menepuk bahu Hagrid. Tetapi Hagrid masih terus terisak dan melambaikan salah satu tangan raksasanya, meminta Harry melanjutkan membaca. Meskipun demikian, kami harus menyatakan kekhawatiran kami tentang Hippogriff yang bersangkutan. Kami telah memutuskan untuk menerima pengaduan resmi Mr Lucius Malfoy, dan persoalan ini akan dibawa ke Komite Pemunahan Satwa Berbahaya. Pemeriksaan akan dilakukan pada tanggal 20 April, dan kami meminta Anda hadir bersama Hippogriff Anda di kantor Komite di London pada tanggal itu. Sementara itu, si Hippogriff harus tetap ditambat dan diisolasi. Hormat kami, Di bawahnya berderet daftar nama para dewan sekolah. "Oh," kata Ron. "Tapi katamu Buckbeak bukan Hippogriff jahat, Hagrid. Pasti dia bisa lolos..." "Kau tak tahu para gargoyle di Komite Pemunahan Satwa Berbahaya!" kata Hagrid tersendat, seraya menyeka mata dengan lengan bajunya. "Mereka benci binatang menarik!" Bunyi mendadak dari sudut pondok Hagrid mem-buat Harry, Ron, dan Hermione langsung menoleh. Buckbeak si Hippogriff berbaring di sudut, mengunyah-ngunyah sesuatu yang darahnya berleleran di lantai. "Aku tak bisa tinggalkan dia ditambatkan di luar pada hari bersalju begini!" Hagrid tersedu. "Sendirian! Natal, lagi!" Harry, Ron, dan Hermione berpandangan. Mereka belum pernah mufakat sepenuhnya dengan Hagrid tentang apa yang disebutnya "binatang-binatang me-narik" dan oleh orang lain dianggap "monster-mon-ster mengerikan". Sebaliknya, tampaknya Buckbeak oke-oke saja. Bahkan, bagi standar Hagrid, dia jelas termasuk binatang imut. "Kau harus mengajukan pembelaan yang kuat, Hagrid," kata Hermione, seraya duduk dan meletak-kan tangannya di lengan bawah Hagrid yang besar. "Aku yakin kau bisa membuktikan Buckbeak tidak berbahaya." "Takkan ada bedanya!" isak Hagrid. "Setan-setan Komite Pemunahan itu, mereka semua dalam saku Lucius Malfoy! Takut padanya! Dan kalau aku kalah dalam perkara ini, Buckbeak..." Hagrid menggerakkan jari seolah memotong leher-nya, kemudian menggerung keras dan menggelosor ke depan, menelungkupkan wajah di atas lengannya. "Bagaimana dengan Dumbledore, Hagrid?" tanya Harry. "Dia sudah berbuat lebih dari cukup untukku," keluh Hagrid. "Sudan kelewat sibuk tahan Dementor agar tidak masuk kastil, dan Sirius Black berkeliar-an... Ron dan Hermione langsung memandang Harry, mengira Harry akan segera mencaci maki Hagrid karena tidak berterus terang kepadanya tentang Black. Tetapi Harry tak tega melakukannya, apalagi sekarang dia melihat Hagrid begitu sedih dan ketakutan. "Dengar, Hagrid," katanya, "kau tak boleh me-nyerah. Hermione benar, kau cuma perlu pembelaan yang baik. Kau boleh memanggil kami sebagai saksi..." "Aku yakin pernah membaca kasus tentang penye-rangan Hippogriff," kata Hermione mengingat-ingat, "dan dalam kasus itu si Hippogriff berhasil bebas. Aku akan mencarikannya untukmu, Hagrid, dan membaca-nya untuk mengetahui apa yang sebetulnya terjadi." Hagrid melolong semakin keras. Harry dan Hermione memandang Ron meminta bantuan. "Eh-bagaimana kalau kubuatkan teh?" Ron me-nawari. Harry memandangnya keheranan. "Itu yang dilakukan Mum kalau ada yang sedih," gumam Ron, mengangkat bahu. Akhirnya, setelah diberi banyak janji akan dibantu, dengan secangkir teh mengepul di depannya, Hagrid membuang ingus dengan saputangan selebar taplak meja dan berkata, "Kalian benar. Tak boleh aku hancur begini. Aku harus kuat..." Fang-si anjing besar pemburu babi hutan-muncul takut-takut dari kolong meja dan meletakkan kepala-nya di pangkuan Hagrid. "Belakangan ini aku kacau," kata Hagrid, membelai Fang dengan satu tangan dan mengusap wajahnya dengan tangan yang lain. "Cemas pikirkan Buckbeak dan tak ada yang suka pelajaranku..." "Kami suka!" Hermione langsung berbohong. "Yeah, pelajaranmu hebat!" kata Ron, menyilangkan jari di bawah meja. "Eh-bagaimana Cacing Flobber-nya?" "Mati," kata Hagrid muram. "Terlalu banyak selada." "Aduh, kasihan!" kata Ron, bibirnya berkedut. "Dan Dementor-dementor itu bikin aku merasa sa-ngat tidak enak," kata Hagrid yang mendadak ber-gidik. "Harus lewati mereka tiap kali aku mau minum di Three Broomsticks. Rasanya seperti kembali ke Azkaban..." Dia diam,meneguk tehnya. Harry, Ron, dan Hermione menahan napas memandangnya. Mereka belum pernah mendengar Hagrid bicara tentang pe-nahanan singkatnya di Azkaban. Setelah diam sejenak, Hermione bertanya takut-takut, "Apakah di sana me-ngerikan, Hagrid?" "Kalian tak bisa bayangkan," kata Hagrid pelan. "Tak ada tempat lain seperti itu. Kupikir aku akan gila. Hal-hal mengerikan bermunculan di pikiranku... hari aku dikeluarkan dari Hogwarts... hari ayahku meninggal... hari aku harus lepaskan Norbert..." Matanya berkaca-kaca. Norbert adalah bayi naga yang dimenangkan Hagrid dalam permainan kartu. "Kau tak ingat lagi siapa dirimu setelah beberapa waktu. Dan kau tak tahu lagi apa gunanya hidup. Di sana aku berharap aku mati waktu tidur... waktu mereka bebaskan aku, rasanya seperti dilahirkan kembali, semuanya jadi kuingat lagi. Itu perasaan paling menyenangkan di seluruh dunia. Tapi para Dementor tak suka aku bebas." "Tapi kau kan tidak bersalah!" kata Hermione. Hagrid mendengus. "Kaupikir itu ada artinya bagi mereka? Mereka tak peduli. Asal mereka punya bebe-rapa ratus manusia yang dikurung di sana, supaya mereka bisa sedot kebahagiaannya, mereka tak peduli siapa yang bersalah siapa yang tidak." Hagrid diam sejenak, menatap tehnya. Kemudian dia berkata pelan, "Aku sudah pikir mau lepaskan Buckbeak... coba suruh dia terbang jauh... tapi bagai-mana kau bisajelaskan pada Hippogriff dia harus sembunyi? Dan... dan aku takut melanggar hukum..." Dia mendongak menatap mereka, air matanya bercucuran lagi. "Aku tak mau kembali ke Azkaban." Kunjungan ke pondok Hagrid, walaupun jauh dari menyenangkan, membawa dampak yang diharapkan Ron dan Hermione. Meskipun Harry sama sekali tidak melupakan Black, dia tak bisa terus-menerus memikirkan balas dendam kalau dia ingin membantu Hagrid memenangkan perkaranya melawan Komite Pemunahan Satwa Berbahaya. Dia, Ron, dan Hermione ke perpustakaan keesokan harinya dan kembali ke ruang rekreasi yang kosong dengan membawa se-tumpuk buku yang mungkin bisa membantu menyiap-kan pembelaan untuk Buckbeak. Ketiganya duduk di depan perapian yang berkobar, pelan-pelan membalik-balik halaman buku-buku berdebu tentang kasus-kasus terkenal binatang-binatang perusak, kadang-kadang saja bicara, kalau kebetulan menemukan sesuatu yang mungkin ada hubungannya dengan perkara Buckbeak. "Ini... ada perkara di tahun 1722... tapi Hippogriff-nya dihukum... urgh, lihat apa yang dilakukan ter-hadapnya, sungguh menjijikkan..." "Ini mungkin bisa membantu-seekor Manticore menyerang orang dengan buas pada tahun 1296, dan mereka membiarkan si Manticore bebas-oh-tidak, soalnya karena semua orang sangat ketakutan dan tak ada yang berani mendekatinya..." Sementara itu, di bagian-bagian lain kastil, dekorasi Natal yang luar biasa indahnya sudah terpasang, meskipun hanya sedikit sekali anak yang bisa me-nikmatinya. Rangkain tebal-panjang holly dan mistle-toe dipasang sepanjang koridor- koridor, cahaya miste-rius bersinar dari dalam semua baju zirah, dan Aula Besar dipenuhi dua belas pohon Natal-nya yang biasa, berkelap-kelip dengan bintang-bintang emas. Harum masakan lezat memenuhi koridor-koridor, dan ketika Malam Natal tiba, harum masakan itu begitu kuatnya sehingga bahkan Scabbers pun menjulurkan hidung-nya dari dalam lindungan saku Ron, mengendus-endus udara penuh harap. Pagi Hari Natal-nya, Harry terbangun oleh Ron yang melemparka n bantal kepadanya. "Oiii! Hadiah!" Harry menjangkau kacamatanya dan memakainya, menyipitkan mata menembus keremangan ke kaki tempat tidurnya. Di tempat itu setumpuk kecil hadiah telah muncul. Ron sudah mulai merobek bungkus hadiahnya sendiri. "jumper dari Mum... merah lagi... coba lihat kau dapat tidak." Harry juga mendapat hadiah jumper. Mrs Weasley mengiriminya jumper merah sewarna dengan seragam Quidditch-nya dengan gambar singa Gryffindor terajut di bagian dadanya, juga selusin pai daging cincang, kue-kue Natal, dan sekotak kacang renyah. Ketika dia menyisihkan hadiah-hadiah ini ke tepi, dia melihat bungkusan panjang pipih tergeletak di bawahnya. "Apa itu?" tanya Ron, melongok, tangannya masih memegang sepasang kaus kaki merah yang baru dibuka bungkusnya. "Tahu..." Harry membuka bungkusan itu dan terperangah melihat sapu indah berkilau terguling di atas tempat tidurnya. Ron menjatuhkan kaus kakinya dan me-lompat dari tempat tidurnya agar bisa melihat lebih jelas. "Aku tak percaya," katanya parau. Sapu itu Firebolt, persis sama dengan sapu impian yang pernah setiap hari ditengok Harry di Diagon Alley. Gagangnya berkilauan ketika dia mengangkat-nya. Harry bisa merasakan getaran sapu itu. ia me-lepasnya. Sapu itu melayang di udara, tanpa dipe-gangi, pada ketinggian yang pas untuk dinaikinya. Mata Harry bergerak dari nomor registrasi emas di ujung gagang ke ranting-ranting birch lurus halus yang membentuk ekor sapunya. "Siapa yang mengirimnya kepadamu?" tanya Ron terkesima. "Coba lihat ada kartunya atau tidak," kata Harry. Ron merobek tuntas kertas pembungkus Firebolt itu. "Tak ada! Buset, siapa yang bersedia mengeluarkan begitu banyak uang untukmu?" "Yah," sahut Harry takjub. "Taruhan, pasti bukan keluarga Dursley" "Menurutku pasti Dumbledore," kata Ron, sekarang berjalan mengelilingi Firebolt, memeriksanya senti demi senti. "Dia mengirimimu Jubah Gaib secara anonim..." "Tapi itu jubah ayahku," kata Harry. "Dumbledore cuma menyampaikannya padaku. Dia tak akan meng-hamburkan ratusan Galleon untukku. Mana mungkin dia memberi hadiah macam ini kepada murid-mu-rid..." "Makanya dia tidak menyebutkan hadiah itu dari dia!" kata Ron. "Supaya orang seperti Malfoy tidak menuduhnya pilih kasih. Hei, Harry..." Ron terbahak. "Malfoy! Tunggu sampai dia melihatmu naik sapu ini. Dia bisa pingsan! Ini sapu standar internasional lho!" "Aku tak bisa percaya!" gumam Harry, mengelus gagang Firebolt-nya, sementara Ron terenyak di tem-pat tidur Harry, tergelak-gelak memikirkan bagaimana reaksi Malfoy. "Siapa...?" "Aku tahu," kata Ron, mengendalikan diri. "Aku tahu siapa yang mengirimnya-Lupin." "Apa?" kata Harry, sekarang ikut tertawa. "Lupin? Yang benar saja, kalau dia punya uang emas sebanyak ini, dia kan bisa beli jubah baru." "Yeah, tapi dia suka padamu," kata Ron. "Dan dia sedang pergi waktu Nimbus-mu hancur. Mungkin saja dia dengar kejadian itu, lalu memutuskan ke Diagon Alley dan membelikan ini untukmu..." "Apa maksudmu dia sedang pergi?" kata Harry. "Dia sedang sakit waktu aku main dalam pertan-dingan itu." "Tapi dia tak ada di rumah sakit," kata Ron. "Aku di sana, membersihkan pispot-pispot sebagai hukuman detensi dari Snape. Ingat?" Harry mengerutkan kening memandang Ron. "Aku tak bisa mengerti bagaimana Lupin sanggup membeli sesuatu seperti ini." "Kalian berdua menertawakan apa sih?" Hermione baru saja masuk, memakai baju tidur dan menggendong Crookshanks yang tampak galak, lehernya dikalungi rangkaian perada kertas emas dan perak. "Jangan bawa dia masuk ke sini!" kata Ron, yang bergegas menyambar Scabbers dari tempat tidurnya dan menjejalkannya ke dalam saku piamanya. Tetapi Hermione tidak mendengarkannya. Dia menurunkan Crookshanks di atas tempat tidur kosong Seamus dan ternganga menatap Firebolt. "Oh, Harry Siapa yang mengirimimu itu?" "Tak tahulah," kata Harry. "Tak ada kartu atau keterangan apa pun di dalam bungkusnya." Betapa herannya dia, Hermione tidak kelihatan ber-gairah ataupun kagum mendengar ini. Sebaliknya, wajahnya menjadi keruh, dan dia menggigit bibirnya. "Kenapa sih kau?" kata Ron. "Entahlah," kata Hermione perlahan, "tapi agak aneh, kan? Maksudku, ini sapu bagus, kan?" Ron menghela napas jengkel. "Ini sapu paling bagus di dunia, Hermione," komentarnya. "Jadi, pasti mahal sekali..." "Mungkin lebih mahal dari total harga semua sapu Slytherin," kata Ron senang. "Nah... siapa yang mengirimi Harry barang semahal itu tanpa memberitahukan namanya?" kata Hermione. "Peduli amat," tukas Ron tak sabar. "Eh, Harry, boleh aku mencobanya? Boleh?" "Kurasa tak ada yang boleh menaiki sapu itu dulu!" kata Hermione nyaring. Harry dan Ron memandangnya. "Menurutmu buat apa sapu itu-menyapu lantai?" kata Ron. Tetapi sebelum Hermione bisa menjawab, Crookshanks melompat dari tempat tidur Seamus, tepat ke dada Ron. "KELUARKAN-DIA-DARI-SINI!" gerung Ron, sementara cakar Crookshanks merobekkan piamanya dan Scabbers mencoba kabur melewati bahunya. Ron menyambar ekor Scabbers dan melempar tendangan ke arah Crookshanks. Tendangannya luput dan malah mengenai koper kayu di kaki tempat tidur Harry, membuat koper itu terguling dan Ron sendiri me-lompat-lompat di tempat, meraung-raung kesakitan. Bulu-bulu Crookshanks mendadak berdiri. Suitan nyaring melengking memenuhi kamar. Teropong-Curiga Saku terlepas dari kaus kaki usang Paman Vernon dan berpusar serta berkilauan di lantai. "Aku sudah lupa punya ini!" kata Harry, mem-bungkuk memungut teropongnya. "Aku tak pernah memakai kaus kaki ini kalau tidak terpaksa..." Teropong-Curiga itu berpusar dan melengking di atas telapak tangannya. Crookshanks mendesis-desis dan menggeram ke arahnya. "Mendingan bawa keluar kucing itu dari sini, Hermione," kata Ron berang. Dia duduk di tempat tidur Harry, memijat-mijat jari kakinya. "Apa kau tidak bisa membuatnya diam?" dia menambahkan pada Harry sementara Hermione meninggalkan kamar mereka. Mata kuning Crookshanks masih menatap galak Ron. Harry menjejalkan Teropong-Curiga itu ke dalam kaus kaki lagi dan melemparnya ke dalam kopernya. Yang terdengar sekarang hanyalah rintihan dan umpatan kemarahan Ron. Scabbers meringkuk di tangan Ron. Sudah cukup lama Harry tidak melihat-nya keluar dari saku Ron, dan dia heran sekali melihat Scabbers, yang dulunya gemuk sekali, sekarang kurus kering. Bagian-bagian tertentu tubuhnya botak karena bulunya rontok. "Dia kayaknya sakit, ya," komentar Harry. "Gara-gara stres sih!" timpal Ron. "Dia akan baik lagi kalau kucing bego itu tidak mengganggunya!" Tetapi Harry ingat wanita di Magical Menagerie pernah mengatakan tikus hanya hidup sampai tiga tahun. Mau tak mau Harry berpikir bahwa, kecuali Scabbers punya kekuatan gaib yang selama ini di-sembunyikannya, dia sebetulnya sudah mendekati akhir hidupnya. Dan walaupun Ron sering mengeluh Scabbers membosankan serta tak berguna, Harry yakin Ron akan sedih sekali kalau Scabbers mati. Semangat Natal nyata sekali sangat tipis di ruang rekreasi Gryffindor pagi itu. Hermione telah me-ngurung Crookshanks di dalam kamarnya, tetapi dia masih marah pada Ron karena Ron tadi mencoba menendang kucingnya. Ron sendiri juga masih menggerutu menyesali usaha Crookshanks untuk melahap Scabbers. Harry menyerah dan tak berusaha lagi mendamaikan keduanya. Dia menyibukkan diri dengan memeriksa Firebolt, yang dibawanya turun ke ruang rekreasi. Anehnya, ini kelihatannya juga membuat jengkel Hermione. Hermione tidak mengata-kan apa-apa, tetapi dia tak henti-hentinya me mandang Firebolt dengan galak, seakan sapu itu ikut menyalah-kan kucingnya. Saat makan siang tiba, mereka turun ke Aula Besar. Keempat meja besar asrama sudah dirapatkan ke dinding lagi, dan sebuah meja yang disiapkan untuk dua belas orang, berdiri di tengah ruangan. Profesor Dumbledore, McGonagall, Snape, Sprout, dan Flitwick ada di sana, begitu juga Filch, si penjaga sekolah, yang telah melepas jas cokelatnya yang biasa dan kini memakai jas-buntut sangat usang dan agak berjamur. Hanya ada tiga murid lain: dua anak kelas satu yang tampak sangat gelisah dan anak Slytherin kelas lima bertampang cemberut. "Selamat Hari Natal!" kata Dumbledore, ketika Harry, Ron, dan Hermione mendekati meja. "Karena kita cuma bersedikit sekali, tak ada gunanya meng-gunakan meja-meja asrama... duduklah, duduklah!" Harry, Ron, dan Hermione duduk bersebelahan di ujung meja. "Petasan!" kata Dumbledore antusias, mengulurkan ujung petasan perak besar kepada Snape, yang meng-ambilnya dengan enggan dan menariknya. Dengan bunyi dor keras seperti letusan senapan, petasan itu meledak dan di dalamnya ternyata ada topi sihir berbentuk kerucut dengan burung-burungan nasar di puncaknya. Harry yang teringat pada Boggart, berpandangan dengan Ron dan keduanya nyengir. Bibir Snape me-nipis. Didorongnya topi itu ke arah Dumbledore, yang langsung mencopot topinya sendiri dan memakainya. "Ayo mulai!" dia mengajak yang hadir, tersenyum kepada semua. Ketika Harry sedang menyendok kentang panggang, pintu Aula Besar terbuka lagi. Profesor Trelawney muncul, meluncur ke arah mereka seakan di atas roda. Dia memakai gaun hijau berpayet u ntuk meng-hormati hari besar ini, membuatnya semakin kelihatan seperti capung besar yang berkilauan. "Sybill, sungguh kejutan yang menyenangkan!" kata Dumbledore seraya berdiri. "Aku tadi sedang mengamati bola kristalku, Kepala Sekolah," kata Profesor Trelawney dengan suaranya yang paling sayup-sayup, "dan betapa herannya aku melihat diriku meninggalkan makan siangku yang kunikmati sendiri dan datang bergabung dengan kalian. Siapakah aku ini sehingga bisa melawan desak-an takdir? Maka aku bergegas meninggalkan menara-ku, dan aku mohon maaf untuk keterlambatanku..." "Tak apa-apa, tak apa-apa," kata Dumbledore, matanya berkilauan. "Biar kuambilkan kursi..." Dan dia menggambar kursi di udara dengan tongkatnya. Kursi itu berputar selama beberapa detik, sebelum jatuh di antara Profesor Snape dan McGonagall. Meskipun demikian, Profesor Trelawney tidak langsung duduk. Matanya yang besar mengitari meja dan mendadak dia memekik pelan. "Aku tak berani, Kepala Sekolah! Kalau aku ikut duduk di meja ini, kita akan bertiga belas! Tak ada yang lebih sial daripada itu! Jangan lupa bahwa kalau tiga belas orang makan bersama, yang pertama bangkit akan mati lebih dulu!" "Kita ambil risiko itu, Sybill," kata Profesor McGonagall habis sabar. "Duduklah, kalkunnya sudah nyaris sedingin batu." Profesor Trelawney ragu-ragu, kemudian duduk di kursi kosong itu. Matanya terpejam dan bibirnya terkatup rapat, seakan mengharap kilat akan me-nyambar meja itu. Profesor McGonagall memasukkan sendok besar ke dalam basi besar yang paling dekat dengannya. "Babat, Sybill?" Profesor Trelawney mengabaikannya. Matanya kini sudah terbuka lagi . Sekali lagi dia memandang meng-itari meja, dan bertanya, "Tetapi di mana Profesor Lupin yang baik?" "Sayang sekali dia sakit lagi," kata Dumbledore, memberi isyarat agar semua orang mulai mengambil makanannya sendiri-sendiri. "Sungguh kasihan, sakit tepat pada Hari Natal." "Tapi tentunya kau sudah tahu itu, Sybill?" kata Profesor McGonagall, alisnya terangkat. Profesor Trelawney melempar pandang sangat dingin kepada Profesor McGonagall. "Tentu saja aku tahu, Minerva," katanya tenang. "Tapi orang kan tidak memamerkan kenyataan bahwa dia tahu segalanya. Aku sering bersikap seakan aku tidak memiliki Mata Batin, agar orang lain tidak cemas." "Pantas saja," kata Profesor McGonagall masam. Suara Profesor Trelawney mendadak tidak sayup-sayup lagi. "Kalau kau harus tahu, Minerva, aku sudah melihat bahwa Profesor Lupin yang malang tidak akan lama bersama kita. Rupanya dia sendiri menyadari, bahwa waktunya singkat. Dia benar-benar kabur waktu aku menawarkan untuk melihat nasibnya dalam bola kristal..." "Wah, wah, kenapa ya," komentar Profesor McGonagall hambar. "Aku meragukan," kata Dumbledore, dengan suara riang tapi bernada agak tinggi, mengakhiri percakapan antara Profesor McGonagall dan Profesor Trelawney, "bahwa Profesor Lupin dalam bahaya. Severus, kau sudah membuatkan Ramuan untuknya lagi?" "Sudah, Kepala Sekolah," jawab Snape. "Bagus," kata Dumbledore. "Kalau begitu tak lama lagi dia pasti sembuh... Derek, kau sudah pernah mencicipi chipolata ini? Enak sekali lho." Wajah anak kelas satu itu langsung merah padam karena disapa oleh Dumbledore dan dia mengambil sepiring sosis dengan tangan gemetar. Profesor Trelawney bersikap nyaris normal sampai menjelang akhir santap Natal itu, dua jam kemudian. Dengan perut kenyang sekali oleh hidangan Natal yang lezat-lezat dan masih memakai topi petasan mereka, Harry dan Ron bangkit lebih dulu dari kursi mereka dan Profesor Trelawney menjerit nyaring. "Astaga. Siapa dari kalian yang bangkit lebih dulu dari kursi kalian? Siapa?" "Entahlah," kata Ron, memandang Harry dengan salah tingkah. "Kurasa tak akan banyak bedanya," kata Profesor McGonagall dingin, "kecuali ada orang gila membawa kapak menunggu di luar pintu untuk membantai orang pertama yang muncul di Aula Depan." Bahkan Ron pun tertawa. Profesor Trelawney tam-pak sangat tersinggung. "Ikut?" Harry bertanya kepada Hermione. "Tidak," gumam Hermione. "Aku perlu bicara sebentar dengan Profesor McGonagall." "Mungkin mau tahu apa dia bisa ambil pelajaran lebih banyak lagi," kata Ron seraya menguap ketika mereka masuk Aula Depan, yang sama sekali tak ada orang-gila-berkapaknya. Ketika tiba di lubang lukisan, ternyata Sir Cadogan sedang asyik berpesta Natal dengan dua rahib, bebe-rapa mantan kepala sekolah Hogwarts, dan kuda poninya yang gemuk. Dia mengangkat visor ketopong-nya dan menyalami mereka dengan mengangkat botol gemuk berleher pendek berisi arak. "Selamat-h ik-Hari-hik-Natal! Kata kunci?" "Anjing kudisan," jawab Ron. "Untukmu juga, Sir!" teriak Sir Cadogan ketika lukisan mengayun ke depan membuat jalan masuk bagi mereka. Harry langsung ke kamarnya, mengambil Firebolt dan perangkat Peralatan Perawatan Sapu hadiah ulang tahunnya dari Hermione, membawa keduanya ke ruang rekreasi, dan berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dilakukannya pada sapunya. Meskipun demikian, tak ada ranting bengkok yang perlu dirapi-kan, dan gagangnya sudah amat berkilau sehingga tak ada gunanya lagi menggosoknya. Maka dia dan Ron cuma duduk mengagumi sapu itu dari segala sudut, sampai lubang lukisan terbuka, dan Hermione masuk, diikuti Profesor McGonagall. Meskipun Profesor McGonagall kepala asrama Gryffindor, hanya satu kali Harry pernah melihatnya di ruang rekreasi, dan itu untuk menyampaikan peng-umuman yang sangat penting. Harry dan Ron me-mandangnya keheranan, keduanya memegangi Firebolt. Hermione berjalan menghindari mereka, duduk, mengambil buku yang paling dekat dengan-nya, dan menyembunyikan wajah di baliknya. "Jadi, ini sapunya?" kata Profesor McGonagall seraya berjalan mendekati perapian dan mengawasi Firebolt itu dengan tajam. "Miss Granger baru saja memberitahuku bahwa kau mendapat kiriman sapu, Potter." Harry dan Ron menoleh memandang Hermione. Mereka bisa melihat dahinya memerah di atas buku-nya, yang terbalik. "Boleh aku lihat?" tanya Profesor McGonagall, tetapi dia tidak menunggu jawaban. Dia langsung menarik Firebolt dari tangan mereka. Dia menelitinya hati-hati dari ujung gagangnya sampai ujung ranting-ran-tingnya. "Hmm. Dan sama sekali tak ada keterangan apa-apa, Potter? Tak ada kartu? Tak ada pesan apa pun?" "Tidak," kata Harry tak mengerti. "Begitu...," kata Profesor McGonagall. "Yah, ter-paksa aku harus membawanya, Potter." "A-apa?" kata Harry geragapan berdiri. "Kenapa?" "Harus diperiksa kalau-kalau dimasuki sihir jahat," kata Profesor McGonagall. "Tentu saja, aku bukan ahlinya, tetapi bisa kupastikan Madam Hooch dan Profesor Flitwick akan memeretelinya..." "Memeretelinya?" Ron mengulangi, seakan Profesor McGonagall sudah gila. "Cuma akan makan waktu beberapa minggu," kata Profesor McGonagall. "Kau akan menerimanya kembali jika kami sudah yakin sapu ini bebas sihir jahat." "Sapu itu tidak apa-apa, Profesor!" kata Harry. Suaranya agak bergetar. "Sungguh, Profesor..." "Kau tak bisa tahu itu, Potter," kata Profesor McGonagall, cukup lembut. "Tak akan tahu sampai kau menerbangkannya, paling tidak, dan kurasa itu jelas tak boleh, sampai kami yakin sapu itu tidak dimasuki sihir jahat. Aku akan rutin memberitahumu." Profesor McGonagall berbalik dan membawa keluar Firebolt melewati lubang lukisan, yang menutup di belakangnya. Harry berdiri diam menatapnya, tangan-nya masih memegang kaleng Penggosok Super. Tetapi Ron langsung memarahi Hermione. "Ngapain kau ngadu pada McGonagall?" Hermione melempar bukunya. Wajahnya masih merah padam, tetapi dia bangkit dan menghadapi Ron dengan gagah. "Karena menurutku-dan Profesor McGonagall se-pakat denganku-sapu itu mungkin dikirim kepada Harry oleh Sirius Black!" 12 Patronus HARRY tahu Hermione bermaksud baik, tetapi itu tidak membuatnya tidak marah kepada Hermione. Dia telah menjadi pemilik sapu paling bagus di dunia selama beberapa jam, dan sekarang, gara-gara campur tangan Hermione, dia tak tahu apakah dia akan me-lihat sapunya lagi. Dia yakin tak ada yang salah dengan Firebolt-nya, tetapi bagaimana keadaannya nanti jika sapu itu sudah dijadikan objek berbagai tes anti-sihir-jahat? Ron juga gusar sekali pada Hermione. Menurut pendapatnya, pemeretelan Firebolt baru setingkat dengan tindak kriminal, Hermione, yang tetap yakin yang dilakukannya adalah yang terbaik, mulai meng-hindari ruang rekreasi. Harry dan Ron menduga dia mencari perlindungan di perpustakaan, dan mereka tidak berusaha membujuknya agar meninggalkan tem-pat itu. Mengingat ini semua, mereka senang ketika teman-teman mereka yang lain kembali ke sekolah tak lama setelah Tahun Baru, dan Menara Gryffindor menjadi penuh dan bising lagi. Oliver Wood mencari Harry pada malam sebelum semester baru mulai. "Natal-mu menyenangkan?" katanya, dan kemudian, tanpa menunggu jawaban, dia duduk, merendahkan suaranya, dan berkata, "Aku sudah berpikir selama liburan Natal, Harry. Sesudah pertandingan yang ter-akhir, kau tahu, kan. Kalau Dementor-dementor datang ke pertandingan berikutnya... maksudku... riskan sekali bagi regu kita kalau kau-yah..." Wood berhenti, serbasalah. "Aku sedang berusaha mengatasinya," kata Harry cepat-cepat. "Profesor Lupin berjanji akan melatihku menangkal Dementor. Kami mestinya mulai minggu ini, dia bilang dia punya waktu sesudah Natal." "Ah," kata Wood, wajahnya berubah cerah. "Yah, kalau begitu-aku sebetulnya tak mau kehilangan kau sebagai Seeker, Harry. Dan sudahkah kau meme-san sapu baru?" "Belum," kata Harry. "Apa! Sebaiknya kau segera pesan- mana mungkin kau naik Bintang Jatuh untuk menghadapi Ravenclaw!" "Dia mendapat Firebolt sebagai hadiah Natal," kata Ron. "Firebolt? Tak mungkin! Yang benar? Firebolt asli?" "Jangan keburu senang dulu, Oliver," kata Harry muram. "Sapu itu tak ada padaku lagi. Disita." Dan dia menjelaskan bagaimana Firebolt itu sekarang sedang dicek kalau-kalau dimasuki sihir jahat. "Sihir jahat? Bagaimana bisa disihir jahat?" "Sirius Black," jawab Harry lesu. "Dia kan katanya mengejarku. Jadi McGonagall menduga mungkin dia yang mengirimnya padaku." Mengabaikan informasi bahwa pembunuh terkenal sedang mengejar Seeker-nya, Wood berkata, "Tetapi mana mungkin Black membeli Firebolt. Dia kan pe-larian! Seluruh negeri sedang mencarinya! Bagaimana mungkin dia bisa masuk ke Peralatan Quidditch Ber-kualitas dan membeli sapu?" "Aku tahu," kata Harry "tapi McGonagall tetap ingin memereteli sapuku..." Wood langsung pucat. "Aku akan menemuinya dan bicara padanya, Harry" dia berjanji. "Aku akan membuatnya mem-pertimbangkan dengan pikiran yang sehat... Firebolt... Firebolt asli, dalam tim kita... dia ingin Gryffindor menang, sama inginnya seperti kita... aku akan mem-buatnya berpikir dengan akal sehat... Firebolt..." Sekolah mulai lagi keesokan harinya. Yang paling tidak diinginkan anak-anak adalah melewatkan dua jam di udara terbuka pada pagi Januari yang dingin. Tetapi Hagrid telah menyediakan api unggun penuh salamander untuk membuat mereka senang, dan me-reka melewatkan dua jam pelajaran yang sangat me-nyenangkan dengan mengumpulkan kayu dan de-daunan kering untuk menjaga agar api tetap berkobar, sementara kadal-kadal pecinta api itu berlarian naik-turun batang kayu yang membara bernyala-nyala. Pelajaran Ramalan pertama dalam semester baru ini tak seasyik pelajaran Hagrid. Profesor Trelawney se-karang mengajar mereka rajah tangan dan tanpa basa-basi dia memberitahu Harry bahwa Harry memiliki garis hidup terpendek yang pernah dilihatnya. Pelajaran Pertahanan terhadap Ilmu Hitam-lah yang ditunggu-tunggu Harry setelah percakapannya dengan Wood. Dia sudah ingin memulai pelajaran Anti-Dementor-nya sesegera mungkin. "Ah, ya," kata Lupin, ketika Harry mengingatkan-nya pada akhir pelajaran. "Sebentar kucek... bagai-mana kalau Kamis malam pukul delapan? Ruang kelas Sejarah Sihir mestinya cukup besar... aku harus berhati-hati memikirkan bagaimana kita melakukan-nya... kita tak bisa membawa Dementor asli ke dalam kastil untuk berlatih..." "Kelihatannya dia masih sakit, ya?" kata Ron, se-mentara mereka berjalan menyusuri koridor untuk makan malam. "Menurutmu sakit apa sih?" Terdengar puh keras dan tak sabar dari belakang mereka. Ternyata Hermione, yang duduk di kaki baju zirah, membereskan tasnya, yang begitu penuh buku sehingga tak bisa ditutup. "Kenapa kau mem-puh kami?" tanya Ron jengkel. "Tidak kenapa-napa," kata Hermione angkuh, dengan susah payah mengangkat tasnya ke bahu. "Tapi kau bilang puh," kata Ron. "Aku bertanya Lupin sakit apa, dan kau..." "Bukankah sudah jelas?" tukas Hermione, dengan pandangan sok tahu yang sangat menjengkelkan. "Kalau tidak mau kasih tahu, ya tidak usah," bentak Ron. "Baik," kata Hermione sombong, seraya pergi. "Dia tidak tahu," kata Ron, memandang Hermione dengan sebal. "Dia cuma berusaha supaya kita bicara lagi dengan dia." Kamis malam pukul delapan, Harry meninggalkan Menara Gryffindor menuju ke kelas Sejarah Sihir. Ruangan itu gelap dan kosong waktu dia tiba, tetapi dia menyalakan lampu dengan tongkatnya dan hanya menunggu sepuluh menit sebelum Profesor Lupin muncul, menenteng kotak besar, yang dengan susah payah dinaikkannya ke atas meja Profesor Binns. "Apa itu?" tanya Harry. "Boggart yang lain," kata Lupin, seraya membuka mantelnya. "Aku mencari di seluruh kastil sejak Selasa, dan untung sekali, aku menemukan Boggart yang satu ini sembunyi di dalam lemari arsip Mr Filch. Boggart-lah yang bisa menjadi paling mirip dengan Dementor asli. Si Boggart akan berubah men-jadi Dementor begitu melihatmu, jadi kita bisa berlatih dengannya. Aku bisa menyimpannya di dalam kantor-ku kalau sedang tidak kita pakai. Ada lemari di bawah mejaku yang pasti disukainya." "Baiklah," kata Harry, berusaha berbicara seakan dia tidak takut dan malah senang Lupin berhasil menemu-kan pengganti Dementor asli yang begitu bagus. "Jadi..." Profesor Lupin sudah mengeluarkan tong-katnya dan memberi isyarat agar Harry juga melaku-kan yang sama. "Mantra yang akan kucoba ajarkan padamu adalah sihir tingkat sangat tinggi, Harry-jauh di atas Level Sihir Umum. Namanya Mantra Patronus." "Bagaimana cara kerjanya?" tanya Harry gugup. "Yah, kalau berhasil, dia menghasilkan Patronus," kata Lupin. "Patronus itu sejenis Anti-Dementor- pelindung yang bertindak sebagai tameng di antara kau dan Dementor." Di benak Harry mendadak muncul bayangan diri-nya meringkuk di belakang sosok sebesar Hagrid yang memegangi pentungan besar. Profesor Lupin melanjutkan, "Patronus ini sejenis kekuatan positif, proyeksi hal-hal yang menjadi makanan Dementor- harapan, kebahagiaan, keinginan bertahan hidup- tetapi dia tak bisa merasakan keputusasaan seperti yang dirasakan manusia, maka Dementor tidak bisa menyakitinya. Tetapi aku harus memperingatkanmu, Harry, bahwa mantra ini mungkin terlalu tinggi bagi-mu. Banyak penyihir berkualitas mengalami kesulitan belajar Patronus." "Seperti apa Patronus itu?" tanya Harry ingin tahu. "Masing-masing unik, tergantung penyihir yang me-munculkannya." "Dan bagaimana cara memunculkannya?" "Dengan mantra, yang hanya berhasil jika kau berkonsentrasi, sekhusyuk mungkin, pada satu saja ke-jadian yang sangat menyenangkan." Harry mengingat-ingat apa yang bisa dianggapnya kejadian sangat menyenangkan. Jelas, yang dialaminya di rumah keluarga Dursley tak bisa digunakan. Akhir-nya dia memutuskan saat dia pertama kali naik sapu. "Baiklah," katanya, berusaha mengingat setepat mungkin perasaan hangat, melayang, sangat menye-nangkan dalam perutnya. "Mantranya begini..." Lupin berdeham, "expecto patronum!" "Expecto patronum," Harry mengulang perlahan, "expecto patronum." "Konsentrasi sepenuhnya pada kejadian yang me-nyenangkan?" "Oh-yeah...," kata Harry, cepat-cepat memusatkan kembali pikirannya pada terbang-pertamanya dengan sapu. "Expecto patrono-eh, patronum-maaf-expecto patronum, expecto patronum..." Sesuatu mendadak mendesau dari ujung tongkat-nya. Kelihatannya seperti gumpalan asap keperakan. "Anda lihat itu?" ujar Harry bergairah. "Terjadi se-suatu." "Bagus sekali," kata Lupin, tersenyum. "Baiklah- siap mencobanya pada Dementor?" "Ya," jawab Harry, menggenggam tongkatnya erat-erat, dan melangkah ke tengah ruang kelas yang kosong. Dia mencoba berkonsentrasi pada perasaan senangnya saat terbang, tetapi berulang-ulang ada yang memecah konsentrasinya... setiap saat, dia bisa mendengar jeritan ibunya lagi... tetapi dia tak boleh memikirkan itu, nanti dia malah benar-benar men-dengarnya lagi, dan dia tak ingin... ataukah sebetul-nya dia ingin? Lupin meraih tutup kotak dan membukanya. Dementor perlahan muncul dari dalamnya, wajah-nya yang berkerudung menghadap ke arah Harry, salah satu tangan bersisik berkilat mencengkeram jubahnya. Lampu-lampu di sekeliling kelas berkedip lalu padam. Si Dementor melangkah keluar dari dalam kotaknya dan melayang menuju Harry, bunyi napas-nya berkeretekan. Gelombang dingin menusuk menye-limuti Harry... "Expecto patronum!" teriak Harry. "Expecto patronum! Expecto..." Tetapi kelas dan si Dementor menjadi samar-samar... Harry terjatuh lagi dalam kabut putih tebal, dan suara ibunya lebih keras dari sebelumnya, ber-gaung dalam kepalanya... "Jangan Harry! Jangan Harry! Saya mohon-saya bersedia melakukan apa saja..." "Minggir-minggir, perempuan..." "Harry!" Harry tersentak sadar kembali. Dia menelentang di lantai. Lam pu-lampu di dalam kelas sudah menyala lagi. Dia tak perlu bertanya apa yang telah terjadi. "Maaf," gumamnya, seraya duduk. Dirasakannya keringat dingin menetes di balik kacamatanya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Lupin. "Tidak..." Harry bertumpu pada salah satu meja dan berdiri, lalu bersandar ke meja itu. "Ini..." Lupin menyodorkan Cokelat Kodok. "Makanlah ini dulu sebelum kita mencoba lagi. Aku memang tidak mengharap kau bisa melakukannya dengan sekali coba. Aku malah akan heran sekali kalau kau bisa." "Lebih parah dari biasanya," gumam Harry meng-gigit kepala Cokelat Kodok-nya. "Saya bisa mendengar ibu saya lebih keras dari biasanya-dan dia- Voldemort..." Lupin tampak lebih pucat dari biasanya. "Harry, jika kau tak mau meneruskan, aku paham sekali..." "Saya ingin meneruskan!" kata Harry tegas, men-jejalkan sisa Cokelat Kodok ke dalam mulutnya. "Saya harus meneruskannya! Bagaimana kalau Dementor-dementor muncul dalam pertandingan kami melawan Ravenclaw? Saya tak boleh jatuh lagi. Kalau kami kalah dalam pertandingan ini, kami kehilangan Piala Quidditch!" "Baiklah kalau begitu...," kata Lupin. "Kau mung-kin ingin memilih kejadian menyenangkan yang lain, maksudku untuk dipakai berkonsentrasi... yang tadi rupanya tidak cukup kuat..." Harry berpikir keras, dan memutuskan perasaannya ketika Gryffindor memenangkan Piala Asrama tahun lalu jelas bisa dikualifikasikan sebagai sangat bahagia. Dia menggenggam erat-erat lagi tongkatnya, dan berdiri di tengah ruangan. "Siap?" kata Lupin, memegang tutup kotak. "Siap," kata Harry, berusaha memenuhi pikirannya dengan kenangan saat Gryffindor menang, dan bukan pikiran mengerikan tentang apa yang akan terjadi jika kotak itu terbuka. "Mulai!" kata Lupin, menarik tutup kotak. Ruangan sekali lagi berubah gelap dan sedingin es. Si Dementor melayang maju, menarik napas berkeretakan; salah satu tangan busuknya terjulur ke arah Harry... "Expecto patronum!" teriak Harry. "Expecto patronum! Expecto pat..." Kabut hitam mengaburkan indranya... sosok-sosok besar tak jelas bergerak di sekitarnya... kemudian terdengar suara baru, suara laki-laki, berteriak panik... "Lily, bawa Harry pergi! Itu dia! Pergilah! Lari! Akan kucoba menahannya..." Bunyi orang yang terhuyung bergegas meninggalkan ruangan-pintu yang terbuka dengan keras-tawa nyaring terbahak... "Harry! Harry... bangun..." Lupin menepuk-nepuk keras wajah Harry. Kali ini, baru semenit kemudian Harry paham kenapa dia terbaring di lantai ruang kelas yang berdebu. "Saya mendengar ayah saya," Harry komat-kamit. "Itu pertama kalinya saya mendengarnya-dia men-coba menghadapi Voldemort sendirian, untuk memberi ibu saya kesempatan lari..." Harry mendadak menyadari ada air mata di wajah-nya, bercampur keringat. Dia menundukkan wajahnya serendah mungkin, menyeka air matanya dengan jubahnya, berpura-pura membetulkan tali sepatunya, agar Lupin tidak melihat. "Kau mendengar James?" kata Lupin, dengan suara janggal. "Yeah..." Wajahnya sudah kering, Harry men-dongak. "Kenapa-Anda tidak kenal ayah saya, kan?" "Ke-kenal, sebetulnya," kata Lupin. "Kami ber-teman di Hogwarts. Dengar, Harry-mungkin sebaik-nya kita berhenti di sini malam ini. Mantra ini tingkat-nya tinggi sekali... aku seharusnya tidak menyarankan kau mempelaj arinya..." "Tidak!" kata Harry. Dia bangkit lagi. "Saya mau mencoba sekali lagi. Kejadian-kejadian yang saya ingat tidak cukup membahagiakan, itulah sebabnya... tung-gu..." Harry mengorek ingatannya. Peristiwa yang betul-betul luar biasa menyenangkan... yang bisa berubah menjadi Patronus bagus yang kuat... Saat dia pertama kali tahu dia penyihir dan akan meninggalkan keluarga Dursley untuk masuk Hogwarts! Kalau itu bukan kenangan indah, dia tak tahu lagi bagaimana yang indah itu... berkonsentrasi penuh pada bagaimana perasaannya ketika dia sadar akan meninggalkan Privet Drive, Harry berdiri dan menghadapi kotak itu sekali lagi. "Siap?" kata Lupin, yang kelihatannya terpaksa melakukannya. "Sudan konsentrasi penuh? Baiklah- mulai!" Dia membuka tutup kotak untuk ketiga kalinya, dan si Dementor muncul dari dalamnya. Ruangan menjadi dingin dan gelap... "EXPECTO PATRONUM!" Harry meraung. "EXPECTO PATRONUM! EXPECTO PATRONUM!" Jeritan-jeritan dalam kepala Harry sudah mulai lagi-hanya saja, kali ini, suara itu kedengarannya keluar dari radio yang gelombangnya meleset. Pelan lalu keras lalu pelan lagi... dan dia masih bisa melihat si Dementor... Dementor itu berhenti... dan kemudian bayang-bayang besar keperakan meluncur keluar dari ujung tongkat Harry, melayang-layang di antara Harry dan Dementor, dan meskipun kaki Harry rasanya seperti air, dia masih berdiri... meskipun dia tak yakin, berapa lama lagi dia bisa bertahan..... "Riddikulus!" teriak Lupin, melompat maju. Terdengar letusan keras, dan Patronus asap Harry lenyap, bersama si Dementor. Harry terenyak ke kursi, lelah sekali seakan baru saja lari satu setengah kilo-meter, kakinya gemetar. Dari sudut matanya dilihatnya Profesor Lupin memaksa si Boggart masuk kembali ke dalam kotaknya dengan tongkatnya. Boggart itu sudah berubah menjadi bola keperakan lagi. "Luar biasa!" kata Lupin, melangkah ke tempat Harry duduk. "Luar biasa, Harry! Permulaan yang bagus sekali!" "Bagaimana kalau kita coba lagi? Sekali lagi saja?" "Tidak sekarang," kata Lupin tegas. "Sudah cukup bagimu untuk semalam. Ini..." Dia mengulurkan sebatang besar cokelat Honeydukes yang paling enak. "Habiskan, kalau tidak Madam Pomfrey akan me-marahiku habis-habisan. Waktu yang sama minggu depan?" "Baiklah," kata Harry. Dia menggigit cokelatnya dan mengawasi Lupin memadamkan lampu-lampu yang telah menyala lagi dengan lenyapnya si Demen-tor. Sesuatu melintas dalam benaknya. "Profesor Lupin?" katanya. "Kalau Anda kenal ayah saya, tentunya Anda kenal Sirius Black juga." Lupin menoleh dengan cepat. "Kenapa kau berpikir begitu?" tanyanya tajam. "Tidak apa-apa-maksud saya, saya tahu mereka juga teman di Hogwarts..." Wajah Lupin rileks lagi. "Ya, aku kenal dia," katanya singkat. "Atau kupikir aku kenal dia. Kau sebaiknya pulang, Harry, sudah malam." Harry meninggalkan ruang kelas itu, berjalan se-panjang koridor dan membelok di sudut, kemudian mengambil jalan putar ke belakang seperangkat baju zirah dan duduk di landasannya untuk menghabiskan cokelatnya. Dia menyesal menyebut-nyebut Black, sebab Lupin kelihatannya tidak suka. Kemudian pikir-an Harry kembali ke ibu dan ayahnya.... Dia merasa lelah dan kosong, walaupun perutnya kenyang cokelat. Meski mengerikan, mendengar saat-saat terakhir orangtuanya diulang dalam kepalanya, ini kesempatannya mendengar suara mereka lagi sejak dia bayi. Tetapi dia tidak akan bisa memunculkan Patronus yang sempurna jika setengahnya dia ingin mendengar orangtuanya lagi... "Mereka sudah meninggal," katanya keras kepada dirinya sendiri. "Mereka sudah meninggal, dan men-dengarkan gaung suara mereka tidak akan membuat mereka hidup lagi. Kau sebaiknya menguasai diri kalau menginginkan Piala Ouidditch." Harry bangkit, menjejalkan sisa cokelat yang tinggal sedikit ke dalam mulutnya dan berjalan menuju Me-nara Gryffindor. Ravenclaw bertanding melawan Slytherin seminggu setelah semester baru dimulai. Slytherin menang, walaupun tipis sekali. Menurut Wood, ini berita bagus untuk Gryffindor, yang akan menduduki tempat kedua jika mereka juga mengalahkan Ravenclaw. Karena itu dia meningkatkan porsi latihan menjadi lima kali seminggu. Ini berarti bah-wa dengan pelajaran Anti-Dementor dari Lupin, yang jauh lebih melelahkan daripada enam kali latihan Quidditch, Harry hanya punya satu malam untuk mengerjakan semua PR-nya. Kendati demikian, dia tidak tampak setegang Hermione yang beban tugasnya tampaknya akhirnya mulai berdampak. Setiap malam, tanpa absen, Hermione tampak di su-dut ruang rekreasi, beberapa meja dipenuhi buku-bukunya, grafik-grafik Arithmancy, kamus-kamus Rune, diagram Muggle yang mengangkat barang-bara ng berat, dan bertumpuk-tumpuk catatan pan-jang. Dia nyaris tak bicara apa pun kepada siapa pun dan marah kalau diganggu. "Bagaimana dia melakukannya?" gumam Ron ke-pada Harry suatu malam, ketika Harry sedang me-nyelesaikan karangan menyebalkan tentang Racun-racun yang Tak Terdeteksi untuk mata pelajaran Snape. Harry mendongak. Hermione nyaris tak tam-pak di balik tumpukan bukunya yang menggunung. "Melakukan apa?" "Ikut semua pelajaran itu!" kata Ron. "Aku men-dengarnya bicara dengan Profesor Vector, guru Arithmancy itu, tadi pagi. Mereka mendiskusikan pe-lajaran hari kemarin, tetapi mana mungkin Hermione ikut Arithmancy kemarin, karena dia bersama kita dalam pelajaran Pemeliharaan Satwa Gaib! Dan Ernie Macmillan memberitahuku dia tak pernah absen pe-lajaran Telaah Muggle, padahal separo pelajaran itu bersamaan dengan Ramalan, dan dia juga tak pernah absen dalam pelajaran Ramalan!" Harry tak punya waktu memikirkan jadwal pe-lajaran Hermione yang misterius saat ini. Dia harus menyelesaikan karangan untuk Snape. Namun, dua detik kemudian dia disela lagi, kali ini oleh Wood. "Kabar buruk, Harry. Aku baru saja menemui Profesor McGonagall, soal Firebolt-mu. Dia-eh-jadi sedikit marah padaku. Menuduh prioritasku keliru. Rupanya dia mengira aku lebih mementingkan me-menangkan Piala daripada keselamatanmu. Hanya karena kukatakan padanya aku tak peduli sapu itu menjungkalkanmu, asal kau sudah menangkap Snitch lebih dulu dengannya." Wood menggelengkan kepala tak percaya. "Buset, caranya berteriak, marah-marah kepadaku... kau akan mengira aku telah meng atakan sesuatu yang mengerikan. Kemudian kutanya dia berapa lama lagi dia akan menahan sapu itu." Wood mengernyitkan muka dan menirukan suara Profesor McGonagall yang galak, '"Selama masih diperlukan, Wood...' Kurasa sudah waktunya kau memesan sapu baru, Harry. Ada formulir pemesanan di belakang buku Sapu yang Mana... kau bisa beli Nimbus Dua Ribu Satu, seperti punya Malfoy." "Aku tidak akan beli barang apa pun yang menurut anggapan Malfoy bagus," kata Harry datar. Tanpa terasa Januari berganti Februari, dan udara masih tetap dingin menusuk. Pertandingan melawan Ravenclaw makin lama makin dekat, tetapi Harry masih belum memesan sapu baru. Sekarang dia menanyai Profesor McGonagall tentang Firebolt-nya setiap usai pelajaran Transfigurasi. Ron berdiri penuh harap di sebelahnya, Hermione melewati mereka dengan wajah berpaling. "Belum, Potter, belum boleh dikembalikan padamu," kata Profesor McGonagall ketika ini terjadi untuk kedua belas kalinya, bahkan sebelum Harry membuka mulut. "Kami sudah memeriksanya untuk sebagian besar kutukan biasa, tetapi Profesor Flitwick menduga sapu itu mungkin dikenai Guna-guna Lempar. Akan kuberitahu kau kalau kami sudah selesai memeriksa-nya. Nah, sekarang, berhentilah menggerecokiku." Parahnya lagi, pelajaran Anti-Dementor Harry tidak berjalan sebaik yang diharapkannya. Setelah lewat beberapa sesi, dia berhasil memunculkan bayangan keperakan tak jelas setiap kali si Boggart-Dementor mendekatinya, tetapi Patronus-nya terlalu lemah untuk mengusir Dementor itu. Yang bisa dilakukannya hanyalah melayang-layang, seperti awan semi-trans-paran, menguras energi Harry sementara dia berjuang membuat Patronus itu tetap bertahan. Harry marah pada dirinya sendiri, merasa bersalah punya keinginan rahasia untuk mendengar suara orangtuanya lagi. "Kau mengharap terlalu banyak dari dirimu sen-diri," kata Profesor Lu pin menegurnya, dalam minggu keempat latihan mereka. "Untuk penyihir tiga belas tahun, bahkan Patronus yang tak jelas bentuknya pun sudah keberhasilan yang hebat. Kau sudah tidak pingsan lagi, kan?" "Saya pikir Patronus akan-mengejar Dementor atau apa," kata Harry putus asa. "Melenyapkan Dementor..." "Patronus yang sebenarnya memang begitu," kata Lupin. "Tetapi kau telah mencapai banyak dalam waktu yang sangat singkat. Jika para Dementor mun-cul dalam pertandingan Quidditch-mu berikutnya, kau akan bisa menahan mereka cukup lama untuk bisa mendarat di tanah." "Anda mengatakan akan lebih sulit jika jumlah mereka banyak," kata Harry. "Aku percaya sepenuhnya padamu," kata Lupin, tersenyum. "Ini-kau layak mendapat minuman. Sesuatu dari Three Broomsticks, kau pasti belum pernah mencicipinya..." Dia mengeluarkan dua botol dari dalam tasnya. "Butterbeer!" celetuk Harry tanpa berpikir. "Yeah, saya suka minuman itu!" Lupin mengangkat sebelah alisnya. "Oh- Ron dan Hermione mengoleh-olehi saya dari Hogsmeade," Harry cepat-cepat berbohong. "Begitu," kata Lupin, meskipun tampaknya dia masih agak curiga. "Nah- marilah kita minum untuk kemenangan Gryffindor terhadap Ravenclaw! Bukan-nya aku memihak, sebagai guru..." buru-buru Lupin menambahkan. Mereka meminum Butterbeer itu dalam diam, sam-pai Harry menyuarakan sesuatu yang sudah meng-ganggu pikirannya selama beberapa waktu ini. "Apa yang ada di bawah kerudung Dementor?" Profesor Lupin menurunkan botolnya sambil me-renung. "Hmmm... yah, orang-orang yang betul-betul tahu, kondisinya tak memungkinkan untuk memberitahu kita. Soalnya begini, Dementor hanya menurunkan kerudungnya untuk menggunakan senjatanya yang paling akhir dan paling mengerikan." "Apa itu?" "Mereka menyebutnya Kecupan Dementor," kata Lupin, tersenyum kecut. "Itu yang dilakukan Dementor kepada orang-orang yang ingin mereka hancurkan sepenuhnya. Kurasa mestinya ada semacam mulut di bawah kerudung itu, karena mereka mencengkeramkan cakar mereka ke mulut si korban-lalu menyedot jiwanya." Sedikit Butterbeer di mulut Harry sampai tersembur. "Apa-mereka membunuh...?" "Oh, tidak," kata Lupin. "Lebih parah daripada itu. Kau masih bisa ada tanpa jiwamu, asal otak dan jantungmu masih berfungsi. Tetapi kau tak lagi punya perasaan, tak punya ingatan, tak punya... apa pun. Sama sekali tak ada kemungkinan sembuh. Kau cuma-ada, sebagai selongsong kosong. Dan jiwamu lenyap selamanya... sirna." Lupin meneguk Butterbeer-nya sedikit lagi, kemudi-an melanjutkan, "Itulah nasib yang menunggu Sirius Black. Ada di Daily Prophet pagi ini. Kementerian sudah memberi izin para Dementor untuk melakukan Kecupan kalau mereka berhasil menemukannya." Harry untuk sesaat terperangah mendengar tentang orang yang jiwanya disedot dari mulutnya. Tetapi kemudian dia memikirkan Black. "Dia pantas mendapat Kecupan Dementor," katanya tiba-tiba. "Menurutmu begitu?" tanya Lupin ringan. "Apakah kau benar-benar berpendapat ada orang yang pantas diperlakukan begitu?" "Ya," kata Harry. "Untuk... perbuatan tertentu..." Dia ingin menceritakan kepada Lupin tentang pembicaraan yang tak sengaja didengarnya di Three Broom-sticks, tentang Black yang mengkhianati ibu dan ayah-nya. Tetapi ini berarti dia harus membuka rahasia bah-wa dia ke Hogsmeade tanpa izin, dan dia tahu Lupin tak akan begitu terkesan dengan itu. Maka dia meng-habiskan Butterbeer-nya, mengucapkan terima kasih kepada Lupin, dan meninggalkan kelas Sejarah Sihir. Harry setengah berharap dia tadi tidak bertanya apa yang ada di bawah kerudung Dementor. Jawaban-nya begitu mengerikan dan benaknya dipenuhi pikiran tak enak tentang bagaimana rasanya jika jiwamu di-sedot dari dalam tubuhmu, sehingga dia menabrak Profesor McGonagall di pertengahan tangga. "Lihat-lihat kalau jalan, Potter!" "Maaf, Profesor..." "Aku baru saja mencarimu di ruang rekreasi Gryffindor. Nah, ini dia, kami telah melakukan segala-nya yang terpikirkan oleh kami, dan tampaknya tak ada yang tak beres dengan sapu ini-kau punya teman baik di suatu tempat, Potter..." Harry ternganga. Profesor McGonagall mengulurkan Firebolt-nya, dan sapu itu kelihatan sama megahnya seperti sebelumnya. "Saya boleh memilikinya kembali?" tanya Harry lemas. "Sungguh?" "Sungguh," kata Profesor McGonagall, dan ia benar-benar tersenyum. "Kurasa kau perlu mencobanya dulu sebelum pertandingan hari Sabtu, kan? Dan, Potter- usahakan menang, ya. Kalau tidak, kita akan kalah selama delapan tahun berturut-turut, seperti yang semalam diingatkan Profesor Snape yang baik kepada-ku..." Tanpa bisa bicara, Harry membawa Firebolt-nya naik ke Menara Gryffindor. Ketika dia berbelok di sudut, dilihatnya Ron berlari ke arahnya, nyengir lebar sekali. "Dia mengembalikannya kepadamu? Bagus sekali! Aku masih boleh mencobanya? Besok pagi?" "Yeah... terserahlah...," kata Harry, hatinya lebih ringan daripada selama sebulan ini. "Eh, Ron-kurasa kita harus baikan dengan Hermione. Dia cuma mencoba menolong..." "Yeah, baiklah," kata Ron. "Dia di ruang rekreasi sekarang-bikin PR, biasa." Mereka berbelok ke koridor yang menuju Menara Gryffindor dan melihat Neville Longbottom memohon-mohon kepada Sir Cadogan, yang rupanya menolak mengizinkannya masuk. "Sudah kutulis," kata Neville, air matanya berlinang, "tapi tulisan itu pasti terjatuh entah di mana!" "Mungkin saja!" raung Sir Cadogan. Kemudian, ketika dia melihat Harry dan Ron, "Selamat malam, pemuda-pemuda temaram! Datanglah, tangkap orang sinting ini, masukkan ke balik jeruji besi, dia memaksa masuk ke dalam kamar ini!" "Oh, diamlah," kata Ron, ketika dia dan Harry sudah tiba di sebelah Neville. "Aku kehilangan kata-kata kuncinya!" Neville mem-beritahu mereka dengan merana. "Kuminta dia mem-beritahu apa saja kata kunci yang akan digunakannya minggu ini, karena dia mengganti terus kata kuncinya, dan aku tak tahu catatanku sekarang di mana!" "Oddsbodikins," kata Harry kepada Sir Cadogan, yang tampak sangat kecewa dan dengan enggan meng-ayun ke depan agar mereka bisa masuk ke ruang rekreasi. Mendadak terdengar gumam-gumam ber-gairah ketika semua kepala menoleh dan saat be-rikutnya, Harry dikerumuni anak-anak yang mengomentari Firebolt-nya. "Dari mana kau mendapatkannya, Harry?" "Boleh aku mencobanya?" "Apa kau pernah menaikinya, Harry?" "Ravenclaw tak akan punya kesempatan, mereka semua naik Sapu-bersih Tujuh!" "Apa aku boleh memegangnya, Harry?" Selama kira-kira sepuluh menit, Firebolt itu diedarkan dan dikagumi dari segala sudut. Baru setelah itu kerumunan bubar dan Harry dan Ron bisa melihat jelas Hermione, saru-satunya anak yang tidak men-datangi mereka, sedang menunduk di atas PR-nya, dan menghindari pandangan mereka. Harry dan Ron mendekati mejanya dan akhirnya, Hermione men-dongak. "Sudah dikembalikan padaku," kata Harry terse-nyum dan mengangkat Firebolt-nya. "Lihat, kan, Hermione? Sapu ini tidak apa-apa!" kata Ron. "Yah-tapi siapa tahu!" kata Hermione. "Maksudku, paling tidak sekarang kalian tahu sapu itu aman!" "Yeah, kurasa begitu," kata Harry "Sebaiknya ku-simpan di atas..." "Biar aku yang bawa ke atas!" kata Ron berse-mangat. "Aku harus memberi Scabbers Tonik Tikus-nya." Ron mengambil Firebolt itu, dan memeganginya seakan sapu itu terbuat dari kaca, membawanya naik ke kamar anak laki-laki. "Boleh aku duduk?" tanya Harry kepada Hermione. "Boleh," kata Hermione, memindahkan setumpuk tinggi perkamen dari kursi. Harry memandang meja yang penuh, pada karang-an Arithmancy yang tintanya masih berkilat, pada karangan Telaah Muggle yang lebih panjang lagi ("Jelaskan kenapa Muggle Memerlukan Listrik") dan pada terjemahan Rune yang sedang dikerjakan Hermione. "Bagaimana kau bisa mengerjakan semua ini?" Harry bertanya kepadanya. "Oh, yah-kau tahu-kerja keras," kata Hermione. Dari dekat, Harry melihat bahwa Hermione tampak sama lelahnya seperti Lupin. "Kenapa kau tidak mendrop saja beberapa mata pelajaran?" tanya Harry, memandang Hermione meng-angkat buku-buku, mencari-cari kamus Rune-nya. "Mana bisa!" kata Hermione, tampak ngeri. "Arithmancy kelihatannya susah sekali," kata Harry, memungut grafik angka-angka yang tampaknya ruwet sekali. "Oh, tidak, Arithmancy menyenangkan sekali!" kata Hermione bersemangat. "Itu pelajaran favoritku! Itu..." Tetapi apa persisnya yang membuat Arithmancy menyenangkan, Harry tak pernah tahu. Tepat saat itu, jerit tertahan bergaung dari kamar anak laki-laki, menuruni tangga. Ruang rekreasi mendadak hening, semua menatap ketakutan ke pintu kamar. Terdengar langkah-langkah bergegas, makin lama makin keras- dan kemudian Ron muncul, menyeret seprai. "LIHAT!" raungnya, melangkah ke meja Hermione. "LIHAT!" teriaknya, menggoyang seprai itu di depan wajah Hermione. "Ron, apa...?" "SCABBERS! LIHAT! SCABBERS!" Hermione mencondongkan tubuh menjauh dari Ron, bingung sekali. Harry memandang seprai yang di-pegang Ron. Ada noda merah di seprai itu. Kelihat-annya seperti... "DARAH!" Ron berteriak ke ruangan yang sunyi senyap. "SCABBERS LENYAP! DAN KAU TAHU APA YANG ADA DI LANTAI?" "T-tidak," jawab Hermione dengan suara bergetar. Ron mencampakkan sesuatu di atas terjemahan Rune Hermione. Hermione dan Harry membungkuk mendekat. Beberapa helai bulu kucing berwarna j ingga bertebaran di atas huruf-huruf aneh seperti paku tajam itu. 13 Gryffindor Versus Ravenclaw TAMPAKNYA persahabatan Ron dan Hermione telah berakhir. Masing-masing sangat marah terhadap yang lain sehingga Harry tak tahu bagaimana caranya men-damaikan mereka. Ron marah sekali Hermione tak pernah menganggap serius usaha Crookshanks untuk memangsa Scabbers, tak mau bersusah payah menjaga Crookshanks dan masih berusaha berpura-pura bahwa Crookshanks tidak bersalah dengan menyarankan Ron agar mencari Scabbers di kolong semua tempat tidur di kamar anak laki-laki. Hermione, sementara itu, bertahan me-ngatakan bahwa Ron tak punya bukti Crookshanks telah memakan Scabbers, bahwa bulu kucing Jingga itu mungkin saja sudah ada di sana sejak Natal, dan bahwa Ron sudah berprasangka terhadap kucingnya sejak Crookshanks mendarat di atas kepala Ron di Magical Menagerie. Harry sendiri sebetulnya yakin bahwa Crookshanks telah memakan Scabbers, dan ketika dia mencoba menunjukkan pada Hermione bahwa semua bukti menunjuk ke arah itu, Hermione jadi marah juga kepada Harry. "Oke, berpihaklah kepada Ron, aku tahu kau akan begitu!" katanya nyaring. "Mula-mula Firebolt, seka-rang Scabbers, semuanya salahku, kan! Tinggalkan aku sendiri, Harry, aku banyak pekerjaan!" Kehilangan tikusnya membuat Ron sangat terpukul. "Sudahlah, Ron, kau selalu bilang Scabbers mem-bosankan sekali," kata Fred nekat. "Dan sudah lama dia tak sehat, makin lama makin lemah. Mungkin lebih baik baginya pergi dengan begitu cepat. Sekali telan-dia mungkin tidak merasa apa-apa." "Fred!" seru Ginnyjengkel. "Yang dilakukannya hanyalah makan dan tidur, Ron, kau sendiri yang bilang begitu," kata George. "Dia pernah menggigit Goyle demi menyelamatkan kita!" kata Ron sedih. "Ingat, Harry?" "Yeah, betul," kata Harry. "Itulah prestasi puncaknya," kata Fred, tak bisa lagi menahan geli. "Biarlah bekas luka di jari Goyle menjadi penghargaan abadi baginya. Oh, sudahlah, Ron, pergilah ke Hogsmeade dan beli tikus baru. Apa gunanya berkeluh kesah?" Dalam upaya terakhir untuk membuat Ron senang, Harry membujuknya untuk ikut latihan akhir tim Gryffindor sebelum bertanding melawan Ravenclaw, supaya dia bisa mencoba naik Firebolt setelah mereka usai latihan. Ini rupanya berhasil mengalihkan pikiran Ron dari Scabbers selama beberapa saat ("Asyik! Bolehkah aku mencoba memasukkan gol dengan naik Firebolt itu?"), maka berangkatlah mereka berdua ke lapangan Quidditch. Madam Hooch, yang masih mengawasi latihan Gryffindor untuk menjaga Harry, sama terkesannya dengan Firebolt seperti yang lain. Dia mengambilnya sebelum latihan mulai dan memberikan pendapat profesionalnya. "Lihat keseimbangannya! Kalau seri Nimbus ada kekurangannya, yaitu bagian ekornya yang sedikit miring- setelah beberapa tahun itu akan menghambat terbangnya. Mereka sudah memperbaiki gagangnya juga, sedikit lebih langsing dari Sapu-bersih, meng-ingatkanku pada Panah Perak-sayang, mereka sudah tidak membuatnya lagi. Aku belajar terbang dengan Panah Perak, sapu yang bagus sekali..." Dia terus mengoceh tentang sapu selama beberapa waktu, sampai akhirnya Wood berkata, "Eh-Madam Hooch? Bisakah Firebolt itu dikembalikan kepada Harry? Kami perlu latihan..." "Oh-baiklah-ini dia, Potter," kata Madam Hooch. "Aku akan duduk di sini dengan Weasley..." Dia dan Ron meninggalkan lapangan untuk duduk di stadion, dan anggota tim Gryffindor berkumpul mengelilingi Wood guna mendengarkan instruksi ter-akhirnya untuk pertandingan esok hari. "Harry, aku baru saja tahu siapa yang akan ber-main sebagai Seeker Ravenclaw. Namanya Cho Chang. Dia anak kelas empat, dan mainnya cukup baik... Aku benar-benar berharap dia kurang sehat. Sebelum ini dia pernah luka..." Wood mencibir menyatakan ketidaksenangannya bahwa Cho Chang sudah sembuh total, kemudian berkata, "Tetapi dia naik Komet Dua Enam Puluh, yang akan konyol sekali disandingkan dengan Firebolt." Dia memandang sapu Harry dengan penuh kekaguman, kemudian berkata, "Oke, teman-teman, kita latihan..." Dan akhirnya, Harry menaiki Firebolt-nya dan men-jejak tanah. Ternyata jauh lebih hebat daripada yang pernah diimpikannya. Firebolt itu membelok hanya dengan sentuhan amat pelan. Sapu itu kelihatannya lebih mematuhi pikirannya daripada kendali tangannya. Dia meluncur dengan kecepatan supertinggi sehingga stadion berubah menjadi bayang-bayang kabur hijau dan abu-abu. Harry membelokkannya dengan tajam, sehingga Alicia Spinnet menjerit, kemudian menukik sempurna, menyentuh lapangan berumput dengan jari-jari kakinya sebelum melesat semeter, semeter setengah, dua meter ke udara lagi... "Harry, aku akan melepas Snitch-nya!" teriak Wood. Harry membelok dan berlomba dengan Bludger menuju tiang gol. Dengan mudah dia menyusul Bludger itu, melihat Snitch melesat dari belakang Wood dan dalam waktu sepuluh detik sudah berhasil menangkap dan menggenggamnya erat-erat. Tim Gryffindor bersorak gila-gilaan. Harry melepas Snitch lagi, memberinya kesempatan meluncur lebih dulu selama satu menit, kemudian melesat mengejar-nya, berzig-zag menghindari teman-temannya. Dilihatnya Snitch itu bersembunyi di belakang lutut Katie Bell. Harry berputar dengan mudah mengitari Katie dan menangkap lagi Snitch itu. Itu latihan terbaik yang mereka jalani Tim Gryffindor, disemangati oleh Firebolt di tengah mereka, bermain dengan gerakan-ger akan terbaik mereka tanpa cela, dan saat mereka mendarat di tanah lagi, Wood sama sekali tidak melontarkan kritikan. Menurut George Weasley, ini baru pertama kali terjadi. "Aku tak melihat apa yang bisa menghalangi kita besok pagi!" kata Wood. "Kecuali-Harry, kau sudah memecahkan persoalan Dementor-mu, kan?" "Yeah," kata Harry, teringat Patronus-nya yang lemah dan berharap ia bisa membuatnya lebih kuat. "Para Dementor tidak akan muncul lagi, Oliver. Dumbledore akan melarangnya," kata Fred yakin. "Yah, semoga saja begitu," kata Wood. "Bagaimana-pun juga-latihan bagus, teman-teman. Ayo, kita kem-bali ke Menara-tidur lebih awal..." "Aku tinggal sebentar. Ron ingin mencoba naik Firebolt," Harry memberitahu Wood. Maka sementara anggota tim lainnya menuju ke kamar ganti, Harry berjalan ke tempat Ron, yang melompati pagar pem-batas di depan deretan tempat duduk dan menyong-songnya. Madam Hooch telah tertidur di kursinya. "Ini dia," kata Harry, mengulurkan Firebolt-nya kepada Ron. Ron, dengan wajah penuh kebahagiaan, menaiki sapu itu dan melesat ke udara yang sudah mulai gelap, sementara Harry berjalan ke tepi lapangan untuk menontonnya. Hari sudah malam ketika Madam Hooch terbangun kaget. Dia mengomeli Harry dan Ron yang tidak membangunkannya, dan men-desak agar mereka kembali ke kastil. Harry memanggul Firebolt-nya, lalu dia dan Ron meninggalkan stadion yang sudah gelap, mendiskusi-kan gerakan Firebolt yang sangat mulus, kemampuan-nya melesat naik yang luar biasa, dan kegesitannya membelok. Mereka sudah setengah jalan menuju kastil ketika Harry mengerling ke kiri, meli hat sesuatu yang membuat hatinya mencelos- sepasang mata, rmeman-dang berkilauan dari dalam kegelapan. Harry berhenti dengan mendadak, jantungnya ber-degup kencang. "Ada apa?" tanya Ron. Harry menunjuk. Ron mengeluarkan tongkatnya dan bergumam, "Lumos!" Seberkas cahaya jatuh ke atas rerumputan, mengenai pangkal pohon dan menerangi dahan-dahannya. Men-dekam di antara dedaunan, tampaklah Crookshanks. "Keluar!" raung Ron, dan dia menunduk menyam-bar batu yang tergeletak di atas rumput. Tetapi se-belum dia sempat berbuat apa-apa lagi, Crookshanks sudah lenyap dengan kibasan ekor panjangnya yang berwarna j ingga. "Lihat?" kata Ron marah, melempar kembali batu-nya. "Dia masih tetap membiarkan kucing itu berkeliaran semaunya- mungkin hendak mencuci mulut dengan beberapa ekor burung setelah melahap Scabbers..." Harry diam saja. Dia menghela napas dalam-dalam ketika kelegaan meresapi dirinya. Sesaat tadi dia yakin mata itu mata Grim. Mereka meneruskan perjalanan ke kastil. Agak malu karena sempat panik tadi, Harry tidak berkata apa-apa kepada Ron-dia pun tidak menoleh ke kanan ataupun ke kiri sampai mereka tiba di Aula Depan yang terang. Harry turun untuk sarapan keesokan paginya bersama dengan semua teman sekamarnya, yang semuanya beranggapan Firebolt layak mendapat semacam pengawalan kehormatan. Saat Harry memasuki Aula Besar, semua kepala menoleh ke arah Firebolt, dan terdengar dengung gumam bergairah. Harry melihat dengan puas, bahwa semua anggota tim Slytherin tampak seperti disambar petir. "Kaulihat wajahnya?" kata Ron riang, seraya me-noleh memandang Malfoy. "Dia tak bisa percaya! Ini asyik sekali!" Wood juga gembira melihat kemasyhuran Firebolt. "Taruh sini, Harry," katanya, seraya meletakkan sapu itu di tengahmeja dan dengan hati-hati mem-baliknya, sehingga namanya menghadap ke atas. Anak-anak dari meja Ravenclaw dan Hufflepuff ber-bondong-bondong datang untuk melihat. Cedric Diggory memberi selamat pada Harry yang mendapat-kan ganti begitu hebat untuk Nimbus-nya dan pacar Ravenclaw Percy, Penelope Clearwater, bertanya apakah dia boleh memegang Firebolt itu. "Wah, wah, Penny, jangan sabotase lho!" kata Percy sungguh-sungguh selagi Penny memeriksa sapu itu dengan teliti. "Penelope dan aku taruhan," katanya kepada para anggota timnya. "Sepuluh Galleon untuk hasil pertandingan!" Penelope meletakkan kembali Firebolt, berterima kasih kepada Harry dan kembali ke mejanya. "Harry-jangan sampai kalah lho," desak Percy dalam bisikan. "Aku tak punya sepuluh Galleon. Ya, aku datang, Penny!" Dan dia bergegas mendatangi gadis itu untuk berbagi roti panggang. "Yakin kau bisa menguasai sapu itu, Potter?" kata suara dingin yang diulur sehingga bernada lambat. Draco Malfoy telah datang untuk melihat sapu itu dari dekat, diiringi Crabbe dan Goyle. "Yeah, kurasa begitu," jawab Harry santai. "Banyak keistimewaannya, kan?" kata Malfoy, mata-nya berkilat licik. "Sayang sekali tidak ada parasut-nya-siapa tahu kau terbang terlalu dekat dengan Dementor." Crabbe dan Goyle terkikik. "Sayang juga kau tidak bisa menambahkan tangan ekstra di sapumu, Malfoy," timpal Harry. "Kalau tidak, kan itu bisa menangkapkan Snitch untukmu." Tim Gryffindor tertawa terbahak. Mata pucat Malfoy menyipit, dan dia menyingkir. Mereka melihatnya bergabung dengan anggota tim Slytherin lainnya, yang merapatkan kepala, tak diragukan lagi menanyai Malfoy apakah sapu Harry benar-benar Firebolt. Pukul sebelas kurang seperempat, tim Gryffindor menuju ke kamar ganti. Cuaca sangat berbeda dari-pada sewaktu mereka bertanding melawan Hufflepuff. Hari ini cerah, sejuk, dengan angin sepoi pelan. Tak ada masalah dengan penglihatan kali ini, dan Harry, walaupun gugup, mulai merasakan kegairahan yang hanya bisa ditimbulkan oleh pertandingan Quidditch. Mereka bisa mendengar anak-anak lain bergerak ke stadion. Harry melepas jubah hitam seragam sekolah-nya, mengambil tongkatnya dari dalam sakunya, dan menyisipkannya ke balik T-shirt yang akan dipakainya di balik jubah seragam Quidditch-nya. Harapannya cuma satu, dia tak perlu menggunakannya. Mendadak dia ingin tahu, apakah Profesor Lupin ada di antara penonton. "Kau tahu apa yang harus kita lakukan," kata Wood, sementara mereka bersiap-siap meninggalkan kamar ganti. "Kalau kita kalah dalam pertandingan ini, tak ada harapan lagi bagi kita. Terbanglah saja seperti dalam latihan kemarin, dan kita akan oke!" Mereka keluar dan berjalan menuju lapangan disambut tepukan riuh. Tim Ravenclaw, dalam se-ragam biru, sudah berdiri di tengah lapangan. Seeker mereka, Cho Chang, adalah satu-satunya perempuan dalam tim. Dia lebih pendek kira-kira sekepala dari Harry, dan meskipun tegang, Harry mau tak mau menyadari, bahwa dia manis sekali. Dia tersenyum kepada Harr y ketika kedua tim berhadapan di bela-kang kapten masing-masing, dan Harry merasakan entakan di bagian perutnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ketegangannya. "Wood, Davies, jabat tangan," kata Madam Hooch tegas, dan Wood berjabat tangan dengan kapten Ravenclaw. "Naik sapu kalian... mulai pada tiupan peluitku... tiga-dua-satu..." Harry menjejak ke atas dan si Firebolt melesat lebih tinggi dan lebih cepat daripada sapu-sapu yang lain. Harry melayang di atas stadion dan menajamkan mata mencari-cari Snitch, sambil mendengarkan ko-mentar, yang dibawakan oleh sahabat si kembar Weasley, Lee Jordan. "Para pemain sudah terbang ke atas dan kehebohan dalam pertandingan ini adalah Firebolt yang di-terbangkan Harry dari tim Gryffindor. Menurut Sapu yang Mana, Firebolt akan menjadi sapu pilihan untuk tim nasional pada Piala Dunia tahun ini..." "Jordan, bagaimana kalau kau melaporkan kepada kami apa yang sedang berlangsung?" suara Profesor McGonagall menyela. "Baik, Profesor-cuma memberi sedikit informasi untuk latar belakang. Firebolt kebetulan sudah ada rem otomatisnya dan..." "Jordan!" "Oke, oke, Gryffindor memegang bola. Katie Bell dari Gryffindor meluncur ke arah tiang gol..." Harry melesat melewati Katie ke arah berlawanan, memandang berkeliling mencari kilatan emas dan melihat bahwa Cho Chang menempelnya. Jelas cewek itu jago terbang-dia berkali-kali memotong jalan Harry, memaksanya berganti jurusan. "Tunjukkan kecepatan sapumu, Harry!" teriak Fred ketika dia berdesi ng lewat mengejar Bludger yang mengarah ke Alicia. Harry mempercepat laju Firebolt-nya ketika mereka mengitari gawang Ravenclaw dan Cho Chang ke-tinggalan. Tepat ketika Katie berhasil mencetak gol pertama dalam pertandingan ini, dan para penonton di bagian Gryffindor bersorak heboh, Harry melihat-nya-Snitch itu berada dekat tanah, terbang di dekat salah satu pagar pembatas. Harry menukik. Cho melihat apa yang dilakukannya dan ikut menukik mengejarnya. Harry terbang se-makin cepat, kegairahan menebar di sekujur tubuhnya, menukik adalah keahliannya. Dia tinggal berjarak tiga meter... Mendadak ada Bludger, yang dipukul oleh salah satu Beater Ravenclaw, meluncur ke arahnya. Harry berkelit, dan berhasil menghindari Bludger itu dengan jarak hanya dua setengah senti, dan dalam beberapa detik yang menentukan itu, si Snitch telah lenyap. Terdengar desah kecewa "Oooooooh" keras dari para pendukung Gryffindor, tetapi aplaus riuh dari Ravenclaw untuk Beater mereka. George Weasley me-lampiaskan perasaannya dengan memukul Bludger kedua ke arah si Beater menyebalkan, yang terpaksa berjungkir-balik di udara untuk menghindarinya. "Gryffindor memimpin dengan skor delapan puluh lawan nol, dan lihat bagaimana Firebolt itu terbang! Potter menunjukkan kemampuan sapu itu sekarang. Lihat cara beloknya-Komet Cho Chang mana bisa bersaing dengannya. Keseimbangannya yang tepat tampak sekali dalam..." "JORDAN! APA KAU DIBAYAR UNTUK MENGIKLANKAN FIREBOLT? PERTANDINGANLAH YANG HARUS KAUKOMENTARI!" Ravenclaw mengejar. Mereka sudah berhasil men-cetak tiga gol, sehingga Gryffindor tinggal unggul lima puluh angka-kalau Cho berhasil mendapatkan Snitch, Ravenclaw akan menang. Harry terbang semakin rendah, nyaris bertabrakan dengan Chaser Ravenclaw, memandang ke seluruh lapangan dengan panik. Kilatan emas, getaran sayap-sayap kecil-Snitch sedang mengitari gawang Gryffindor... Harry mempercepat terbang sapunya, matanya ter-tancap pada titik emas di depan-tetapi detik be-rikutnya, Cho mendadak muncul, menghalangi jalan-nya... "HARRY, INI BUKAN SAATNYA BERSIKAP KSATRIA!" Wood meraung ketika Harry menyingkir menghindari tabrakan. "TABRAK DIA SAMPAI JATUH DARI SAPUNYA KALAU PERLU!" Harry menoleh dan melihat Cho. Cewek itu nyengir. Snitch sudah lenyap lagi. Harry mengarahkan Firebolt-nya ke atas dan sebentar saja sudah enam meter di atas pertandingan. Dari sudut matanya, dilihatnya Cho mengikutinya. Rupanya dia sudah memutuskan untuk memperhatikan Harry daripada mencari Snitch sendiri. Baiklah... kalau Cho mau membuntutinya, dia harus menanggung konsekuensinya... Harry menukik turun lagi, dan Cho yang mengira Harry telah melihat Snitch, berusaha membuntutinya. Harry menghentikan tukikannya dengan tajam. Cho tetap meluncur ke bawah. Sekali lagi Harry melesat naik secepat peluru dan kemudian melihatnya, untuk ketiga kalinya. Snitch itu berkilauan jauh di atas lapangan di ujung sisi Ravenclaw. Harry mempercepat laju sapunya. Beberapa meter di bawahnya Cho juga melakukan hal yang sama. Harry unggul, semakin dekat dengan Snitch-ke-mudian... "Oh!" jerit Cho, menunjuk sesuatu. Perhatiannya teralih, Harry melihat ke bawah. Tiga Dementor, tiga Dementor tinggi, hitam, ber-kerudung, memandang ke atas ke arahnya. Harry tak berhenti untuk berpikir. Memasukkan sebelah tangan ke dalam leher jubahnya, dia menarik keluar tongkatnya dan berseru, "Expecto patronum!" Sesuatu yang putih-keperakan, sesuatu yang besar sekali, muncul dari ujung tongkatnya. Harry tahu Patronus-nya mengarah langsung kepada ketiga Dementor itu tetapi tidak berhenti untuk melihatnya. Pikirannya masih jernih, dia memandang ke depan- sudah hampir sampai. Dia mengulurkan tangan yang masih memegang tongkatnya dan berhasil mengatup-kan jari-jarinya pada Snitch kecil yang memberontak. Peluit Madam Hooch terdengar. Harry berputar di udara dan melihat enam bayangan merah menyergap-nya. Saat berikutnya seluruh anggota tim memeluknya erat-erat, dia sampai nyaris terjatuh dari sapunya. Di bawah, dia bisa mendengar sorak gegap gempita anak-anak Gryffindor. "Hebat sekali!" teriak Wood tak henti-hentinya. Ali-cia, Angelina, dan Katie, ketiganya mengecup Harry, dan Fred mendekapnya begitu kencang, Harry merasa seakan kepalanya mau lepas. Dalam posisi serabutan, tim Gryffindor berhasil mendarat. Harry turun dari sapunya dan ketika mendongak melihat segerombolan pendukung Gryffindor melompati pagar pembatas me-masuki lapangan, Ron paling depan. Sebelum sadar apa yang terjadi, Harry sudah dikerubuti gerombolan yang bersorak riuh-rendah. "Yes!" seru Ron, menyentak tangan Harry ke atas. "Yes! Yes!" "Bagus sekali, Harry!" kata Percy, senang sekali. "Sepuluh Galleon untukku. Harus menemui Penelope, maaf..." "Hebat, Harry!" teriak Seamus Finnigan. "Luar biasa!" seru Hagrid deng an suaranya yang besar dan dalam di atas kepala anak-anak Gryffindor. "Patronus yang hebat," terdengar suara di telinga Harry. Harry berbalik dan melihat Profesor Lupin, yang tampak terguncang sekaligus senang. "Dementor-dementor itu tidak mempengaruhi saya sama sekali!" kata Harry bersemangat. "Saya tidak merasa apa-apa!" "Itu karena mereka-eh-bukan Dementor," kata Profesor Lupin. "Mari lihat..." Dia memimpin Harry meninggalkan kerumunan sampai mereka bisa melihat ke ujung lapangan. "Kau membuat Mr Malfoy ketakutan," kata Lupin. Harry terbelalak. Malfoy, Crabbe, Goyle, dan Marcus Flint, si kapten Slytherin, menggeletak bertumpuk-tumpuk di atas tanah, semua berkutet melepas jubah panjang berkerudung. Rupanya tadi Malfoy berdiri di atas bahu Goyle. Profesor McGonagall berdiri di atas mereka dengan wajah murka. "Tipuan licik!" teriaknya. "Perbuatan rendah dan pengecut untuk menyabotase Seeker Gryffindor! Detensi untuk semua dan potong lima puluh angka dari Slytherin! Aku akan melapor kepada Profesor Dumbledore soal ini! Ah, ini beliau datang!" Kalau ada yang bisa menutup kemenangan Gryffindor dengan menyenangkan, inilah dia. Ron yang berhasil menerobos kerumunan dan menyusul Harry, tertawa sampai terbungkuk-bungkuk melihat Malfoy berusaha melepaskan diri dari jubahnya, dengan kepala Goyle masih tersangkut di dalamnya. "Ayo, Harry!" seru George, berdesakan mendekat. "Pesta! Ruang rekreasi Gryffindor, sekarang!" "Baik," kata Harry, sudah lama dia tidak merasa segembira ini. Dia dan para anggota tim lainnya me-mimpin di depan, masih memakai jubah merah mereka, meninggalkan stadion kembali ke kastil. Serasa mereka sudah memenangkan Piala Quidditch. Pesta berlangsung sepanjang hari sampai jauh malam. Fred dan George Weasley menghilang selama dua jam dan kembali dengan tangan penuh tentengan berisi botol-botol Butterbeer, limun labu kuning, dan beberapa kantong berisi permen Honeydukes. "Bagaimana kalian bisa mendapatkannya?" Angelina memekik girang ketika George mulai melempar-lem-par Pepermin Kodok kepada anak-anak. "Dengan sedikit bantuan dari Moony, Wormtail, Padfoot, dan Prongs," gumam Fred di telinga Harry Hanya satu orang yang tidak ikut pesta. Hermione, ajaib sekali, duduk di sudut, berusaha membaca buku sangat tebal berjudul Kehidupan Rumah dan Kebiasaan Sosial Muggle Inggris. Harry meninggalkan meja tempat Fred dan George mulai main sulap dengan botol Butterbeer, dan mendatangi Hermione. "Kau sempat menonton pertandingan?" tanyanya. "Tentu saja," jawab Hermione, dengan suara nyaring ganjil, tanpa mendongak. "Dan aku senang sekali kita menang, dan kau main bagus sekali, tetapi aku harus sudah selesai membaca buku ini hari Senin nanti." "Ayolah, Hermione, ikut makan-makan dulu," ajak Harry, seraya memandang Ron dan bertanya-tanya dalam hati apakah suasana hati Ron cukup senang untuk mengubur kapak peperangan. "Aku tak bisa, Harry, masih ada empat ratus dua puluh dua halaman yang harus kubaca!" kata Hermione, sekarang kedengarannya agak histeris. "Lagi pula...," dia ikut mengerling ke arah Ron, "dia tak ingin aku ikut pesta." Ini tak bisa dibantah, karena Ron memilih saat itu untuk berkata keras, "Kalau Scabbers belum dimakan, dia bisa ikut makan Pudi ng Lalat ini, dia suka sekali puding ini..." Air mata Hermione meleleh. Sebelum Harry sempat mengatakan atau berbuat sesuatu, dia telah mengepit buku tebal itu dan dengan masih terisak, berlari ke arah tangga yang menuju kamar anak-anak pe-rempuan dan lenyap. "Tidak bisakah kau memaafkannya?" Harry me-nanyai Ron pelan. "Tidak," kata Ron datar. "Kalau dia mau me-nunjukkan sikap menyesal-tapi dia tak pernah meng-akui dia salah, si Hermione itu. Dia masih bersikap seakan Scabbers sedang pergi liburan atau apa." Pesta Gryffindor baru berhenti ketika Profesor McGonagall muncul dalam gaun tidur kotak-kotaknya dan kepala terbungkus harnet pada pukul satu pagi, untuk mendesak agar mereka semua tidur. Harry dan Ron menaiki tangga menuju kamar mereka, masih mendiskusikan pertandingan tadi. Akhirnya, kelelahan, Harry naik ke atas tempat tidurnya, menutup kelambu tempat tidurnya untuk memblokir secercah cahaya bulan, berbaring, dan langsung tertidur.... Dia bermimpi aneh sekali. Dia berjalan menembus hutan, dengan Firebolt di atas bahunya, mengikuti sesuatu yang putih-keperakan. Benda putih-keperakan itu meliuk-liuk melewati pepohonan di depan, dan Harry hanya bisa melihatnya sekelebat-sekelebat di antara dedaunan. Karena ingin mengejarnya, Harry mempercepat langkah, tetapi benda yang diburunya pun bergerak semakin cepat. Harry berlari, dan di depannya didengarnya bunyi kaki binatang melangkah cepat. Sekarang Harry berlari secepat kilat, dan di depannya bisa didengarnya derap kaki binatang. Kemudian dia membelok di sudut, di depannya mem-bentang lapangan terbuka dan... "AAAAAAA AAAAAAARRRRRRRRRRRRGGGH! TID AAAA A AAAAAAAAA AAAK!" Harry tersentak bangun seakan ada yang memukul mukanya. Bingung dalam kegelapan, dengan gelagap-an dia mencari belahan kelambunya-dia bisa men-dengar gerakan-gerakan di sekitarnya, dan suara Seamus Finnigan dari sisi lain kamar. "Ada apa?" Harry mengira mendengar pintu kamar membuka keras. Akhirnya dia berhasil menemukan belahan ke-lambunya dan membukanya. Pada saat bersamaan Dean Thomas menyalakan lampunya. Ron duduk di tempat tidurnya. Kelambunya robek di satu sisi, wajahnya penuh kengerian. "Black! Sirius Black! Bawa pisau!" "Apa?" "Di sini! Baru saja! Merobek kelambu! Membuatku bangun!" "Kau yakin tidak mimpi, Ron?" tanya Dean. "Lihat saja kelambunya! Dia di sini! Sungguh!" Mereka serabutan turun dari tempat tidur. Harry mencapai pintu kamar lebih dulu dan mereka berlarian menuruni tangga. Pintu-pintu terbuka di belakang mereka, dan suara-suara mengantuk me-nanyai mereka. "Siapa yang berteriak?" "Kalian ngapain?" Ruang rekreasi diterangi bara api yang sudah hampir padam. Sampah sisa pesta masih berserakan. Tak ada orang lain dalam ruangan itu. "Kau yakin kau tidak mimpi, Ron?" "Aku kan sudah bilang, aku melihatnya!" "Ada apa sih ribut-ribut begini?" "Profesor McGonagall sudah menyuruh kita tidur!" Beberapa anak perempuan menuruni tangga mereka, merapatkan gaun tidur dan menguap. Beberapa anak laki-laki juga mulai bermunculan. "Asyik! Kita meneruskan pesta nih?" kata Fred Weasley senang. "Semua kembali ke atas!" kata Percy, bergegas ke ruang rekreasi, menyematkan lencana Ketua Murid ke piamanya sambil bicara. "Perce-Sirius Black!" kata Ron lemas. "Dalam kamar kami! Bawa pisau! Membuatku bangun!" Ruang rekreasi langsung sunyi senyap. "Omong kosong!" kata Percy, tampak kaget. "Kau terlalu banyak makan, Ron-mimpi buruk..." "Sungguh..." "Masa sih!" Profesor McGonagall muncul lagi. Dia membanting lukisan hingga menutup di belakangnya ketika me-masuki ruang rekreasi dan memandang marah ke sekeliling ruangan. "Aku senang Gryffindor memenangkan pertanding-an, tapi ini sudah kelewatan! Percy, aku mengharap tindakan lebih baik darimu!" "Bukan saya yang mengizinkan ini, Profesor!" kata Percy jengkel. "Saya sedang menyuruh mereka kem-bali ke tempat tidur! Adik saya, Ron, mimpi buruk..." "BUKAN MIMPI BURUK!" Ron menjerit. "PROFESOR, SAYA TERBANGUN, DAN SIRIUS BLACK BERDIRI DI ATAS SAYA, MEMEGANG PISAU!" Profesor McGonagall memandangnya. "Jangan ngaco, Weasley, bagaimana mungkin dia bisa melewati lubang lukisan?" "Tanya saja dia!" kata Ron, menunjuk dengan jari gemetar ke bagian belakang lukisan Sir Cadogan. "Tanya dia apakah dia melihat..." Seraya menatap Ron dengan curiga, Profesor McGonagall mendorong lukisan sampai terbuka dan keluar. Semua anak di ruang rekreasi menunggu de-ngan napas tertahan. "Sir Cadogan, apakah kau tadi mengizinkan seorang laki-laki memasuki Menara Gryffindor?" "Tentu saja, lady yang baik!" jawab Sir Cadogan lantang. Sunyi senyap, baik di dalam maupun di luar ruang rekreasi. "Jadi-jadi kau mengizinkan dia masuk?" Profesor McGonagall menegaskan. "Tapi-tapi... kata kunci-nya?" "Dia punya!" kata Sir Cadogan bangga. "Punya kata kunci untuk sepanjang minggu! Dia bacakan dari secarik kertas kecil!" Profesor McGonagall masuk lagi lewat lubang lukis-an dan menghadapi kerumunan anak-anak yang terperangah. Wajahnya sepucat tembok. "Siapa orangnya," katanya, suaranya gemetar, "siapa yang begitu bodoh mencatat kata-kata kunci minggu ini dan meninggalkannya sembarangan?" Keheningan ruangan dipecahkan oleh pekik ketakut-an pelan. Neville Longbottom, gemetar dari ujung kepala sampai jari kaki yang terselubung sandal bulu, pelan-pelan mengangkat tangan ke atas. 14 Dendam Snape TAK seorang pun anak di Menara Gryffindor tidur malam itu. Mereka tahu bahwa kastil digeledah lagi dan semua anak asrama berkumpul tinggal jaga di ruang rekreasi, menunggu berita apakah Black berhasil ditangkap. Profesor McGonagall muncul kembali su-buh, untuk memberitahu mereka bahwa Black sekali lagi berhasil lolos. Ke mana pun mereka pergi keesokan harinya, me-reka melihat pengamanan yang diperketat. Flitwick tampak sedang mengajari pi ntu-pintu depan untuk mengenali foto besar Sirius Black. Filch mendadak berjalan mondar-mandir di sepanjang koridor-koridor, menutup segala lubang, dari celah sempit di tembok sampai lubang tikus. Sir Cadogan sudah dipecat. Lukisannya sudah dikembalikan ke bordesnya yang sepi di lantai tujuh, dan si Nyonya Gemuk sudah kembali. Dia sudah direstorasi dengan ahli, tetapi masih sangat ketakutan, dan baru setuju kembali men-jalankan tugasnya dengan syarat diberi perlindungan ekstra. Serombongan satpam troll bertampang sangar telah disewa untuk mengawalnya. Mereka mondar-mandir di koridor dengan tampang galak, bicara seperti menggerutu dan saling membandingkan ukuran pentungan mereka. Harry mau tak mau melihat bahwa patung nenek sihir bermata satu di lantai tiga tak terjaga dan tak terblokir. Rupanya perkiraan Fred dan George betul bahwa hanya merekalah-dan sekarang ditambah Harry, Ron, dan Hermione-yang tahu tentang lorong rahasia di dalamnya. 'Apakah sebaiknya kita laporkan?" Harry menanyai Ron. "Kita tahu dia tidak akan datang lewat Honeydukes," kata Ron menolak ide Harry. "Kita pasti sudah dengar kalau toko itu dibobol." Harry senang Ron berpendapat begitu. Kalau si penyihir bermata satu juga diblokir, dia tak akan bisa ke Hogsmeade lagi. Ron mendadak jadi selebriti. Untuk pertama kalinya, orang lebih memperhatikan dia daripada Harry dan jelas sekali Ron agak menikmati pengalaman ini. Meski-pun masih sangat terguncang dengan kejadian malam sebelumnya, dengan senang hati dia bercerita kepada siapa pun yang bertanya, apa yang terjadi, secara mendetail. "...Aku sedang tidur, dan aku dengar bunyi kain robek, kukira aku mimpi. Tetapi kemudian terasa tiupan angin... aku terbangun dan salah satu sisi kelambuku sudah merosot... aku berbalik da n melihat-nya di atasku... seperti tengkorak, dengan rambut kotor riap-riapan... memegang pisau besar panjang, paling tidak tiga puluh senti... dan dia memandangku, dan aku memandangnya, dan kemudian aku menjerit, dan dia kabur. "Tapi kenapa?" Ron menambahkan kepada Harry ketika rombongan cewek kelas dua yang mendengar-kan ceritanya yang mengerikan telah pergi. "Kenapa dia kabur?" Harry juga sudah mempertanyakan hal itu. Kenapa Black, yang mendatangi tempat tidur yang salah, tidak membungkam Ron dan meneruskan mencari Harry? Black sudah membuktikan dua belas tahun lalu bahwa dia tak keberatan membunuh orang-orang tak bersalah, dan kali ini dia cuma menghadapi lima anak laki-laki tak bersenjata, empat di antaranya sedang tidur. "Mestinya dia tahu, susah baginya untuk bisa lolos dari kastil setelah kau menjerit dan membangunkan orang-orang," kata Harry berpikir-pikir. "Dia harus membunuh seluruh penghuni asrama untuk bisa ke-luar lewat lubang lukisan... kemudian dia masih akan bertemu guru-guru..." Neville benar-benar mendapat malu. Profesor McGonagall marah sekali kepadanya sehingga dia melarang Neville ikut semua kunjungan Hogsmeade yang akan datang, memberinya detensi, dan melarang siapa pun memberi Neville kata kunci untuk masuk ke menara. Kasihan sekali Neville, tepaksa dia me-nunggu di luar ruang rekreasi setiap malam sampai ada anak yang mengajaknya masuk, sementara satpam troll menyeringai menyebalkan kepadanya. Meskipun demikian, tak satu pun dari hukuman ini sebanding dengan yang diberikan neneknya kepadanya. Dua hari setelah kedatangan Black, neneknya mengiriminya hal terburuk yang bisa diterima murid Hogwarts sewaktu sarapan- Howler. Burung-burung hantu sekolah menderu masuk ke Aula Besar, membawa pos seperti biasanya, dan Neville tersedak ketika seekor burung hantu serak besar men-darat di depannya, paruhnya menggigit amplop merah. Harry dan Ron, yang duduk berhadapan dengannya, langsung mengenali surat itu sebagai Howler-Ron menerimanya dari ibunya tahun sebelumnya. "Bawa lari, Neville," Ron menyarankan. Neville tak perlu diberitahu dua kali. Dia menyam-bar amplop itu dan, memegangnya di depannya se-akan amplop itu bom yang siap meledak, berlari meninggalkan Aula, sementara anak-anak di meja Slytherin tertawa terbahak-bahak melihatnya. Mereka-mendengar Howler meledak di Aula Depan-suara nenek Neville, yang secara sihir diperkeras Dear Harry dan Ron, Bagaimana kalau kalian minum teh denganku sore ini sekitar pukul enam? aku akan datang jemput kalian di kastil. tunggu aku di aula depan. kalian tidak boleh keluar sendiri. Salam, Hagrid seratus kali dari normalnya, menjeritkan bagaimana dia telah mempermalukan seluruh keluarganya. Harry terlalu sibuk kasihan pada Neville sehingga dia tidak langsung menyadari bahwa dia juga me-nerima surat. Hedwig mendapatkan perhatiannya se-telah mematuk pergelangan tangannya dengan keras. "Ouch! Oh-terima kasih, Hedwig..." Harry merobek amplop suratnya sementara Hedwig melahap sebagian cornflake Neville. "Mungkin dia mau dengar tentang Black!" kata Ron. Maka pukul enam sore itu, Harry dan Ron me-ninggalkan Menara Gryffindor, berlari melewati satpam troli, menuju ke Aula Depan. Hagrid sudah menunggu mereka. "Baiklah, Hagrid!" kata Ron. "Kau tentunya ingin mendengar tentang kejadian Sabtu malam, kan?" "Aku sudah dengar itu," kata Hagrid, seraya mem-buka pintu dan memimpin mereka keluar. "Oh," kata Ron, kelihatan agak kecewa. Hal pertama yang mereka lihat begitu memasuki pondok Hagrid adalah Buckbeak, yang berbaring di atas selimut perca Hagrid, sayap raksasanya terlipat rapat ke tubuhnya, menikmati sepiring besar bangkai musang. Memalingkan wajah dari pemandangan tak menyenangkan ini, Harry melihat setelan raksasa jas cokelat berbulu dan dasi norak kuning-jingga tergantung di atas pintu lemari pakaian Hagrid. "Untuk apa itu, Hagrid?" tanya Harry. "Sidang kasus Buckbeak lawan Komite Pemunahan Satwa Berbahaya," kata Hagrid. "Jumat ini. Dia dan aku akan ke London. Aku sudah pesan dua tempat tidur di Bus Ksatria..." Harry didera perasaan bersalah. "Dia sama sekali sudah lupa bahwa persidangan Buckbeak sudah be-gitu dekat, dan dilihat dari wajah Ron yang salah tingkah, Ron pastilah merasa bersalah juga. Mereka juga sudah melupakan janji mereka untuk membantu Hagrid menyiapkan pembelaan Buckbeak. Kedatang-an Firebolt membuat hal itu terbang dari pikiran mereka. Hagrid menuang teh untuk mereka dan menawar-kan sepiring kue manis, tetapi mereka tahu lebih bijaksana tidak menerima tawarannya. Mereka sudah berpengalaman dengan hasil masakan Hagrid. "Ada yang mau kurundingkan dengan kalian ber-dua," kata Hagrid, mendudukkan diri di antara mereka, dan tak seperti biasanya tampak serius. "Apa?" tanya Harry. "Hermione," kata Hagrid. "Kenapa dia?" kata Ron. "Dia sedih. Dia sering datang kunjungi aku sejak Natal. Kesepian. Mulanya kalian tidak bicara padanya gara-gara Firebolt, sekarang kalian tidak bicara pada-nya karena kucingnya..." "...makan Scabbers!" Ron memotong dengan be-rang. "Karena kucingnya bertindak seperti semua kucing lain," Hagrid meneruskan dengan mantap. Dia bebe-rapa kali menangis, kalian tahu. Sedang melewati masa sulit sekarang. Ambil lebih dari yang bisa ditangani-nya, kalau kalian tanya aku, banyak sekali pelajaran yang diambilnya. Meskipun begitu, dia masih sediakan waktu untuk bantu aku dengan kasus Buckbeak... dia sudah dapatkan beberapa pembelaan bagus untukku... kurasa Buckbeak punya kesempatan bagus sekarang..," "Hagrid, kami seharusnya membantu juga-maaf..." Harry salah tingkah. "Aku tidak salahkan kau!" kata Hagrid, menepis permintaan maaf Harry. "Aku tahu kau sibuk sekali. Aku lihat kau latihan Quidditch sepanjang hari dan malam-tapi aku harus bilang kalian, aku kira kalian berdua akan hargai teman kalian lebih daripada sapu atau tikus. Cuma itu." Harry dan Ron bertukar pandang, merasa tak enak. "Dia benar-benar cemas, waktu Black nyaris tusuk kau, Ron. Anak itu hatinya baik, Hermione itu, dan kalian tidak ngomong dengannya..." "Kalau dia mau menyingkirkan kucingnya, aku mau bicara dengannya lagi!" kata Ron gusar. "Tapi dia ma-sih mempertahankannya! Kucing brengsek itu maniak, dan dia tak mau dengar kritikan terhadapnya!" "Ah, ya, orang bisa sedikit bodoh tentang binatang piaraannya," kata Hagrid bijaksana. Di belakangnya, Buckbeak menyemburkan beberapa tulang musang ke atas bantal Hagrid. Mereka melewatkan sisa waktu kunjungan mem-bicarakan kans Gryffindor yang semakin besar untuk memenangkan Piala Quidditch. Pukul sembilan Hagrid mengantar mereka kembali ke kastil. Banyak anak berkerumun di depan papan peng-umuman ketika mereka tiba di ruang rekreasi. "Hogsmeade, akhir minggu depan!" kata Ron yang menjulurkan leher membaca pengumuman baru. "Bagaimana menurutmu?" dia menambahkan pelan kepada Harry ketika mereka sudah duduk. "Yah, Filch tidak melakukan apa-apa pada lorong yang menuju Honey dukes..." Harry menanggapi lebih pelan. "Harry!" terdengar suara di telinga kanannya. Harry kaget dan menoleh. Ternyata Hermione duduk di meja tepat di belakang mereka. Dia telah membuat celah di antara buku-bukunya yang bertumpuk bagai dinding, dan tadi menyembunyi-kannya dari pandangan. "Harry kalau kau ke Hogsmeade lagi... aku akan melapor kepada Profesor McGonagall soal peta itu!" kata Hermione. "Apa kau mendengar ada yang bicara, Harry?" Ron menggeram, tanpa memandang Hermione. "Ron, bagaimana mungkin kau mengajaknya pergi bersamamu? Setelah apa yang nyaris dilakukan Sirius Black kepa damu! Aku sungguh-sungguh, aku akan bilang..." "Jadi sekarang kau berusaha membuat Harry di-keluarkan!" kata Ron marah. "Apa belum cukup mala-petaka yang kautimbulkan tahun ini?" Hermione membuka mulut untuk menjawab, tetapi dengan desis pelan Crookshanks melompat ke atas pangkuannya. Begitu melihat ekspresi wajah Ron, Hermione langsung menggendong Crookshanks dan bergegas menuju kamar anak-anak perempuan. "Jadi, bagaimana?" tanya Ron pada Harry, seakan tak ada interupsi. "Ayolah, terakhir kali kita ke sana kau belum melihat apa-apa. Kau bahkan belum masuk ke Zonko!" Harry memandang berkeliling untuk memastikan Hermione tak bisa lagi mendengarnya. "Oke," katanya. "Tetapi aku memakai Jubah Gaib kali ini." Hari Sabtu paginya, Harry memasukkan Jubah Gaib-nya ke dalam tas, menyelipkan Peta Perampok ke dalam sakunya, dan turun untuk sarapan bersama yang lain. Hermione tak hentinya melempar pandang-an curiga ke arahnya dari seberang meja, tetapi Harry menghindari pandangannya dan dia sengaja mengatur agar Hermione melihatnya kembali menaiki tangga pualam di Aula Depan sementara yang lain menuju ke pintu depan. "Daag!" seru Harry kepada Ron. "Sampai kau pulang nanti!" Ron nyengir dan mengedip. Harry bergegas ke lantai tiga, menarik keluar Peta Perampok-nya sambil berjalan. Mendekam di belakang patung nenek sihir bermata satu, dia membeber peta-nya. Sebuah titik kecil bergerak ke arahnya. Tulisan superkecil di sebelahnya berbunyi "Neville Longbottom". Harry cepat-cepat mencabut tongkatnya, bergumam "Dissendium!" dan menjejalkan tasnya ke dalam pa-tung. Tetapi sebelum dia sendiri sempat masuk, Neville sudah muncul membelok di sudut. "Harry! Aku lupa kau juga tidak ke Hogsmeade!" "Hai, Neville," kata Harry, bergerak gesit menjauhi patung dan memasukkan kembali peta ke dalam saku-nya. "Kau mau ngapain?" "Tidak ngapa-ngapain," Neville mengangkat bahu. "Mau main kartu?" "Er-tidak sekarang-aku bam mau ke perpustaka-an dan membuat karangan tentang vampir tugas dari Lupin itu." "Aku ikut!" kata Neville cerah. "Aku juga belum buat." "Er- tunggu-yeah, aku lupa, karanganku sudah selesai tadi malam!" "Bagus sekali, kau bisa membantuku!" kata Neville, wajah bundarnya cemas. "Aku sama sekali tak paham soal bawang itu-apa mereka harus memakannya, atau..." Neville menghentikan kata-katanya dengan wajah kaget, memandang melewati bahu Harry. Ternyata Snape. Neville buru-buru melangkah ke belakang Harry. "Sedang apa kalian di sini?" tanya Snape, berhenti dan memandang mereka bergantian. "Tempat ganjil untuk mengadakan pertemuan..." Betapa cemasnya Harry, ketika mata hitam Snape memandang pintu di kanan-kiri mereka, dan kemudi-an berpindah ke nenek sihir bermata satu. "Kami tidak-mengadakan pertemuan," kata Harry. "Kami- kebetulan saja bertemu di sini." "Begitu?" kata Snape. "Kau punya kebiasaan muncul di tempat-tem pat tak terduga, Potter, dan kau jarang sekali berada di suatu tempat tanpa alasan... Ku-sarankan kalian berdua kembali ke Menara Gryffindor, tempat seharusnya kalian berada." Harry dan Neville pergi tanpa berkata sepatah pun. Ketika akan membelok di sudut, Harry menoleh. Snape sedang meraba kepala si nenek sihir bermata satu, memeriksanya dengan teliti. Harry berhasil membebaskan diri dari Neville di depan si Nyonya Gemuk dengan jalan memberitahu-nya kata kuncinya, kemudian berpura-pura karangan vampirnya ketinggalan di perpustakaan, dan dia ber-gegas pergi. Begitu dia sudah tak bisa lagi dilihat satpam troli, dikeluarkannya petanya lagi dan didekat-kannya ke wajahnya. Koridor lantai tiga tampaknya kosong. Harry me-meriksa peta dengan teliti dan melihat, dengan lega, bahwa titik kecil berlabel "Severus Snape" sekarang sudah berada kembali di kantornya. Dia berlari kembali ke tempat si nenek sihir ber-mata satu, membuka punuknya, mengangkat dirinya, dan meluncur turun menyusul tasnya yang sudah ada di dasar luncuran. Dia mengosongkan kembali Peta Perampok-nya, kemudian berlari. Harry, sepenuhnya tersembunyi di balik Jubah Gaib, muncul ke bawah cahaya matahari di depan Honeydukes dan menyodok punggung Ron. "Ini aku," gumamnya. "Kok lama sekali sih?" desis Ron. "Snape berkeliaran..." Mereka menyusuri High Street. "Di mana kau?" Ron berkali-kali bergumam dari sudut mulutnya. "Kau masih di situ? Aneh sekali rasanya..." Mereka ke Kantor Pos. Ron berpura-pura menanya-kan biaya mengirim burung hantu kepada Bill di Mesir, agar Harry bisa puas berkeliling melihat-lihat. Burung-burung hantu yang bertengger beruhu-uhu pelan menyapanya dari atas. Paling tidak ada tiga ratus burung hantu, dari jenis Abu-abu Besar sampai Scops ("Hanya untuk Pos Lokal") yang begitu mungil, sampai bisa ditaruh di telapak tangan Harry. Selanjutnya mereka mengunjungi Zonko. Toko itu penuh sesak dengan anak-anak, sehingga Harry harus sangat berhati-hati jangan sampai menginjak kaki anak lain dan menimbulkan kepanikan. Di sana dijual ber-bagai lelucon dan tipuan konyol yang bisa memuas-kan bahkan impian Fred dan George yang paling liar sekalipun. Harry membisikkan pesanannya kepada Ron dan menyodorkan uang dari bawah jubahnya. Mereka meninggalkan Zonko dengan kantong uang jauh lebih ringan daripada waktu masuk tadi, tetapi saku-saku mereka menggelembung dengan Bom Kotoran, Permen Batuk, Sabun Telur Katak, dan Cangkir Teh Penggigit-Hidung masing-masing satu. Hari itu cerah dan angin sepoi bertiup, dan mereka berdua tak ingin berada di dalam ruangan, maka mereka berjalan melewati Three Broomsticks dan men-daki lereng bukit untuk mengunjungi Shrieking Shack, tempat paling berhantu di seluruh Inggris. Pondok itu letaknya agak jauh dari rumah-rumah lain di desa itu, dan bahkan di siang bolong tampak agak mengerikan, dengan jendela-jendelanya yang ditutup papan dan kebunnya yang lembap dipenuhi tetumbuhan liar. "Bahkan hantu-hantu Hogwarts menghindarinya," kata Ron, saat mereka bersandar di pagarnya, men-dongak memandang pondok itu. "Aku pernah tanya Nick si Kepala-Nyaris-Putus... dia bilang menurut yang didengarnya, yang tinggal di sini serombongan hantu sangat kasar. Tak seorang pun bisa masuk. Fred dan George pernah mencoba, tentu saja, tetapi semua jalan masuknya disegel..." Harry, ya ng kepanasan setelah mendaki, sedang mempertimbangkan untuk mencopot Jubah Gaib-nya selama beberapa menit, ketika mereka mendengar suara-suara mendatangi. Ada yang mendaki ke pondok dari sisi lain bukit. Beberapa saat kemudian, Malfoy muncul, diikuti Crabbe dan Goyle. Malfoy sedang bicara. "...mestinya burung hantu dari Ayah bisa datang setiap saat. Dia harus hadir di persidangan untuk memberi kesaksian kepada mereka tentang lenganku... tentang bagaimana aku tidak bisa menggunakannya selama tiga bulan..." Crabbe dan Goyle terkekeh. "Aku ingin sekali mendengar moron besar berbulu itu mencoba membela diri... 'Dia tak apa-apa, sung-guh...' Hippogriff itu pasti mati." Tiba-tiba Malfoy melihat Ron. Wajah pucatnya dihiasi senyum licik. "Ngapain kau, Weasley?" Malfoy memandang pondok rongsok di belakang Ron. "Rupanya kau ingin tinggal di situ, ya, Weasley? Memimpikan punya kamar sendiri? Kudengar seluruh keluargamu tidur dalam satu kamar... benarkah?" Harry menyambar belakang jubah Ron untuk men-cegahnya menyerang Malfoy. "Biar aku yang menanganinya," dia mendesis di telinga Ron. Kesempatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Harry merayap diam-diam ke belakang Malfoy, Crabbe, dan Goyle, membungkuk, dan meraup segenggam lumpur. "Kami sedang membicarakan temanmu Hagrid," Malfoy berkata kepada Ron. "Sedang membayangkan apa yang dikatakannya kepada Komite Pemunahan Satwa Berbahaya. Apakah menurutmu dia akan mena-ngis waktu mereka memenggal kepala si Hippogriff..." CEPROT! Kepala Malfoy tersentak ke depan ketika lumpur itu menghantamnya. Rambutnya yang pirang keperak-an mendadak berlumur lumpur yang menetes-netes. "Apa i...?" Ron harus berpegangan pagar agar tetap berdiri, dia tertawa begitu keras. Malfoy, Crabbe, dan Goyle ber-putar bego di tempat mereka berdiri, memandang ber-keliling. Malfoy berusaha membersihkan rambutnya. "Apa tadi itu? Siapa yang melakukannya?" "Banyak hantunya, ya, di sini?" kata Ron, dengan gaya seakan mengomentari cuaca. Crabbe dan Goyle ketakutan. Otot-otot mereka yang bertonjolan tak ada gunanya melawan hantu. Malfoy memandang panik ke bukit yang kosong. Harry berindap dijalan setapak, menuju genangan lumpur hijau yang sangat bau. CEPROT! Crabbe dan Goyle yang jadi sasaran kali ini. Goyle melompat-lompat berang di tempatnya berdiri, berusaha membersihkannya dari mata kecilnya yang bodoh. "Datangnya dari arah sana!" kata Malfoy, menyeka wajahnya dan memandang pada titik kira-kira dua meter di sebelah kiri Harry. Crabbe terhuyung ke depan, lengannya yang pan-jang terjulur seperti zombie. Harry berkelit menghindarinya, memungut ranting dan menusukkannya ke punggung Crabbe. Harry terbungkuk tertawa tanpa suara ketika Crabbe berputar macam penari balet, ingin tahu siapa yang menusuknya. Karena Ron satu-satunya orang yang bisa dilihat Crabbe, dia pun melangkah mendekati Ron. Tetapi Harry menjulurkan kakinya. Crabbe tersandung-dan kakinya yang besar rata menginjak tepi jubah Harry. Harry merasakan tarikan, kemudian jubahnya melorot dari wajahnya. Selama sepersekian detik Malfoy memandangnya. "AAARGH!" dia menjerit, menunjuk kepala Harry. Kemudian dia berlari secepat kilat tunggang-langgang menuruni bukit, diikuti Crabbe dan Goyle. Harry menarik jubahnya menutupi wajahnya lagi, tetapi nasi telah menjadi bubur. "Harry!" Ron berkata, terhuyung ke depan dan memandang tak berdaya ke tempat Harry menghilang. "Kau sebaiknya lari pulang! Kalau sampai Malfoy memberitahu entah siapa- sebaiknya kau kembali ke kastil, cepat..." "Sampai nanti," kata Harry, dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia berlari menuruni jalan setapak menuju Hogsmeade. Akankah Malfoy mempercayai apa yang dilihatnya? Akankah ada yang mempercayai Malfoy? Tak ada yang tahu tentang Jubah Gaib-tak ada, kecuali Dumbledore. Isi perut Harry serasa terbalik-Dumbledore akan tahu persis apa yang terjadi, kalau Malfoy mengatakan sesuatu... Kembali di Honeydukes, kembali menuruni tangga gudang bawah tanah, menyeberangi lantai, turun lewat pintu tingkap-Harry mencopot Jubah Gaib-nya, mengepitnya, dan berlari kencang menyusuri lorong... Malfoy akan tiba lebih dulu... berapa lama yang dibutuhkannya untuk menemui guru? Walaupun sudah tersengal-sengal dan sebelah perutnya terasa sangat sakit, Harry tidak memperlambat larinya sam-pai dia tiba di luncuran baru. Dia terpaksa harus meninggalkan Jubah Gaib-nya di sini. Jubah Gaib ini akan membuat rahasianya terbongkar jika Malfoy telah mengisiki seorang guru. Harry menyembunyikannya di sudut remang-remang, kemudian mulai mendaki, secepat mungkin, tangannya yang berkeringat berkali-kali tergelincir dari tepi luncuran. Dia tiba di bagian dalam punuk si nenek sihir, mengetuknya dengan tongkatnya, dan menjulurkan kepalanya dari lubangnya, dan mengangkat tubuhnya keluar. Dan begitu Harry melompat keluar dari balik patung itu, di-dengarnya langkah-langkah cepat mendekat. Snape. Dia mendatangi Harry dengan langkah gesit, jubah hitamnya melambai, kemudian berhenti di deparmya. "Nah," katanya. Tampangnya seakan dia sudah menang. Harry ber-usaha tampak tak bersalah, sadar betul wajahnya berkeringat dan tangannya berlepotan lumpur. Cepat-cepat disembunyikannya tangannya ke dalam saku. "Ikut aku, Potter," kata Snape. Harry mengikutinya turun, berusaha menyeka ber-sih tangannya di bagian dalam jubahnya tanpa dilihat Snape. Mereka menuruni tangga menuju ke ruang bawah tanah dan masuk ke kantor Snape. Harry baru sekali berada dalam kantor itu, dan saat itu pun dia dalam kesulitan besar. Snape telah berhasil mengumpulkan beberapa tambahan makhluk berlendir mengerikan di dalam stoples-stoplesnya. Semuanya berderet di rak-rak di belakang mejanya, berkilau kena cahaya perapian, dan membuat suasana tambah mengerikan. "Duduk," kata Snape. Harry duduk. Meskipun demikian Snape tetap ber-diri. "Mr Malfoy baru saja menemuiku dan menceritakan kejadian yang sangat aneh, Potter," kata Snape. Harry tidak mengatakan apa-apa. "Dia bilang ketika dia sedang berdiri bicara dengan Weasley, mendadak belakang kepalanya terkena lem-paran lumpur. Menu rutmu, bagaimana itu bisa ter-jadi?" Harry berusaha tampak agak keheranan. "Saya tak tahu, Profesor." Mata Snape menembus ke dalam mata Harry. Rasa-nya persis seperti menentang mata Hippogriff. Harry berusaha keras agar tidak berkedip. "Mr Malfoy kemudian melihat hantu yang luar biasa. Bisakah kaubayangkan hantu seperti apa, Pot-ter?" "Tidak," kata Harry, sekarang berusaha kedengaran polos dan ingin tahu. "Hantunya kepalamu, Potter. Melayang-layang di udara." Sunyi lama. "Mungkin sebaiknya dia ke Madam Pomfrey," kata Harry. Kalau dia melihat hal-hal seperti itu..." "Apa yang dilakukan kepalamu di Hogsmeade, Potter?" kata Snape pelan. "Kepalamu tidak boleh berada di Hogsmeade. Tak satu pun bagian tubuhmu punya izin berada di Hogsmeade." "Saya tahu," kata Harry, berusaha keras agar wajah-nya bebas dari menampakkan rasa salah ataupun takut. "Kedengarannya Malfoy mengalami halusi..." "Malfoy tidak berhalusinasi," bentak Snape, dan dia membungkuk, kedua tangannya bertumpu di kanan-kiri lengan kursi Harry, sehingga wajah mereka hanya berjarak seperempat meter. "Kalau kepalamu ada di Hogsmeade, begitu juga sisa tubuhmu yang lain." "Saya ada di Menara Gryffindor," kata Harry. "Se-perti yang Anda katakan..." "Apa ada ya ng bisa mengkonfirmasikan itu?" Harry tidak berkata apa-apa. Bibir tipis Snape me-lengkung membentuk senyum mengerikan. "Nah," katanya seraya menegakkan tubuh. "Semua orang dari Menteri Sihir sampai bawahan-bawahannya telah berusaha menjaga keselamatan Harry Potter yang terkenal dengan menjauhkannya dari Sirius Black. Tetapi Harry Potter yang terkenal bikin aturan sendiri. Biar saja orang-orang biasa mencemaskan keselamatan-nya! Harry Potter yang terkenal pergi ke mana dia suka, tanpa memikirkan konsekuensinya." Harry diam saja. Snape sedang mencoba mempro-vokasinya untuk membeberkan yang sebenarnya. Harry tak akan melakukannya. Snape tak punya bukti-belum punya. "Ternyata kau mirip sekali dengan ayahmu, Pot-ter," kata Snape tiba-tiba, matanya berkilat. "Dia juga sangat sombong. Sedikit bakat di lapangan Quidditch membuatnya berpikir dia lebih hebat dari kami semua juga. Berkeliaran dengan sok bersama teman-teman dan pengagumnya... kemiripan di antara kalian ber-dua luar biasa sekali." "Ayah saya tidak sok," kata Harry tanpa bisa me-nahan diri. "Saya pun tidak." "Ayahmu juga tidak memedulikan peraturan," Snape meneruskan, tahu dia di atas angin, wajahnya penuh kebencian. "Peraturan untuk makhluk-makhluk hidup yang lebih rendah darinya, bukan untuk pe-menang piala Quidditch. Kepalanya membengkak begitu besar..." "TUTUP MULUT!" Harry mendadak bangkit. Kemarahan sedemikian hebat yang tak pernah dirasakannya sejak malam terakhirnya di Privet Drive, kini menggelegak di se-kujur tubuhnya. Dia tak peduli wajah Snape sudah menjadi kaku, mata hitamnya menyala berbahaya. "Apa katamu kepadaku, Potter?" "Saya katakan supaya Anda tutup mulut tentang ayah saya!" Harry berteriak. "Saya tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia menyelamatkan hidup Anda! Dumbledore menceritakannya kepada saya! Anda tak akan ada di sini sekarang kalau bukan karena ayah saya!" Kulit pucat Snape sudah berubah warna seperti susu busuk. "Dan tidakkah Kepala Sekolah menjelaskan keadaan yang menyebabkan ayahmu menyelamatkan hidupku?" dia berbisik. "Atau apakah dia menganggap detailnya terlalu mengerikan untuk telinga Potter yang halus?" Harry menggigit bibirnya. Dia tak tahu apa yang terjadi waktu itu dan tak mau mengakuinya-tetapi rupanya Snape menebaknya. "Aku tak ingin kau pergi dengan ide yang keliru tentang ayahmu, Potter," katanya, seringai mengerikan menghiasi wajahnya. "Apakah selama ini kau mem-bayangkan tindakan patriotis yang gagah berani? Ka-lau begitu izinkan aku mengoreksimu-ayahmu yang suci dan teman-temannya mempermainkanku dengan lelucon sangat konyol yang akan mengakibatkan ke-matianku, kalau ayahmu tidak menjadi ketakutan pada saat terakhir. Yang dilakukannya tak ada sangkut-pautnya dengan kegagahberanian. Dia menye-lamatkan dirinya sendiri dengan menyelamatkanku. Kalau lelucon mereka berhasil, dia akan dikeluarkan dari Hogwarts." Snape menyeringai memamerkan giginya yang ku-ning tak rata. "Keluarkan isi kantongmu, Potter!" bentaknya mendadak. Harry tidak bergerak. Telinganya bertalu-talu. "Keluarkan isi kantongmu, kalau tidak kita langsung ke Kepala Sekolah! Keluarkan, Potter!" Dingin ketakutan, Harry pelan-pelan menarik keluar sekantong permainan tipuan konyol yang dibelinya dari Zonko dan Peta Perampok. Snape memungut kantong Zonko. "Ron memberikannya kepada saya," kata Harry berharap dia punya kesempatan memberitahu Ron sebelum Ron bertemu Snape. "Dia- membawakannya dari Hogsmeade sebagai oleh-oleh terakhir kali..." "Begitu? Dan kau membawanya ke mana-mana dari waktu itu? Sungguh mengharukan... dan apa ini?" Snape sudah mengambil petanya. Harry berusaha sekuat tenaga menjaga agar wajahnya tak berekspresi. "Sepotong perkamen cadangan," dia mengangkat bahu. Snape membaliknya, matanya menatap Harry. "Tentunya kau tidak memerlukan perkamen sangat butut begini?" katanya. "Bagaimana kalau-kubuang saja?" Tangannya bergerak ke arah api. "Jangan!" kata Harry buru-buru. "Jadi!" kata Snape. Cuping hidungnya yang panjang bergetar. "Apakah ini hadiah berharga lain dari Mr Weasley? Atau ini-lain lagi? Surat, mungkin, ditulis dengan tinta tak kelihatan? Atau-instruksi bagaimana bisa ke Hogsmeade tanpa melewati Dementor?" Harry berkedip. Mata Snape berkilat. "Coba kulihat, coba kulihat..." gumamnya, sembari mencabut tongkatnya dan menggelar peta itu di atas mejanya. "Buka rahasiamu!" perintahnya, menyentuh-kan tongkatnya ke perkamen. Tak ada yang terjadi. Harry mengepalkan tangannya erat-erat agar tidak gemetar. "Bocorkan rahasiamu!" kata Snape, mengetuk peta itu keras-keras. Perkamen itu tetap kosong. Harry bernapas dalam-dalam, menenangkan diri. "Profesor Severus Snape, guru sekolah ini, meme-rintahkanmu membeberkan informasi yang kausem-bunyikan!" kata Snape, sambil memukul peta itu de-ngan tongkatnya. Seakan ada tangan tak kelihatan menulis di atasnya, kata-kata bermunculan di permukaan perkamen yang halus. "rlr Hoany rner-^ar'paikar sptom kepada Profesor Snape dan memohon agar h/d-jrg besarnya tidak dipakai mengendus ^^jsan orang ia*r> dan mercampjn- "Mr Prongs sepakat dengar Mr Maony, dor tngm n-tenombnhkan bahwa Profesor Snape adatoh orang linting jehk." "Pir Padfoot ingtn menyampptkcr keheranannya bahwa idfot seperi f rtu bisa jadi profesor." "flr Wormtori merq